Ungkapan cintaku Lebih Kerbis dari Simbol Taj Mahal

Subtansi pengungkapan cinta terpendamnya Santri kenthir pada gadis pujaannya, itu sama halnya kisah cinta tulusnya Shah Jehan pada isterinya Mumtaz ul Zamani.

Awas! Saat Kaum Gay Bergentayangan Di Facebook Ku

Tulisan ini sekedar berbagi pengalaman unik selama berjejaring di facebook. Bukan untuk menghukumi minoritas kaum Gay.

3 Nov 2011

Sebelum dan Sesudah Menikah


SEBELUM MENIKAH

P: Akhirnya sudah lama saya menunggu2...
W: Kamu ingin meninggalkanku?
P: Tidak! Jangan pernah berpikir begitu...
W: Apakah kamu mencintaiku?
P: Tentu saja setiap saat..
W: Pernahkah kamu membohongiku?
P: Tidak.. kenapa kamu berkata begitu?
W: Maukah kamu menciumku?
P: Setiap saat ada kesempatan..
W: Apakah kamu mau memukul aku?
P: Apakah kamu gila? Aku bukan orang seperti itu!
W: Bisakah aku mempercayaimu?
P: Ya..
W: Oh Sayangku..

SETELAH MENIKAH

Bacalah ulang dari bawah ke atas..

Menelanjangi Sebuah Kecemburuan


Ruang rasa mencintai tak pernah berkurang pada gadis itu, namun jua, aku tak ingin  pikiran dan hati selalu menggantung dan digantung hanya kepadanya. Hembusan segala rasa dari  kesementaraan hidup haruslah selalu berada dalam remote control pemahaman. Segala yang berubah-ubah dan yang menebarkan pengaruhnya wajib berjangkar pada keyakinan hidupku.
Itu bukanlah buah ekspresi sikap egoisme, tapi, aku sedang belajar menanam prinsip-prinsip idealisme hidup. Silahkan orang mencerca dan menghina atas apa yang kupahami dan kulakukan selama ini. Aku tak kan pernah mengubrisnya sekalipun. Apabila berakibat menjatuhkanku, aku takkan pernah dan tak perlu menyesalinya. Biasalah, itu terjadi pada siapapun sebagai konsekwensi pilihan jalan hidup masing-masing orang. Bukankah setiap pilihan hidup mengandung resiko baik dan buruk bagi pemilihnya?

