Ungkapan cintaku Lebih Kerbis dari Simbol Taj Mahal

Subtansi pengungkapan cinta terpendamnya Santri kenthir pada gadis pujaannya, itu sama halnya kisah cinta tulusnya Shah Jehan pada isterinya Mumtaz ul Zamani.

Awas! Saat Kaum Gay Bergentayangan Di Facebook Ku

Tulisan ini sekedar berbagi pengalaman unik selama berjejaring di facebook. Bukan untuk menghukumi minoritas kaum Gay.

1 Okt 2011

Atas Nama Cinta Kasih Ia Memberiku Pendidikan Hidup


Diterminal tawang alun Jember, matahari bersinar begitu angkuh bertengger menyengat kepala. Hiruk pikuk penumpang dan teriakan para kenek terminal semakin membisingkan kegalauan hidup orang-orang pinggiran yang terus terdesak oleh laju jaman. Aku masuk pada salah satu angkutan pedesaan yang siap berangkat menghantar pulang. Duduk berdesakan dengan para ibu-ibu buruh gudang tembakau, hendak pulang selesai menerima uang gaji mingguan yang ditaruh pada kutangnya agar terselamatkan sampai dirumah. Berdesakan dengan mereka hidungku mencium aroma bau yang khas: “Setengah harian mereka bergelut dengan daun-daun tembakau kering dan bercampur aduk dengan bau keringat yang menyembur dari ketiak-ketiaknya, hemm!!, ruang sesak mobil angkutan pedesaan yang kutumpangi seperti memberi pernyataan simbolik; Inilah kota Suwar-Suwir Jember. Kamilah peng- ekspor tembakau terbesar di Indonesia”.
 Disaat mobil sedang melaju, ku alihkan pikiran pada deretan persawahan yang terlihat semakin terdesak oleh perumahan para pendatang. Melewati persawahan, kulihat rumah-rumah desa semakin padat tak beraturan. Ocehan pak Sopir, memperkeruh ketidakberdayaan rakyat bawah: “Penumpang sepi. Semua orang beralih pada kendaraan bermotor!!” Jalan utama penguhubung antar desa semakin padat dengan lalu-lalang kuda besi, sementara, jalan yang dilalui ukurannya tetaplah seperti dahulu kala, masih sama, seperti saat kolonial Belanda rajin mengangkuti rempah-rempah dari pedesaan.

Sesampai dirumah, aku lekas-lekas mandi, sholat, memempersiapkan sepeda pancal, manata bakul dan memasukkan kerupuk-kerupuk rambak kedalamnya. Kulihat kakak pertamaku (laki-laki yang telah berposisi sebagai ‘juraganku’), tersenyum sambil memujiku sebagai orang rajin. Dia telah menjadi orang berhasil sebagai juragan kerupuk. Mampu membeli mobil kelas menengah kebawah. Sudah bisa membangun rumah agak mewah. Memiliki dua sepeda motor, punya 9 anak buah. Punya pendamping isteri super cerewet dan dua anak yang manis-manis. Semua orang kampung memujinya sebagai pemuda sukses. Sering kali pujian-pujian orang kampung dengan sengaja diperdengarkan dekat ketelingaku. Tak terhitung khotbah-khotbah para kerabat ibuku menasehati agar aku selalu mencontohnya.

Aku tak habis mengerti mengapa mereka selalu membandingkan aku dengan kakakku yang telah berhasil secara ekonomi. Dan kenapa pula aku harus mencontohnya. Bukankah aku dengan dia memang beda. Bukankan yang beda tidak bisa sama dan sebaliknya yang sama tak bisa beda?

Biarlah, aku gak perlu protes. Mereka hanyalah orang-orang lugu desa. Toh, omongan mereka merupakan kenyataan struktur sosial yang terjadi dalam masyarakat desa: “Kelas atas-kelas bawah. Kaum kaya-kaum miskin. Majikan-buruh tani. Golongan penindas-golongan tertindas”. Bukanlah kenyataan dimata tuhan: “posisi manusia adalah sama. Derajat ketakwaanlah yang berbeda dimata tuhan.” (Sedih sekali bila teringat dusunku kini sedang tergagap menghadapi gempuran modernisasi dan terus melaju dengan dis-orientasi sosialnya).

 Kakakku menjadi kaya (ukuran orang dusunku) karena ia telah mampu melewati jalan umum menjadi kaya yang benar dan lurus: “ Sarat menjadi orang kaya dan cara mempertahankan kekayaannya yakni; bekerja harus melebihi dari rejeki orang lain, selalu bertindak dan berfikir demi modal, harus kikir, harus tegaan pada sesama, berfikir curigaan, menindas upah buruh, mengurangi bersenang-senang, mengurangi baca novel, pintar bersiasat ekonomi, dan seterusnya”.

