Bayangkan,
selama tiga tahun aku memendam perasaan cinta mendalam padanya seperti berikut:”
Terhitung hampir tiga tahun, aku selalu memikirkan dan membayang sosoknya.
Setiap berpapasan dikampus, dikos-kosan, saat berjalan berdua, selalu saja
berbarengan dengan
detak jantung yang berdebar-debar. Selama bersua dengannya, perasaanku selalu tak ingin lekas berlalu.
Saat tak lagi bertemu seharian, rindu hati selalu mendorong untuk lekas berjumpa.. Waktu
asik-asiknya ngobrol berdua, tak ingin rasanya aku lekas terpisah. Ngobrol
bersamanya sampai berjam-jam- Aku seperti sedang triping dengan rangsangan pil
ekstasi- jiwaku menjadi mabuk, dan lupa akan semuanya. Perasaan cinta kepadanya
harus aku akui telah melebihi cinta kepada orang tua maupun kepada Tuhan”.
Salam Santri Kenthir
Selama
menjalin komunikasi langsung dengan gadis yang teramat aku cintai itu,
gejala-gejala aneh pasti terjadi pada tubuhku. Gejala aneh tersebut: “Biasanya aku telpon dia sampai
dua jam. Lalu akutenggelam diri disetiap percakapan asik-sik!. Lalu diriku
terrbuai-wai oleh suara merdunya. Seketika itumataku selalu awas memandang
permenit tarif telpon didalam bilik Wartel agar jangan sampai total biayanya
melebihi jumlah uang 50 ribu yang telah kusiapkan. Selesai menelpon, sering
kali penisku sampai berlendir. Padahal sewaktu berlangsung obrolan, penisku
tidak mengalami ireksi. Selain itu, setiap kali berpapasan, kurasakan jiwaku
seperti sedang mendapat undian mobil mewah. Pada saat bertandang ke-kosan-nya,
dia sedang bercelana pendek mini, seketika betis dan paha mulusnya benar-benar terlihat hingga menyilaukan mata batinkuku. Saat seperti itulah, libido tertindasku
mengalir deras;(Libido tertindas: bukanlah dorongan ‘nafsu biologis unsih’, tetapi nafsu manusiawi yang telah bercampur baur dengan libido kekuasaan
dan berkelindan dengan ketertindasan sosial)
maka yang kurasakan; -mohon maaf,
katanya yang pernah menghisap sabu-sabu-, tubuhku menjadi bugar, kuat.dan jiwaku penuh semangat . Inikah yang dinamakan hasrat cinta?
Sampai segitukah kekuatan cinta itu?”
Dua pernyataaan pada alinea diatas, bukan bermaksud
cabul, ngawur, mengada-ngada, dan melebih lebihkan. Itu semua kejujuran
saya(semoga bisa dipetik menjadi pengetahuan) atas apa yang terjadi pada jiwa
dan tubuhku selama tiga tahun menjalin hubungan “tanpa status” dengannya: “Jalinan hubungan ‘tanpa status’
yang kujalani bukan dalam kontek persahabatan, bukan pertemanan biasa, bukan
pula dalam kontek hubungan berpacaran“.
Kami saling merindu, saling mencintai, bahkan saling
bersitegang. Tapi kami bukanlah teman, bukanlah sahabat, bukanlah pacar!: “Terkadang aku yang menelpon
kerumahnya dilumajang. Terkadang dia yang menelpon kerumah Pak De ku. Hari
sabtu sampai minggu dia pulang kampung. Pada hari senin saat berjumpa dikampus
terlihat pada sikap, cara, dan gaya malu-malunya, dia teramat rindu selama dua
hari tak bertemu. Dia tak pernah panggil aku dengan sebutan langsung saiful,
saipul, dimana pun bertemu ia selalu memanggilku dengan kata hai atau hey!.
