Ungkapan cintaku Lebih Kerbis dari Simbol Taj Mahal

Subtansi pengungkapan cinta terpendamnya Santri kenthir pada gadis pujaannya, itu sama halnya kisah cinta tulusnya Shah Jehan pada isterinya Mumtaz ul Zamani.

Awas! Saat Kaum Gay Bergentayangan Di Facebook Ku

Tulisan ini sekedar berbagi pengalaman unik selama berjejaring di facebook. Bukan untuk menghukumi minoritas kaum Gay.

7 Okt 2011

Berguru pada Gus Dur: Tak Perduli dengan Gengsi



Oleh : Nuruddin Hidayat

Suatu ketika Gus Dur berkenan menghadiri undangan di daerah tegal, seperti biasa Gus Dur selalu di dampingi pengawal dan sepri serta beberapa orang lain yang menemani perjalanan beliau. Perjalanan ini merupakan rangkaian dari beberapa undangan dari warga Nahdliyin kepada beliau untuk menghadiri acara Khaul para Kyai dan acara PKB di daerah yang ketika itu di pimpinnya. Dari Jakarta kami ke Surabaya dan keliling ke beberapa daerah di jawa Timur diteruskan ke Jawa Tengah. Dari Semarang kami melanjutkan ke daerah Tegal lewat jalan darat, memang ada pengusaha yang menawarkan Helicopter untuk di pergunakan selama perjalanan oleh beliau, namun dengan halus beliau menolaknya. Suatu ketika aku bertanya :
NH :“ Pak, itu pak …(X)… nawarin Heli kok dipun tolak?
GD : ra sah numpak heli nanti kita lewat jalan darat saja sekalian mampir ziarah ke makam para ulama dulu yang tidak kamu kenal. La wong dia nyediain heli karena ada maunya….
NH : “nyuwun sewu gadah kepentingan napa pak”
GD : “ O dia lagi ada masalah, sekarang belum ada apa-apa tapi nanti bakalan di usut, dan jadi rame…………
Aku : O ….ngaten to?
Dan ternyata beberapa tahun kemudian memang pengusaha tersebut tersangkut masalah.
Akhirnya rombongan kami pun sampai di kota Tegal dan langsung menuju ke lokasi acara di sebuah desa di selatan kota Tegal. Ribuan orang sudah memadati lapangan sejak pagi untuk mendengarkan tausiyah dari Gus Dur dalam acara Khaul salah satu Kyai pendiri pesantren di tegal. Seperti biasa ketika acara berlangsung aku pergi memisahkan diri dari rombongan jalan-jalan di seputar lokasi acara sambil melihat langsung kehidupan masyarakat desa.
Selesai acara haul rombongan kami hendak kembali ke Jakarta dengan menggunakan Kereta Api dari stasiun Tegal. Hiruk pikukpun terjadi di stasiun tegal, semua pejabat di Tegal ikut mengantar keberangkatan beliau tak lupa juga kepala stasiunnya. Masyarakat yang tidak menduga kalau Gus Dur akan naik KA berebut ingin bersalaman hanya ingin ngalap “barokah” suatu hal yang biasa di masyarakat NU .
Tiba waktunya kami berangkat di gerbong eksekutif yang sudah kami pesan duduk bersama dengan para penumpang yang sudah naik terlebih dahulu dari kota-kota sebelumnya.
15 menit setelah kereta api berjalan Gus Dur panggil pengawal kalo mau tidur di bawah saja. Kamipun bingung, aku beranikan diri menjawab : “ Pak nyuwun sewu ini di Kereta pak,” Kata beliau “ emang kenapa kalo di kereta? Din rakyat kecil kalo naik kereta itu pada tiduran di bawah, cepet dang to di gelari koran” aku hanya terdiam mendengar jawaban beliau.
Akhirnya kursi kami putar saling berhadapan dan di lantai kami gelari selimut, dan dengan nikmatnya beliau tidur dan mendengkur tanpa memperdulikan status yang melekat pada dirinya (mantan Presiden RI ). Kamipun akhirnya duduk di lantai KA dan mungkin karena sungkan para penumpang yang duduk dekat dengan kami akhirnya pada duduk di lantai mengobrol bersama dan diantaranya ada yang menitikkan air mata karena terharu melihat kerendahan hati beliau. Tulisan ini hanya sebagai obat rinduku kepada Gus Dur…..ila khadroti habibina wa syafi’ina sayyidi syech KH. Abdurrahman Wahid Al Fatehah ……
Jakarta, 21 Januari 2011
Sumber: http://gusdurian.net/news/2011/04/22/16/gus_dur_____tak_perduli_dengan_gengsi____.html