Dimana semua syarat-syarat tersebut haruslah mendarah daging dalam ideologi individualis: “Waktu adalah uang. Jiwa dan tubuh adalah mesin uang!”.

Jika tak mampu memenuhi syarat-syarat jalan umum menjadi kaya, namun masih memaksa ingin kaya maka bisa lewat jalan tol keberuntungan; misalnya, menjadi menantu orang kaya, menang Togel, korupsi proyek pemerintah, korupsi jabatan, menjadi intelektual tukang, menjadi Markus, merampok, dan seterusnya.

Sedang aku sendiri takkan pernah bisa berada diantara kedua pilihan menjadi orang kaya diatas. Baik melalui jalan umum maupun jalan tol.
Sedari kecil ibuku tak pernah mendoktrin aku harus jadi begini atau begitu. Mengajari ini, itu. Apalagi mengajari menabung.

Tatkala pertanian terus menerus mengucilkan kehidupan buruh tani. Ibuku beralih menjadi pedagang kecil-kecilan dipasar antar kota. Aku menyebut profesinya PNS: Pencari Nafkah Serabutan (“…..kasihnya seperti udara aku takkan mampu membalasnya.....”). Ibu tak bisa baca tulis. Keterpaksaan ekonomi membuat ia tak bisa mengasuh dan menunggui anak-anaknya dirumah. Selain lebih banyak ditinggali keluar rumah; aku hanya dimanja dengan sedikit materi, diasuh nenek, dan selebihnya aku hanya menyaksikan peperangan demi peperangan yang terjadi antara bapak dan ibu. Setiap minggu peperangan hebat pasti terjadi selama puluhan tahun. Oleh karenanya yang berkaitan dengan pengetahuan, kebenaran, cinta, cita-cita, dan keyakinan hidup, aku mendapatkan semuanya dari luar rumah.

Dulu, sangat kecewa sekali pada mereka. Semua teman-teman bergelimangan dengan kasih sayang dan perhatian keluarga, sementara aku hanya cukup mengangankan. Dikemudian hari aku baru sadar; ternyata, itulah pendidikan terjujur orang tuaku dalam mengajarkan filsafat kehidupan kepadaku: “Hubungan manusia itu pada dasarnya tidak sedang baik-baik saja, tetapi penuh dengan konflik kepentingan”.

Aku juga berterima kasih bahwa pengajaran tertinggi ibuku adalah; ia tidak mendikteku menjadi seperti ini atau seperti itu, harus begini harus begitu. Daripada melarang ibu lebih banyak membolehkan. Satu lagi, ibuku tak pernah tega membangunkanku sewaktu sedang tertidur. Setiap bangun tidur, bersiap akan berangkat sekolah, uang sakuku telah diselipkan dibawah bantal. Itu semua menyebabkan aku lebih senang bersosialisasi, terkadang menyendiri untuk sekedar berimajinasi, merenung dan berfikir dengan keras. Aku lebih bebas menjadi diri sendiri dan bertanggung jawab atas setiap keputusan yang diambil. Yang sangat mengesankan, aku tak pernah diperbolehkan bekerja mengandalkan otot (“Diajari tak tergerus arus mainstream”). Makanya, seringkali aku diajaknya keluar kota ikut berdagang, daripada bekerja disawah menjadi buruh tani.
Selain memang tidak ditradisikan bekerja dengan otot, aku tidak pernah bisa berdisiplin dan berkonsentrasi dalam teknis pekerjaan. Tubuh yang bekerja tapi pikiran tetap melayang kemana-mana. Makanya saat berjualan kerupuk keliling dari warung kewarung sejauh 30 km-an, kaki mengayuh sepeda pancal, mata awas kedepan, namun hati dan pikiran melayang-layang mencari kebenaran sejati. Hati selalu bertasbih dengan bacaan sholawat pada kanjeng nabi, sementara pikiran memikirkan ajaran hidup yang sedang aku jiwai. Lagi pula aku tak terlalu pintar mempertahankan daya tawar harga dihadapan pembeli. Aku gak tegaan, sering mengiyakan bujuk rayu para pembeli daripada menolaknya.

Didalam perjalanan pulang pergi berjualan kerupuk, aku hampir tak pernah berfikir bagaimana teknik penjualannya agar lebih maju; namun pikiranku sibuk memikirkan apa sebenarnya kehidupan itu? Bukan bagaimamana cara menghadapi pembeli, tapi bagaimana kehidupan itu harus disikapi. Aku lebih sibuk mencari jawaban-jawabannya, dan sibuk mengurainya berputar-putar dalam angan, sambil menjajakan kerupuk dengan semangat yang kurang gigih.