Namun tidak pula memanggilku dengan panggilan, mas! (kepingin banget aku dipanggil sayang, lo?).
Panggilan demikian merupakan panggilan berjarak untuk ukuran pertemanan atau
persahabatan yang berlangsung selama tiga tahun. Sudah berulang kali aku nyuruh
jangan panggil aku, hai atau hey tapi langsung saja panggil saiful atau saipul.
Tetap saja dia panggil aku hai atau hey. Statusku juga bukan pacarnya, tapi dia
begitu cemburu ketika dengan sengaja aku ngobrol dengan teman cewek lalu
pura-pura tak tahu kehadirannya. Bila sudah begitu, dia akan marah-marah dan
semingguan tak menyapaku. Bukan
persahabatan, karena dia begitu cemburu jika aku dekat dengan cewek lain. Bukan
berpacaran, karena kami tak pernah terbuka mengungkap kata mesra dan saling
berbelai. Bukan pertemanan, karena dia selalu panggil aku dengan panggilan hai
atau hey”
Kepingin banget dia yang memulai duluan, bilang padaku, “Maukah kamu jadi pacarku?.” Atau memberi isyarat fisik, seperti; “ saat berjalan berdua, lalu ia dengan mesra menggandeng
tanganku, menoleh tersenyum dan berkata, kita pacaran aja, yuk?” .
“Ah, andai itu terjadi, pasti aku akan bilang sangat mau
sekali. Itu hanya andai-andai sepihak. Mana mungkin dia akan melakukan itu? Dia
kan cewek, mana mungkin nembak duluan? Diakan gengsinya tinggi banget,aku kan
kere? Tapi, kalau sudah lihat cara menatapnya, perhatiannya, kerinduannya,
kecemburuannya; aduh..! kepingin langsung nembak seketika itu juga!, Ning!
Maukah kau jadi pacarku? Alah, mak..! Pasti Nining mengangguk sambil berucap,
prett..prettt..!!”.
Sementara hasrat cinta itu begitu ingin memilikinya. Perasaan itu selalu ingin
mengucapkan: “Aku cinta
kepadamu, Ning!”
Terlalu lama
(tiga tahun lebih) aku menanggung cinta seorang diri: “Cinta tak cukup lagi hanya
dirasakan ditempat tersembunyi. Cinta harus dinyatakan secara terbuka. Aku
harus tahu, apakah Nining cinta kepadaku atau nggak. Jika tidak cinta ya, udah.
Tinggalin aja. Titik. Dari pada menderita lama-lama menanggung cinta terpendam”.
Namun
mengutarakan cinta kepada Nining bukanlah perkara mudah. Butuh keberanian super
nekat:“Bagaimana kalau dia jawab, tidak! Apakah aku tidak teramat sakit?
Apakah aku siap tersakiti oleh orang yang sangat aku cintai ini? Dilema yang
kuhadapi ini sama seperti aku sedang menebak jawaban suara dari tokek: Berani
bilang, nggak? Tokkek….(*nggak*). Bilang cinta, nggak? Tokkek…(*nggak*). Nining
cinta aku, nggak?. Tokkek..(*nggak*) ”.
Disuatu malam
aku menyusun rencana dan menuliskan surat
pernyataan cinta: “Mencari
momen dan tempat yang pas. Kata-kata yang mengena dan berbau romantis. Tidak boleh
gugup. Kalaupun gugup, maka surat cinta itu langsung saja kuberikan. Tekadku
sudah bulat. Aku harus menyatakan kepada Nining bahwa aku cinta padanya. Sudah
resikoku jika ditolak. Aku harus berani mengambil resiko sakit. Kalau tidak
berani, mending aku gak usah jatuh cinta sekalian. Mending kesakitan, dari pada
menanggung beban derita memendam cinta! Aku harus gentleman…! Masak beraninya
cuman pada keberhasilan cintanya, tapi begitu takut pada kegagalannya?”.