Problem Akut Kesejarahan Jember (2)


Dominasi wacana sejarah Kabupaten Jember yang bersumber pada sejarah tertulis dan dampaknya pada kategorisasi kebudayaan Pandhalungan di Jember Tengah yang kemudian ditarik sebagai representasi sejarah dan identitas kebudayaan Jember, menurut hemat saya, merupakan penjelasan sejarah dan budaya yang terburu-buru, terkesan obsesif dan imajiner untuk menemukan Jember sebagai wilayah yang historis, khas, unik, dan otentik. Karena sejarah lesan rakyat sebagai sumber data Primer tidak dilibatkan didalamnya. Prosesi penarasian sejarah dimulai dari jember Utara yang bersumber pada naskah-naskah dokumentasi kolonial belanda (data primer), dengan tanpa melibatkan sejarah yang berkembang wilayah Jember lainnya yang bertumpu pada kekuatan tradisi lisan rakyat, maka, menyebabkan hilangnya pembabakan sejarah rakyat Jember sebelum zaman berkembangannya industrialisasi perkebunan, sebelum tahun 1800-an.

Padahal, narasi sejarah jember lainnya mengungkap, bahwa tahun 1771 telah terjadi perlawanan rakyat jember pada V.O.C Belanda yang dikoordinir oleh Sayu Wiwit dengan gemilang menghancurkan pos Belanda di jember (babat bayu, 1773 dalam Hasan Basri: Tanpa tahun), namun para sejarawan jember enggan menelusurinya karena terbatasnya sumber tertulis yang bisa menjelaskannya. Mengenai Sayu Wiwit Pemkab banyuwangi mengusulkan menjadi pahlawan nasional. Disini, jika telah terjadi pertempuran di Jember pada tahun 1771, lepas dari ketokohan Sayu Wiwit sebagai orang blambangan yang masuk dalam batas geografis Banyuwangi atau kekalahan V.O.C Belanda disatu sisi, bukankah ini pertanda bahwa telah ada pribumisasi rakyat Jember sebelum era migarasi besar-besar akibat industri perkebunan di Jember?

Sejarah lisan rakyat Jember yang membisu di ruang publik, lokusnya dominan berada di jember selatan. Ini bisa dimaklumi karena sejarah jember yang sudah banyak beraksi dipanggung publik alirannya dari jember utara sedang di Jember selatan kurang terapresitif karena minimnya sumber tertulis untuk menjelaskan fenomena sejarahmasa lampaunya. Sedang data-data untuk menjelaskan fenomena sejarah di Jember selatan lebih banyak berasal dari cerita rakyat, dari mulut kemulut, dan seringkali terendap diruang alam bawah sadar. Cerita Sogol di ambulu, Mbah budeng di balung, Pangeran puger di puger, candi deres di gumukas, situs taman bekas kerajaan majapahit ditaman sari, dan lain lain yang masih banyak terpendam di Jember selatan, merupakan tantangan pada diskursus sejarah jember untuk lebih apresiatif dan serius mengadirkan sejarah jember sebenarnya secara utuh pada khlayak luas.

Fakta lainnya, jika diarahkan demi memperkaya historisitas Jember, yakni kontrakdiksi nama-nama desa yang memakai nama Jawa -mayoritas dikabupaten Jember- namun etnis penduduk yang berdiam didalamnya mayoritas ber etnis madura, terutama terjadi di Jember Timur dan Jember barat. Misalnya Nama-nama desa: Pakusari, Mayang Sari, Sumbersari, Bangsal Sari, Gambirono, yang kesemuanya mayoritas penduduknya ber etnis Madura. Tentu hal semacam ini tak bisa diindahkan begitu saja untuk masuk menelusuri lapisan sejarah Jember lebih dalam lagi. Kemungkinan telah terjadi prosesi perubahan sejarah yang besar prakolonialisme yang telah kita alpakan disini. Bisa jadi, disamping untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja dalam skala besar, sekaligus hidden agenda politik belanda untuk menggusur pribumisai etnis Jawa yang telah lama mendiami wilayah Jember.