Jika mujur dagangan kerupuk itu habis dengan sendirinya, jika tidak, kerupuk itu akan meratapi kememplemannya. Rata-rata barang dagangan yang kubawa pulang masih banyak tersisa. Dan itu cukup untuk mendapatkan imbalan teguran berupa muka masam kakakku. Ia pasti mencemooh, aku ini hanyalah pemuda pemalas.

 Kebiasaanku pulang dari berjualan tak langsung menghitung perolehan penjualan: “Setelah mandi dan berganti pakaian, aku tak langsung menyetorkan modal hasil penjualan; cukup mengambili tiga ribu perak dari kantong buat beli rokok, dan selekasnya ngacir kerumah Cak Sul bersama-sama pergi kerumah Mbah Kyai Mudhar mendiskusikan segala macam pemikiran yang aku dapatkan dijalanan sampai larut malam”.

Jadi bukannya aku tidak mau rajin bekerja keras, tapi bekerja menjadi tukang jual kerupuk yang sedang aku lakoni adalah siksaan teramat berat bagi fisik dan mentalku. Terpaksa semua itu harus aku jalani.

SALAM KENTHIR

Negeri Impian dan Kiamat Atlantis


Sarjana Barat secara kebetulan menemukan seseorang yang mampu mengingat kembali dirinya sebagai orang Atlantis di kehidupan sebelumnya. Orang itu bernama “Inggrid Benette”. Beberapa penggal kehidupan dan kondisi sosial dalam ingatannya masih membekas seperti terangkai dibawah ini.
Kehidupan yang Dipenuhi Kecerdasan
Dalam kehidupan sebelumnya di Atlantis, saya adalah seorang yang berpengetahuan luas, dipromosikan sebagai kepala energi wanita “Pelindung Kristal” (setara dengan seorang kepala pabrik pembangkit listrik sekarang). Pusat energi ini letaknya pada sebuah ruang luas yang bangunannya beratap lengkung. Lantainya dari pasir dan batu tembok, di tengah-tengah kamar sebuah kristal raksasa diletakkan di atas alas dasar hitam. Fungsinya adalah menyalurkan energi ke seluruh kota. Tugas saya melindungi kristal tersebut. Pekerjaan ini tak sama dengan sistem operasional pabrik sekarang, tapi dengan menjaga keteguhan dalam hati, memahami jiwa sendiri, merupakan bagian penting dalam pekerjaan, ini adalah sebuah instalasi yang dikendalikan dengan jiwa. Ada seorang lelaki yang cerdas dan pintar, ia adalah “pelindung” kami, pelindung lainnya wanita.
Rambut saya panjang berwarna emas, rambut digelung dengan benda rajutan emas, persis seperti zaman Yunani. Rambut disanggul tinggi, dengan gulungan bengkok jatuh bergerai di atas punggung. Setiap hari rambutku ditata oleh ahli penata rambut, ini adalah sebagian pekerjaan rutin. Filsafat yang diyakini orang Atlantis adalah bahwa “tubuh merupakan kuilnya jiwa”, oleh karena itu sangat memperhatikan kebersihan tubuh dan cara berbusana, ini merupakan hal yang utama dalam kehidupan. Saya mengenakan baju panjang tembus pandang, menggunakan daun pita emas yang diikat di pinggang belakang setelah disilang di depan dada. Lelaki berpakaian rok panjang juga rok pendek, sebagian orang memakai topi, sebagian tidak, semuanya dibuat dengan bahan putih bening yang sama. Seperti pakaian seragam, namun di masa itu, sama sekali tidak dibedakan, mengenakan ini hanya menunjukkan sebuah status, melambangkan kematangan jiwa raga kita. Ada juga yang mengenakan pakaian warna lain, namun dari bahan bening yang sama, mereka mengenakan pakaian yang berwarna karena bertujuan untuk pengobatan. Hubungannya sangat besar dengan ketidakseimbangan pusat energi tubuh, warna yang spesifik memiliki fungsi pengobatan.