Bukan pula hendak memisahkan antara ujian dari tuhan dengan macam-macam ujian lainnya. Tapi benarlah adanya yang kurasakan dan kualami, bahwa, dalam hidupku ada tiga sosok  konstan yang menguji yakni; Tuhan, Ibu, dan Nining. Yang datang dari tuhan dan ibu aku sudah pernah mengalami dan merasakan bagaimana pahit dan getirnya, tapi, ujian yang dari Nining sungguh luar biasa tak kalah dari keduanya. Guncangannya telah menyemburkan gelora terasa amat perih menyayat meluluhlantakan benteng-benteng pertahanan makna.
Pada suatu hari dengan penuh ekspresif dia mengatakan tunangannya yang anak Akademi Militer (Akmil)  itu akan datang kekosannya. Aku diharapkan datang dalam pertemuan tersebut. Entah aku tak tahu maksudnya. Aku hanya bisa mengingat-ingat waktu itu: “Kulihat Nining sering mencuri pandang kepadaku. Sepertinya ia menyelidik apa yang sedang kurasakan. Entahlah, aku merasa tak perlu mencemburui pemuda itu. Justru aku kasihan padanya. Kenapa ia dengan masa depan cerah tak jua dicintai Nining. Sepertinya Nining hanya ingin menunjukkan kepadaku bahwa dia gadis idealis yang kukuh pada prinsip-prinsip hidupnya sendiri. Itu saja yang bisa ku nilai diantara mereka.”
Burung-burung dengan kepakan sayapnya telah melesat tinggi menghindari setiap perangkap  yang akan menyangkar kebebasannya. Selaksa, aku hanya ingin mawas atas kemerdekaan diri yang telah kugenggam supaya tak mudah lagi terperangkap oleh ruang-ruang sempit dan pengap. Mata tajamku terus mensensor setiap perubahan didepan agar kenikmatan yang kurasakan menakar dirinya tidak menjadi berlebih dan tidak pula berkurang. Kenikmatan yang berlebih sering menjadikan seseorang lupa diri. Kenikmatan yang selalu berkurang mudah menjebak diri dalam kubangan ambisi.  Namun sejauh-jauhnya burung terbang, pasti ia hinggap jua. Dan sekuat-kuatnya diriku mensensor rasa dari segala pengaruh yang datang, pasti pula ada keterbatasannya.
Pada suatu hari yang lain. Siang yang terik, selesai mengikuti mata kuliah, saat hendak pulang kerumah, dari jauh kulihat seorang teman bernama Aan Subiyanto datang menghampiri: “ Saiful, kemana saja, kok gak pernah main kekosku? Aku kemarin seharian sama Nining main kekosan cowok ganteng.  Eh, Ful padahal Nining baru kenal dengan cowok itu sewaktu dikosanku. Nining nanya nama dan kosnya dimana, terus, dia nyamperi ngajak aku main kesana. Nining sok akrab gitu. Katanya sih nanti malam cowok itu mau bertandang balik kekosannya Nining. Waduh, ganteng arek`e Ful! Lek dibanding kamu gak ada apa-apanya, lah! Jauh seperti langit dan bumi. Koyok`e Nining mulai tertarik pada cowok itu.”
Terusik juga ketentramanku. Penasaran juga mendengar ceritanya tersebut. Hemm Nining berkenalan dengan cowok?. Ditempat kosnya Aan.? Sangat tampan dan Nining yang agresif berininsiatif mengawali kekosannya cowok ganteng itu? Bila dibandingkan aku ketampanan cowok itu bagai langit dan bumi?.
”An, sekarang aku ikut kekosanmu ya? Aku pingin nginep dikosanmu. Tapi dengan syarat nanti malam kita main kekosannya Nining, ya?” 
 Sedari sore dikosannya Aan hati selalu gelisah. Tak sabar menunggu hari segera berganti malam. Pikiran terus menerawang membayang Nining sedang berdua dengan cowok ganteng nan keren. Gelora resah-gelisah terus berkecamuk menuntut segera aku melewati situasi sore  mencekam.
Sampai jam menunjukkan pukul  7 malam, Aan subiyanto masih saja asik dengan wirid-wirid sholat magribnyanya. Seakan ia tak peduli tujuan kehadiranku menginap dikosnya.
”Sialan banget nih Aan. Apaan sih yang diminta pada tuhan, kok lama banget begini sholatnya. Meminta kok maksa sih. Atau surga itu pingin kamu kuasai sendirian ya ", cercaku dalam hati.
Tak sabar menunggui Aan berwirid ria, walhasil, akupun cabut sendirian meluncur merapat kekosannya Nining. Dengan berjalan kaki aku meyakinkan diri, bahwa cowok ganteng itu hanyalah teman biasa. Nining tetaplah tak akan mudah tertambat oleh ketampanan, jabatan, dan kekayaan. Semoga dia tetaplah perempuan tangguh yang selama ini kukenal.
Kamar kos baru yang ditempati Nining tempatnya agak menjorok kedalam. Tamu kos masih harus melewati lorong pembatas rumah pemilik Kos. Dada berdebar. Aku tidak bisa setenang biasanya. Di pintu gerbang aku berpapasan dengan ibu kos yang sudah ku kenal sebelumnya.
