Ungkapan cintaku Lebih Kerbis dari Simbol Taj Mahal

Subtansi pengungkapan cinta terpendamnya Santri kenthir pada gadis pujaannya, itu sama halnya kisah cinta tulusnya Shah Jehan pada isterinya Mumtaz ul Zamani.

Awas! Saat Kaum Gay Bergentayangan Di Facebook Ku

Tulisan ini sekedar berbagi pengalaman unik selama berjejaring di facebook. Bukan untuk menghukumi minoritas kaum Gay.

21 Sep 2011

(Cerpen) Lendirku Melelehkan Kebekuan Cinta Terpendam

Bayangkan, selama tiga tahun aku memendam perasaan cinta mendalam padanya seperti berikut:” Terhitung hampir tiga tahun, aku selalu memikirkan dan membayang sosoknya. Setiap berpapasan dikampus, dikos-kosan, saat berjalan berdua, selalu saja berbarengan dengan detak jantung yang berdebar-debar. Selama bersua dengannya, perasaanku selalu tak ingin lekas berlalu. Saat tak lagi bertemu seharian, rindu hati selalu mendorong untuk lekas berjumpa.. Waktu asik-asiknya ngobrol berdua, tak ingin rasanya aku lekas terpisah. Ngobrol bersamanya sampai berjam-jam- Aku seperti sedang triping dengan rangsangan pil ekstasi- jiwaku menjadi mabuk, dan lupa akan semuanya. Perasaan cinta kepadanya harus aku akui telah melebihi cinta kepada orang tua maupun kepada Tuhan”.
Selama menjalin komunikasi langsung dengan gadis yang teramat aku cintai itu, gejala-gejala aneh pasti terjadi pada tubuhku. Gejala aneh tersebut: “Biasanya aku telpon dia sampai dua jam. Lalu akutenggelam diri disetiap percakapan asik-sik!. Lalu diriku terrbuai-wai oleh suara merdunya. Seketika itumataku selalu awas memandang permenit tarif telpon didalam bilik Wartel agar jangan sampai total biayanya melebihi jumlah uang 50 ribu yang telah kusiapkan. Selesai menelpon, sering kali penisku sampai berlendir. Padahal sewaktu berlangsung obrolan, penisku tidak mengalami ireksi. Selain itu, setiap kali berpapasan, kurasakan jiwaku seperti sedang mendapat undian mobil mewah. Pada saat bertandang ke-kosan-nya, dia sedang bercelana pendek mini, seketika betis dan paha mulusnya benar-benar terlihat hingga menyilaukan mata batinkuku. Saat seperti itulah, libido tertindasku mengalir deras;(Libido tertindas: bukanlah dorongan ‘nafsu biologis unsih’, tetapi nafsu manusiawi yang telah bercampur baur dengan libido kekuasaan dan berkelindan dengan ketertindasan sosial) maka yang kurasakan; -mohon maaf, katanya yang pernah menghisap sabu-sabu-, tubuhku menjadi bugar, kuat.dan jiwaku penuh semangat . Inikah yang dinamakan hasrat cinta? Sampai segitukah kekuatan cinta itu?”
Dua pernyataaan pada alinea diatas, bukan bermaksud cabul, ngawur, mengada-ngada, dan melebih lebihkan. Itu semua kejujuran saya(semoga bisa dipetik menjadi pengetahuan) atas apa yang terjadi pada jiwa dan tubuhku selama tiga tahun menjalin hubungan “tanpa status” dengannya: “Jalinan hubungan ‘tanpa status’ yang kujalani bukan dalam kontek persahabatan, bukan pertemanan biasa, bukan pula dalam kontek hubungan berpacaran“.