Oleh karenanya sangat penting menggali sejarah jember yang masih belum terkuak, dimana data-datanya masih berserakan dialam bawah sadar rakyat Jember. Penggalian dan pengumpulan data sejarah rakyat hanya bisa kita kerjakan dan kita dapatkan dari sejarah lisan mereka. Sejarah Jember yang sudah ternarasikan melalui sumber-sumber tertulis akan lebih mendekati pada kebenaran dan lebh indah dipermukaan, apabila tidak vis-avis dengan sejarah lisan rakyat tetapi saling berkorelasi, dan tidak lagi berposisi mensubordinasi atau menegasi.

Penelitian lisan tidak digali dengan ’kepala kosong’. Segalanya disiapkan dalam kerangka yang matang. Dengan demikian, informan tidak akan bicara tanpa makna, tetapi diarahkan pada kebutuhan peneliti. Pembicaraan bersifat lentur karena mendekatkan pada proses. Namun demikian, peneliti tetap menjadi pengendali.

Demikian juga pada pendekatan kultur, kemampuan peneliti ditantang. Pendekatan ini memungkinkan terciptanya dialog yang alami. Informan tidak merasa diinterogasi, tetapi diajak untuk berkelana mengarungi pulau masa lalu. Pelan tapi pasti, segala persitiwa yang ingin dibidik peneliti, akan terlontar dari informan. Pernyataan secara alami itulah, yang akan menjadi data baru yang unik, pure, dan berbeda dari penuturan dokumen.

Dalam sejarah lisan, peneliti memang harus membatasi hubungan dengan dokumen. Apabila terjadi, ia hanya akan menjadi penutur sejarah terburuk. Artinya, hanya mengulang penjelasan yang sudah ada. Penelitian lisan berusaha menghasilkan data yang berbeda, dengan mendekatkan pada fungsi evaluasi dan refleksi dokumen.

Fungsi tersebut, memungkinkan sejarawan berdialog secara psikologis dengan data. Proses ini akan memunculkan ’empati historis’. Sifat ini perlu ditumbuhkan dalam jiwa sejarawan, untuk membangun logika analisa fakta. Empati bukanlah sebuah ’dosa’, tapi justru cara membuat historiografi menjadi lebih manusiawi.

Sejarah bukan icon kaku tanpa ekspresi. Pergulatan manusia dalam melawan nasib adalah kerja manusiawi yang sarat pergolakan batin dan jiwa. Situasi ini akan hidup jika muncul muatan psikologis. Data lisan memungkinkan kerja-kerja psikologis untuk menghidupkan fakta, tanpa mengurangi validitas dan kredibilitasnya. Kekuatan data dapat menunjukan mentalitas informan dalam menghadapi situasi zaman. Secara kolektif akan memunculkan genre baru: sejarah mentalitas.

Sebagai akhiran, pernyataan pujangga dan sejarawan Belanda, Willem Bilderijk, pantas untuk direnungkan. Setiap kejadian memang timbul-tenggelam, tapi tidak berarti diam. Ia mengandung makna yang aktif—menyajikan pelajaran hidup yang kemudian diterjemahkan dengan nama: hikmah. Apalagi dalam kacamata historis, kejadian itu bersifat tridimensi—past, present, and future. “Apa yang timbul, dan apa yang tenggelam, Tidak tercerai-berai, melainkan berkesinambungan, Hari kemarin memangku hari sekarang. Dan hari sekarang menumbuhkan hari depan!”(Willem Bilderijk)

Problem Akut Kesejarahan Jember (1)


Wacana kesejarahan Jember yang telah terdistribusi selama ini menjadi terbatas pada penceritaan bagai mana kota jember terbentuk dan kekuasaan administratif Jember sebagai Kabupaten terbangun. Seperti yang sering saya paparkan sebelumnya, dimana sejarah Jember dimulai dari penetrasi modal besar-besaran yang masuk kejember oleh perusahaan swasta Belanda pada tahun 1867 menyebabkan jember berkembang pesat menjadi kota perdagangan yang melampaui wilayah-wilayah se-kerisedenan besuki yang secara administratif kemudian pemerintah hindia belanda berkepentingan menetapkan wilayah afdelling Jember tersendiri terpisah dari afdelling Bondowoso. Implikasi dari wacana ini, mainstrean sejarah Jember sebagai sejarah tertulis berposisi mensubordinasi sejarah lisan dan meliyankan sumber-sumber cerita rakyat. Sejarah rakyak diasosiasikan sebatas legenda, dongeng, dan itu sebagai omong kosong yang tak terkait dengan kebenaran sejarah Jember masa lampau. Dampak sistemik lainnya, para kaum inteluktal yang paling berkompeten menggali sejarah lisan menjadi malas menelusuri sejarah Jember melalui tradisi lisan rakyat.