"Nining ada Buk?"
"Oh, ya ada didalam. Langsung masuk saja dik!"
Ya ampun..! Cowok yang duduk didekat Nining itu memang benar-benar tampan. Ternyata benar apa yang dikatakan Aan, aku memang tak sebanding dengannya.
Terlihat Nining sudah sangat akrab berbincang dengan cowok tampan tersebut. Aku tercengang, gugup, canggung, gelisah berbaur menggumpal bertumpu pada kaki yang bergemetaran melangkah mendekati mereka.
"Assalamualaikum, hai Ning". Aku mulai mendekat, sementara darah berdesir kencang mengaliri  saraf-saraf  emosional.
Aku berusaha bersikap setenang mungkin. Sekuat mungkin bersikap santai. Namun ternyata sia-sia, rasa berkecamukku sudah mulai terendus oleh Nining. "Waalaikumsalam. Hey, duduk aja, ngapain bengong gitu. Kenalkan ini temanku, " timpal Nining dengan riang.
"Saiful", kataku singkat mendahului mengulurkan tangan pada cowok tampan itu.
"Rian..!" seru cowok tampan itu membalas. Ini cowok memang sangat tampan  sangat pantas bila bersanding dengan kecantikannya Nining.
"Siapa, tolong diulang, " pikiranku tidak konsent, jadi telingaku kurang jelas menangkap namanya. Saat bibir cowok itu akan mereplay nama Rian, tiba-tiba suara Nining meluncur deras memanaskan seluruh saraf otakku. "Rian calon cowokku! he..he..!" Nining cengengesan tanpa beban. Ia mencoba menyelidik perubahan yang terjadi pada raut mukaku.
Menyebalkan. Detak jantung menjadi tak beraturan. Situasi menjadi kacau untuk disikapi. Daripada aku mati lemas, selekasnya aku harus keluar dari forum jahanam itu.
"Oh ya, gak ngelihat Aan datang kesini , Ning?", aku mencari alasan agar aku selekasnya enyah dihadapannya.
"Loh, bukannnya sampean tadi dari kosnya Aan?"
"Iya, sih. Tapi dia tadi keluar duluan, bilangnya  mau kesini. Oke dech, aku pamit dulu. Silahkan dilanjut obrolannya. Aku mau nyari Aan. Nanti kalau ketemu, mungkin aku kesini lagi dengannya."
Dengan terburu-buru aku melangkahkan kaki cepat-cepat pulang kekosnya Aan. Aku tak bisa memahami makna apa yang terjadi dengan Nining dan apa yang sedang terjadi padaku. Yang kurasakan seluruh tubuhku dimuati oleh rasa emosi yang perlu dimuntahkan segera.
Sialan, Ditengah jalan.aku berpapasan dengan Aan. "Loh, awakmu dari mana? Katanya kamu mau ketempat Nining? Ayo, kita kesana." Tegur Aan keheranan melihatku tergopoh-gopoh .
"Aku wis dari kosnya Nining, An! Tapi aku kebelet be`ol. Kamu duluan kesana, nanti aku nyusul. Mana kunci kamarmu, aku mau masuk dulu".
Sesampai dikosnya Aan, aku langsung mempelantingkan diri diatas kasur. Dengan memasrahkan diri sejenak, berharap kekacauan emosi yang mengganjal ritme jantung menjadi  stabil kembali. Guling kutelungkupkan keraut muka. Tubuhku menggelepar. Tanpa terasa aliran deras emosi dalam tubuh yang melunglai merembesi pipi dengan air mata.
 "Jancukk....! Jancuuuk..!" Kalimat umpatan yang sudah lama saya buang itu hadir kembali dari kawah kekecewaan mendalam. Walau tidak sambil berteriak namun berulang-ulang kalimat itu meluncur dari bibirku tanpa sadar.
Biasanya dengan menenggelamkan diri pada wirid menyebut nama-nama Allah, aku berhasil menstabilkan jiwa. Namun kali ini 'anti virus ampuh astagfirullah dan subhannallah' yang sering meredam kekecewaan hidupku tak mampu lagi mengendalikan keliaran ucapan, jancuk! Seperti orang gila aku mengomel sendirian dikamar Aan.
Virus hidup yang diberikan Nining memang jauh lebih dahsat. Tidak hanya merusak mulutku,  ia secara perlahan merambat kejantungku.
"syut-syyut-syyut...!," kurasakan jantungku seperti diiris-iris. Kali ini aku merasakan sebuah kebenaran; ternyata sakit hati membawa dampak sakit pada jantung seperti yang sedang di iris-iris. Semakin aku mengingat sosok Nining dengan cowok tampan itu,  semakin irisan pada ulu hati terasa  semakin dalam. Semakin aku menyadari posisi diriku dalam kelas sosial dan siapa aku ini dihadapan Nining, semakin pula rasa sakit hati itu semakin menjadi. 
 "Ya, Allah. Subhanallah. Astagfirullah...mohon ampunku kepadamu."
"Dimanakah tuhan dalam kecemburuan ini? Apa kecemburuan itu? Kenapa kecemburuan menyebabkan sakit teramat perih? Apa kecemburuan adalah bentuk kekalahan yang melekat pada insan lemah?

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More