Kami saling merindu, saling mencintai, bahkan saling bersitegang. Tapi kami bukanlah teman, bukanlah sahabat, bukanlah pacar!: “Terkadang aku yang menelpon kerumahnya dilumajang. Terkadang dia yang menelpon kerumah Pak De ku. Hari sabtu sampai minggu dia pulang kampung. Pada hari senin saat berjumpa dikampus terlihat pada sikap, cara, dan gaya malu-malunya, dia teramat rindu selama dua hari tak bertemu. Dia tak pernah panggil aku dengan sebutan langsung saiful, saipul, dimana pun bertemu ia selalu memanggilku dengan kata hai atau hey!. Namun tidak pula memanggilku dengan panggilan, mas! (kepingin banget aku dipanggil sayang, lo?). Panggilan demikian merupakan panggilan berjarak untuk ukuran pertemanan atau persahabatan yang berlangsung selama tiga tahun. Sudah berulang kali aku nyuruh jangan panggil aku, hai atau hey tapi langsung saja panggil saiful atau saipul. Tetap saja dia panggil aku hai atau hey. Statusku juga bukan pacarnya, tapi dia begitu cemburu ketika dengan sengaja aku ngobrol dengan teman cewek lalu pura-pura tak tahu kehadirannya. Bila sudah begitu, dia akan marah-marah dan semingguan tak menyapaku. Bukan persahabatan, karena dia begitu cemburu jika aku dekat dengan cewek lain. Bukan berpacaran, karena kami tak pernah terbuka mengungkap kata mesra dan saling berbelai. Bukan pertemanan, karena dia selalu panggil aku dengan panggilan hai atau hey”
Kepingin banget dia yang memulai duluan, bilang padaku, “Maukah kamu jadi pacarku?.” Atau memberi isyarat fisik, seperti; “ saat berjalan berdua, lalu ia dengan mesra menggandeng tanganku, menoleh tersenyum dan berkata, kita pacaran aja, yuk?” .
“Ah, andai itu terjadi, pasti aku akan bilang sangat mau sekali. Itu hanya andai-andai sepihak. Mana mungkin dia akan melakukan itu? Dia kan cewek, mana mungkin nembak duluan? Diakan gengsinya tinggi banget,aku kan kere? Tapi, kalau sudah lihat cara menatapnya, perhatiannya, kerinduannya, kecemburuannya; aduh..! kepingin langsung nembak seketika itu juga!, Ning! Maukah kau jadi pacarku? Alah, mak..! Pasti Nining mengangguk sambil berucap, prett..prettt..!!”.
Sementara hasrat cinta itu begitu ingin memilikinya. Perasaan itu selalu ingin mengucapkan: “Aku cinta kepadamu, Ning!”
Terlalu lama (tiga tahun lebih) aku menanggung cinta seorang diri: “Cinta tak cukup lagi hanya dirasakan ditempat tersembunyi. Cinta harus dinyatakan secara terbuka. Aku harus tahu, apakah Nining cinta kepadaku atau nggak. Jika tidak cinta ya, udah. Tinggalin aja. Titik. Dari pada menderita lama-lama menanggung cinta terpendam”.
Namun mengutarakan cinta kepada Nining bukanlah perkara mudah. Butuh keberanian super nekat:“Bagaimana kalau dia jawab, tidak! Apakah aku tidak teramat sakit? Apakah aku siap tersakiti oleh orang yang sangat aku cintai ini? Dilema yang kuhadapi ini sama seperti aku sedang menebak jawaban suara dari tokek: Berani bilang, nggak? Tokkek….(*nggak*). Bilang cinta, nggak? Tokkek…(*nggak*). Nining cinta aku, nggak?. Tokkek..(*nggak*) ”.
Disuatu malam aku menyusun rencana dan menuliskan surat pernyataan cinta: “Mencari momen dan tempat yang pas. Kata-kata yang mengena dan berbau romantis. Tidak boleh gugup. Kalaupun gugup, maka surat cinta itu langsung saja kuberikan. Tekadku sudah bulat. Aku harus menyatakan kepada Nining bahwa aku cinta padanya. Sudah resikoku jika ditolak. Aku harus berani mengambil resiko sakit. Kalau tidak berani, mending aku gak usah jatuh cinta sekalian. Mending kesakitan, dari pada menanggung beban derita memendam cinta! Aku harus gentleman…! Masak beraninya cuman pada keberhasilan cintanya, tapi begitu takut pada kegagalannya?”.