Keesokan hari saat aku menemuinya dikampus dengan tekad
yang sudah bulat aku harus mengungkapkan cinta padanya. Namun saat sudah
bertatap muka dengannya, semuanya akan luruh:“Selama bertemu, sekitar 1
jam-an, aku lebih banyak memilih mendengarkan. Kalau cerita Nining mulai
terdengar lucu, aku jadi terpingkal-pingkal. Lalu aku juga mulai bernafsu untuk
bercerita lucu juga yang
lebih seru dari cerita Nining. Alhasil, semua rencana dan surat pernyataan
cinta yang telah kusiapkan semalam, jadi tak berguna saat aku telah vis-a vis
dengannya. Bibir jadi
kaku. Seakan surat yang kusimpan didalam tas, bak bangkai busuk yang amat
memalukan jika kutunjukkan pada Nining. Dan suasana percakapanpun beralih
seperti biasanya, begitu cair, walau dia agak menyelidik dengan keanehan
tingkahku yang tidak seperti biasanya.”
Hal semacam itu bukan aku saja yang mengalami, tapi dia
pernah pula mengalami hal serupa: “
Disuatu ketika Nining memanggilku. Katanya dia ada perlu. Saat kutanya ada perlu
apa, dia bilang nanti akan diomongkan dikos-kosannya. Setelah aku kekosannya,
ternyata sama saja, gak ada hal penting yang disampaikan. Saat kutanyakan hal
itu, dia lebih banyak diam. Kalau sudah begitu, aku tak tega mengusik
keterdiamannya. Biasanya aku memilih mem-banyol untuk memecah kebekuan suasana.
Terkadang disebuah taman kampus, dalam keremangan sore, saat kami rame-rame
nongkrong dengan teman-teman. Ia menyempal sendirian menjauh dari tongkrongan.
Ku lihat ia menatapku dengan mesra. Saat kuhampiri ia begitu gugup, dan dia
menjadi terdiam. Kalau sudah begitu kami memilih berdiam dengan pikiran
masing-masing. Setelah lama berdiam diri, lalu kami berlalu pulang bersama
dengan suasan kebisuan.”
“Kami punya kekurangan dan kelebihan masing-masing. Dia
gadis cantik, cerdas, kaya, freedom, dan pengertian. Sedang aku hanyalah pemuda
miskin namun berotak aristokrat, lebih cerdas, lebih progresif, dan lebih
berwawasan luas dari nya. Untuk ukuran pemuda umumnya, kelebihanku itu jarang
ada yang memiliki. Secara fisik, tampangku masih pantas bersanding dengan
Nining, terkecuali soal penampilan belelku. Ditilik dari ukuran penjajakan
hubungan, jangka waktu tiga tahun sudah cukup untuk saling mengenali dan
memahami kekurangan masing-masing”
Semua rentetan alur kesaksianku diatas, menghentakkanku
ke dasar jurang pertanyaan demi pertanyaan yang meraung-raung dalam sunyi sepi: “Kenapa kekuatan cintaku yang
sudah terpendam selama tiga tahun, bak magma membara, tak jua mampu mengungkap
diri dengan kata-kata? Aku rasakan , Nining juga mencintaiku, tapi kenapa aku
dan dia tetap bergeming untuk tidak mengungkapkan cinta dengan kata-kata?
Mungkinkah Cinta itu tak harus dimiliki dan terikat dalam bentuk
kongkrit? Tidak kah cinta terpendamku menjadi bersemi dan bertahan selama tiga
tahun, justru karena cintaku diam-diam ingin memilikinya? Tidakkah akan terasa
lebih indah jika cinta itu saling berbalas dengan kata-kata, saling bersentuhan
tubuh, dan saling tenggelam dalam ranjang asmara? Tidakkah cinta harus
dimiliki? Lalu apa sebenarnya yang menyebabkan semuatannya itu?”.
Salam Santri Kenthir