Implikasi lain menggali sejarah jember hanya berpatokan pada sumbr tertulis yang mayoritas ditulis oleh orang-orang kolonial belanda, kesan yang diporoleh, bahwa gelombang sejarah jember akibat dari penetrasi modal dan kolonialisme belanda yang dimulai dari arah utara mengakibatkan arus migrasi etnis dari madura dan jawa. Kesan selanjutanya, peran sentral eksistensi kolonial bangsa belanda di jember menjadi penentu arah perkembangan sejarah kabupaten jember pada periodisasi setelahnya. Dan migrasi besar-besaran yang mempertemukan dua etnis besar yakni etnis jawa dan Madura dalam satu area di Jember tengah menghasilkan kebudayaan baru Jember bernama budaya Pandhalungan, menjadi problematis, karena belum tentu merepresentasikan kebudayaan rakyat jember secara umum. Bisa jadi ini hanya kasuistik yang terjadi di jember tengah yang tak bisa dipukul ratakan ke wilayah jember lainnya.

Superioritas penulisan sejarah Jember yang mengutamakan sumber dokumen tertulis merupakan gejala umum penulisan sejarah di indonesia, dengan apik Ahmad Nashih Luthfi (2006) menggugatnya seperti berikut dibawah ini:

Agaknya tidak berlebihan bila dikatakan bahwa sejarah Indonesia selama ini terkuantifikasi ke dalam penjelasan yang sifatnya structural, kelembagaan (politik), nilai, ideology, arus sebagai penggeraknya, tekstualitas, dan mengabaikan eksistensi kemanusiawiannya. Sehingga muncul istilah history without people, and people without history. Ketika sejarah mengalami positifistikasi yang akut, ditandai dengan semboyan “no written document no history” oleh Ranke, sejarah telah mengkhianati metode tradisonalnya, metode Herodotus atau Thucydides ketika menulis perang Peloponnesian, yakni metode wawancara terhadap para prajurit yang terlibat dalam perang tersebut. Sejak saat itu sejarah mengalami kemunduran. Namun, setelah Allan Nevins dari Columbia University pada tahun 1948 menggunakan metode Sejarah Lisan dalam merekonstruksi masa lalu kulit putih Amerika, Sejarah Lisan mulai kembali mengalami kemajuan. Disusul dengan Paul Thompson dalam bukunya berjudul Voice of The Past, Oral History, metode Sejarah Lisan mengembalikan posisi pentingya, dan membuka potensi rekonstruksi atas masa lalu lebih mudah dilakukan. Penulisan sejarah semacam ini (khususnya banyak menggali aspek social) mulai berorientasi pada penulisan sejarah yang beragam, dari lapisan bawah atau “history from below, history from within”. Sehingga terjadi usaha pendemokratisan dalam sejarah.

Oleh karenanya pembabakan sejarah jember yang telah menjadi alur maenstream sejarah dan kategorisasi budaya pendhalungan yang telah menjadi rezim wacana, perlu ditinjau ulang. Peninjauan ini saya maksudkan untuk melengkapi kekurangan historigrafi Kabupaten Jember. Tinjauan pertama bahwa gelombang sejarah jember dimulai dari jember utara dan penanggalannya mengacu pada narasi tertulis yang tersimpan rapi dalam lemari kepustakaan pemerintah belanda, tanpa disadari telah menafikkan sejarah lesan dan artefak sejarah lainnya yang berkembang dimasyarakat jember selatan, bahkan sejarah lisan rakyat jember pada umumnya. Pengamatan saya dilapangan pada fenomena sejarah rakyat jember yang perlu ditelusuri kedalamannya sebagai berikut.

