10 Okt 2011

Lempeng Cahaya Alhikam Melesat Kedasar Hati

Sebuah buku yang dikarang Ibnu Ato`illah, yang lazim dikenal kalangan santri kitab al-Hikam-al-ata'iyyah-,  berserakan kemana-mana. Berkeping-keping tafsirnya menyebar keruang diskursus jutaan orang muslim. Dan sampai juga ditangan orang-orang muslim Indonesia. Konon kitab ini mampu mengobati segala penyakit hati orang-orang muslim yang sudah teramat kronis dan memberi petunjuk praktis bagi jalan kebenaran hidupnya. Apabila menghayati dengan sepenuh jiwa, maka hati akan menjadi bening dan pikiran menjadi terang benderang. Syahadat berkarat yang melekat pada jemari telunjuk pun, apabila terkena setitis air hikmahnya akan meluntur dan mengejang sepenuh jiwa menunjuk: “tiada tuhan apapun, selain Allah dan Muhammad sebagai nabinya.”
Seiring perjalanan waktu, entah apa sebabnya, kini kitab itu sekilas hanyalah secercah zat kehendak sang pengarang yang bersemayam dan bersembunyi dibalik coretan-coretan yang terlepas mengelupas dari topang kuasa jaman, alih-alih, ia pun terhimpit diantara mega-mega pekat dunia pengetahuan ilmiah. Laksana  setitis embun yang bertengger pada daun kering ditengah gurun pasir nan tandus, ia, menjadi tidak berarti apa-apa tanpa ada mukjizat kepadanya. Dan ia pun lebih maklum disebut sekelumit doa  yang sedang berharap menyembuhkan penyakit kronis dunia muslim yang sudah sekarat dari timur  sampai kebarat.
Benarlah, ia hanyalah sebongkah do`a yang sangat lemah lunglai dibawah tindasan bukit bukit hasrat dengan lembah kepentingan yang berlapis-lapis. Bahkan ia takkan terdengar dan tak tercium bau harumnya, apabila yang mendekat masih berselimut tebal akal modernitas dan bercoreng moreng dengan lumpur nafsu duniawi.
Kitab Alhikam yang berisi petunjuk memperbaiki dan menata hati dan penunjuk kebenaran jalan hidup, itu semakin kehilangan karomahnya apabila disanding dengan gegap gempita buku-buku yang berlomba memenuhi nafsu angkara murka; buku adalah jendela menyingkap alam raya, dengan buku manusia berteknologi canggih, bersama buku dan teknologi manusia mengeksploitasi alam raya.  
Sejatinya tidak hanya kitab alhikam satu-satunya yang paling ampuh, masih banyak ribuan kitab sejenis, namun semuanya berhikayat sama; merintih sedu sedan dalam perjalanan nasib yang tragis. Terlibas oleh gemerlap peradaban dan terhempas oleh arus besar globalasasi.
Banyak yang tidak tahu, kecuali para pengarangnya yang telah wafat, bahwa sesungguhnya ribuan kitab-kitab penyembuh penyakit hati dan petunjuk jalan kebenaran hidup orang-orang muslim itu telah tercerabut intisari keampuhanya. Pun kitab Al-hikam. Semua intisari kitab-kitab karangan orang muslim yang telah wafat dan muktabar tersebut diserap kembali oleh maha cahaya lauhul mahfud dalam lempengan-lempengan cahaya yang tak terhingga. Intisari kitab Alhikam sendiri menjadi secuil lempengan cahaya diantara bermilyar  lempengan cahaya.
Sebagai penghuni maha cahaya diatas segala cahaya, lempengan cahaya kitab Alhikam kerap kali melesat kebumi menemui mereka-mereka yang mendapat hidayahNya.
Saat menukik kebumi ia melesat dengan kecepatan diluar batas angan-angan. Udara, awan gemawan, cuaca, terang, gelap dan bau-bauan penuh kegembiraan bila sedang dilewatinya. Kecuali Iblis, dan Setan.
“Wahai lempengan cahaya, dari mana dan mau kemana engkau?” tanya Iblis
“Aku dari Lauhul Mahfud dengan tujuan bumi”
“Kenapa kami menjadi hancur bila nekat mendekatimu. Siapakah engkau?” tanya Setan.
“Aku adalah intisari kitab Alhikam karangan Ibnu Ato`illah. Kalian tak kan bisa  mendekatiku karena aku adalah teridiri dari kumpulan iman yang bercahaya, pengetahuan  yang bercahaya, dan pikiran yang bercahaya.”
“Terlihatlah engkau sering meluncur kebumi, kali ini Anak adam siapakah yang akan kau temui?” Tanya Iblis.
“Dia sekarang ada dipondok pesantren Tanpa Papan Nama. Sudah dua bulan ia membasuh kotoran-kotoran nafsunya dengan pertaubatan.”