Keesokan hari saat aku menemuinya dikampus dengan tekad yang sudah bulat aku harus mengungkapkan cinta padanya. Namun saat sudah bertatap muka dengannya, semuanya akan luruh:“Selama bertemu, sekitar 1 jam-an, aku lebih banyak memilih mendengarkan. Kalau cerita Nining mulai terdengar lucu, aku jadi terpingkal-pingkal. Lalu aku juga mulai bernafsu untuk bercerita lucu juga yang lebih seru dari cerita Nining. Alhasil, semua rencana dan surat pernyataan cinta yang telah kusiapkan semalam, jadi tak berguna saat aku telah vis-a vis dengannya. Bibir jadi kaku. Seakan surat yang kusimpan didalam tas, bak bangkai busuk yang amat memalukan jika kutunjukkan pada Nining. Dan suasana percakapanpun beralih seperti biasanya, begitu cair, walau dia agak menyelidik dengan keanehan tingkahku yang tidak seperti biasanya.”
Hal semacam itu bukan aku saja yang mengalami, tapi dia pernah pula mengalami hal serupa: “ Disuatu ketika Nining memanggilku. Katanya dia ada perlu. Saat kutanya ada perlu apa, dia bilang nanti akan diomongkan dikos-kosannya. Setelah aku kekosannya, ternyata sama saja, gak ada hal penting yang disampaikan. Saat kutanyakan hal itu, dia lebih banyak diam. Kalau sudah begitu, aku tak tega mengusik keterdiamannya. Biasanya aku memilih mem-banyol untuk memecah kebekuan suasana. Terkadang disebuah taman kampus, dalam keremangan sore, saat kami rame-rame nongkrong dengan teman-teman. Ia menyempal sendirian menjauh dari tongkrongan. Ku lihat ia menatapku dengan mesra. Saat kuhampiri ia begitu gugup, dan dia menjadi terdiam. Kalau sudah begitu kami memilih berdiam dengan pikiran masing-masing. Setelah lama berdiam diri, lalu kami berlalu pulang bersama dengan suasan kebisuan.”
“Kami punya kekurangan dan kelebihan masing-masing. Dia gadis cantik, cerdas, kaya, freedom, dan pengertian. Sedang aku hanyalah pemuda miskin namun berotak aristokrat, lebih cerdas, lebih progresif, dan lebih berwawasan luas dari nya. Untuk ukuran pemuda umumnya, kelebihanku itu jarang ada yang memiliki. Secara fisik, tampangku masih pantas bersanding dengan Nining, terkecuali soal penampilan belelku. Ditilik dari ukuran penjajakan hubungan, jangka waktu tiga tahun sudah cukup untuk saling mengenali dan memahami kekurangan masing-masing”
Semua rentetan alur kesaksianku diatas, menghentakkanku ke dasar jurang pertanyaan demi pertanyaan yang meraung-raung dalam sunyi sepi: “Kenapa kekuatan cintaku yang sudah terpendam selama tiga tahun, bak magma membara, tak jua mampu mengungkap diri dengan kata-kata? Aku rasakan , Nining juga mencintaiku, tapi kenapa aku dan dia tetap bergeming untuk tidak mengungkapkan cinta dengan kata-kata? Mungkinkah Cinta itu tak harus dimiliki dan terikat dalam bentuk kongkrit? Tidak kah cinta terpendamku menjadi bersemi dan bertahan selama tiga tahun, justru karena cintaku diam-diam ingin memilikinya? Tidakkah akan terasa lebih indah jika cinta itu saling berbalas dengan kata-kata, saling bersentuhan tubuh, dan saling tenggelam dalam ranjang asmara? Tidakkah cinta harus dimiliki? Lalu apa sebenarnya yang menyebabkan semuatannya itu?”.


Salam Santri Kenthir

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More