Fenomena historisatas nama-nama desa yang memakai penamaan Jawa yang umum terjadi diseluruh wilayah kabupaten Jember, mengindikasikan keberadaan rakyat jember ada jauh sebelum kedatangan koloni bangsa belanda, saya kira merupakan data yang melengkapi historigrafi yang perlu ditelusuri lebih jauh. Cerita rakyat desa balung misalnya, (setiap tahun kronologi sejarah Desa balung Lor dibaca pada acara selamatan desa) dikemukakan, bahwa penamaan desa Balung bermula ditemukannya tulang tengkorak manusia pertama pembabat hutan bernama Mbah Budeng, oleh kelompoknya kemudian prosesi penemuan tengkorak mbah Budeng tersebut ditandai dengan nama wilayah utara hasil pembabatam dinamai Balung Lor, sebelah barat dinamai Balung Kulon dan sebelah selatan dinaman Balung Kidul. Mbah Budeng dan kelompoknya keberadaannya di balung merupakan pelarian dari kerajaan mataram dan makam mbah Budeng sampai sekarang dikeramatkan sebagai tokoh sejarah yang melahirkan desa Balung. Lain halnya dengan cerita sejarah kecamatan Balung, di kecamatan Puger, oleh mayarakat, nama puger diyakini diambil dari nama pangeran puger yang sempat menetap di puger bersama pengikutnya. Sampai sekarang cerita yang beredar disana, bahwa rakyat puger dahulu kala adalah sebagai pengikut pangeran Puger Situs petilasan (berbentuk makam) Mbah Tanjung, yang berada di Kucur merupakan bukti historigrafi sejarah desa Puger yang sekarang sudah terpecah menjadi Desa Puger wetan dan Puger Kulon. Fenomena sejarah lainnya terjadi di Desa Tamansari Wuluhan ditemukannya oleh masyarakat setempat artefak bekas taman masa kerajaan majapahit yang diyakini oleh masyarakat setempat sebagai cikal bakal nama desa taman sari. Masih banyak lagi nama-nama desa Di kabupaten Jember lainya yang memakai nama Jawa dan ditengarai berasal dari nama ketokohan atau legenda masyarakat setempat yang mendominasi dikabupaten Jember. Di Jember Timur, penamaan desa Mayang Sari erat kaitannya dengan kisah legenda putri Mayang yang oleh masyarakat setempat diyakini sebagai puteri seorang raja yang menjadi leluhurnya. Sedang di Jember tengah dan Utara, nama-nama seperti Gebang, Patrang, Mangli, Arjasa, merupakan legenda nama para bangasawan kerajaan yang dilakonkan oleh Seni Ludruk setempat dalam cerita babat tanah Jember.

Tinjauan kedua pada wacana budaya pendhalungan sebagai hasil akulturasi pertemuan budaya dua atnis besar antara etnis Madura dan Etnis Jawa di Jember Tengah (atau tepatnya di wilayah-wiayah pinggiran kota jember) menimbulkan problemmatik representasi identitas tersendiri bagi diskursus kebudayaan jember. Dengan hanya mengambil sempel masyarakat Jember tengah dengan hanya sekilas membaca pola praktik bahasa sehari-hari dan kesenian tradisi yang dikembangkannya, menjadi tidak mewakili kebudayaan rakyat Jember secara umum. Di jember selatan, (Kecamatan: Balung, Puger, Wuluhan Ambulu, Gumuk Mas, Kencong), pengamatan saya dilapangan, tidak saya temukan model perampuran dialek bahasa sehari-hari antara etnis jawa dan madura seperti yang dicontohkan oleh Ayu Sutarto Di jember Tengah. Juga pada keseneian rakyatnya tidak terjadi perubahan-perubahan yang berarti. Etnis jawa dan Madura masih tetap bersikukuh dengan pola-pola bahasa dan keseniannya masing-masing. Di kecamatan Balung, misalnya, kelompok etnis madura mayoritas berdiam di sebelah utara, sedang etnis jawa bertinggal di sebelah selatan dan mendominasi seputar kota kecamatan. Masing-masing etnis memakai bahasa nya sendiri, baik etnis Jawa dan Madura tidak berupaya mencampur adukkan. Dalam berkesenian, pada kesenian jaranan misalnya, saya amati para pendukungnya adalah kelompok etnis etnis jawa, sementara kelompok etnis madura lebih memilih seni hadroh.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More