“Apakah engkau tidak salah alamat? Bukankah dia manusia yang penuh….. ”
Tak sempat menyelesaikan kata, tiba-tiba menggelegar seribu halilintar menghantam meremukkan wujud Iblis. 
“Diharap kalian jangan mengganggu perjalanan setiap tugas suci. Biar kalian tidak hancur lebur karenanya ”
Sapuan warna memoles langit dengan hijau.
Sesayup bunyi menghantarkan suara.
Seberkas udara meniup suasana
Sebersit bau mengantar perjalanan
Lempengan cahaya kitab Alhikam melesat jauh, semakin jauh
Semua benda yang mengisi langit mengucapkan selamat tinggal
Yang padat, yang cair mencarikan jalan
Memasukkan gelap kedalam terang
Menghembuskan harum keseluruh bentangan
Merentang cakrawala, biru, kuning, hijau, ungu, merah, hitam
 “Kami, bintang-bintang, menyibak. Menebas rintangan, mumbuka jalan,” Seru kelompok bintang ketika menyaksikan lempengan cahaya kitab Alhikam itu meluncur.
Bintang-bintang saling beranggukan tanda kegembiraan. Awan gemawan berarak cepat, seperti ditiup mulut langit. Kecepatan sinar matahari ditahan sejenak, memberi senyuman pada lempengan cahaya kitab Alhikam yang sedang melesat kepondok pesantren Tanpa Papan Nama didesa Jambuan Jember-Jawa Timur.
Dan sampailah lempengan cahaya kitab Alhikam pada tempat yang dituju. Pada malam jumat disebuah tempat suci, dimasjid ponpes Tanpa Papan Nama, ia menjejak tanpa hentakan, teramat halus lebih halus dari apapun, berkilauan membias kedalam lembar demi lembar sebuah buku tua berwarna hijau yang sedang dibacakan oleh kyai zuhud dalam pengajian tasawwufnya.
Ketika lempengan cahaya kitab Alhikam meresap kedalam untaian kalimat yang berbaris indah dalam bacaan, seringkali ia dinamai oleh Kyai Nurul Huda bersama para jamaahnya, sebagai “diantara hidayah-hidayahNya.”
"Apakah engkau yang berwujud lempengan cahaya ini adalah salah satu diantara hidayah-hidadayahNya?" Tanya kyai Nurul Huda.
"Iya kyai." Jawab lempengan cahaya kitab Alhikam.
“Wahai engkau diantara hidayah-hidayahNya yang berkilau indah tak terkira, apakah engkau akan merasuk kembali kedalam kalbuku?” tanya Kyai Nurul.
“Tidak Kyai.” Jawab lempengan cahaya kitab Alhikam.
“Alhamdulillah,” kata Kyai Nurul dengan keadaan hati yang senantiasa riang.
“Wahai engkau diantara hidayah-hidayahNya yang senantiasa menyapa terang kehidupan kami dibumi, apakah kedatangan engkau demi membeningkan hati kami yang sering terkotori oleh keluh kesah akan pertanian yang semakin susah?” Tanya sebagian jamaah buruh tani
“Ataukah engkau akan menerang benderang pikiran kami?” tanya sebagian jamaah yang berprofesi sebagai pedagang cilok keliling, guru honorer, dan tukang becak.
“Tidak, bapak-bapak!” jawab lempengan cahaya kitab Alhikam
“Alhamdulillah,”kata kaum pinggiran itu serentak dengan hati yang lapang.
Tiba-tiba lempengan cahaya kitab Alhikam melampaui cahaya  lampu masjid, ia berkelebat melesat dengan kecepatan yang tak bisa diangankan, dan menukik tepat kedasar hati seorang pemuda. Pemuda itu bercelana jin, berkaos oblong lusuh, tanpa kopyah dikepala. Sudah dua bulanan ia mengasingkan diri disana. Ia sedang duduk khusuk merenung wejangan-wejangan kyai Nurul Huda bersama barisan orang-orang desa termarginal.
Setelah lempengan cahaya kitab alhikam itu merasuk kedalam dirinya, lalu, wajahnya yang murung menjadi riang. Hatinya menjadi bening lebih bening dari embun pagi. Pikirannya menjadi terang benderang menembus hikmah-hikmah dibalik kehidupan.
Pemuda itu menjadi berbinar-binar melihat dan mendengar dengan cahaya hatinya, kala kyai Nurul yang zuhud itu menukil ayat-ayat yang terlampir dalam kitab al-Hikam-al-ata'iyyah ”Dan tiadalah kamu berkehendak, kecuali apa yang dikehendaki Allah, Tuhan yang mengatur seisi alam (at-Takwir: 29). “Dan tiada kamu menghendaki kecuali apa yang di kehendaki oleh Allah. Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Bijaksana.(Al Insan:30).

Baca Tulisan Terkait



0 komentar:

Posting Komentar

Salam Santri Kenthir.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More