Berkomunikasi dengan Hewan
Saya sering pergi mendengarkan nasihat lumba-lumba. Lumba-lumba hidup di sebuah tempat yang dibangun khusus untuk mereka. Sebuah area danau besar yang indah, mempunyai undakan raksasa yang menembus ke tengah danau. Pilar dua sisi undakan adalah tiang yang megah, sedangkan area danau dihubungkan dengan laut melalui terusan besar. Di siang hari lumba-lumba berenang di sana, bermain-main, setelah malam tiba kembali ke lautan luas. Lumba-lumba bebas berkeliaran, menandakan itu adalah tempat yang sangat istimewa. Lumba-lumba adalah sahabat karib dan penasihat kami. Mereka sangat pintar, dan merupakan sumber keseimbangan serta keharmonisan masyarakat kami. Hanya sedikit orang pergi mendengarkan bahasa intelek lumba-lumba. Saya sering berenang bersama mereka, mengelus mereka, bermain-main dengan mereka, serta mendengarkan nasihat mereka. Kami sering bertukar pikiran melalui telepati. Energi mereka membuat saya penuh vitalitas sekaligus memberiku kekuatan. Saya dapat berjalan-jalan sesuai keinginan hati, misalnya jika saya ingin pergi ke padang luas yang jauh jaraknya, saya memejamkan mata dan memusatkan pikiran pada tempat tersebut. Akan ada suatu suara “wuung” yang ringan, saya membuka mata, maka saya sudah berada di tempat itu.
Saya paling suka bersama dengan Unicorn (kuda terbang). Mereka sama seperti kuda makan rumput di padang belantara. Unicorn memiliki sebuah tanduk di atas kepalanya, sama seperti ikan lumba-lumba, kami kontak lewat hubungan telepati. Secara relatif, pikiran Unicorn sangat polos. Kami acap kali bertukar pikiran, misalnya, “Aku ingin berlari cepat”. Unicorn akan menjawab: “Baiklah”. Kita lari bersama, rambut kami berterbangan tertiup angin. Jiwa mereka begitu tenang, damai menimbulkan rasa hormat. Unicorn tidak pernah melukai siapa pun, apalagi mempunyai pikiran atau maksud jahat, ketika menemui tantangan sekalipun akan tetap demikian.
Saya sering kali merasa sedih pada orang zaman sekarang, sebab sama sekali tidak percaya dengan keberadaan hewan ini, ada seorang pembina jiwa mengatakan kepadaku: “Saat ketika kondisi dunia kembali pada keseimbangan dan keharmonisan, semua orang saling menerima, saling mencintai, saat itu Unicorn akan kembali”.

Lingkungan yang Indah Permai
Di timur laut Atlantis terdapat sebidang padang rumput yang sangat luas. Padang rumput ini menyebarkan aroma wangi yang lembut, dan saya suka duduk bermeditasi di sana. Aromanya begitu hangat. Kegunaan dari bunga segar sangat banyak, maka ditanam secara luas. Misalnya, bunga yang berwarna biru dan putih ditanam bersama, ini bukan saja sangat menggoda secara visual, sangat dibutuhkan buat efektivitas getaran. Padang rumput ini dirawat oleh orang yang mendapat latihan khusus dan berkualitas tinggi serta kaya pengetahuan. “Ahli ramuan” mulai merawat mereka sejak tunas, kemudian memetik dan mengekstrak sari pati kehidupannya.
Di lingkungan kerja di Atlantis, jarang ada yang berposisi rendah. Serendah apa pun pekerjaannya, tetap dipandang sebagai anggota penting di dalam masyarakat kami. Masyarakat terbiasa dengan menghormati dan memuji kemampuan orang lain. Yang menanam buah, sayur-mayur, dan penanam jenis kacang-kacangan juga hidup di timur laut. Sebagian besar adalah ahli botani, ahli gizi dan pakar makanan lainnya. Mereka bertanggung jawab menyediakan makanan bagi segenap peradaban kami.

Sebagian besar orang ditetapkan sebagai pekerja fisik, misalnya tukang kebun dan tukang bangunan. Hal itu akan membuat kondisi tubuh mereka tetap stabil. Sebagian kecil dari mereka mempunyai kecerdasan, pengaturan pekerjaan disesuaikan dengan tingkat perkembangan kecerdasan mereka. Orang Atlantis menganggap, bahwa pekerjaan fisik lebih bermanfaat, ini membuat emosi (perasaan) mereka mendapat keseimbangan, marah dan suasana hati saat depresi dapat diarahkan secara konstruktif, lagi pula tubuh manusia terlahir untuk pekerjaan fisik, hal tersebut telah dibuktikan. Namun, selalu ada pengecualian, misalnya lelaki yang kewanitaan atau sebaliknya, pada akhirnya, orang pintar akan membimbing orang-orang ini bekerja yang sesuai dengan kondisi mereka. Setiap orang akan menuju ke kecerdasan, berperan sebagai tokoh sendiri, semua ini merupakan hal yang paling mendasar.

Seluruh kehidupan Atlantis merupakan himpunan keharmonisan yang tak terikat secara universal bagi tumbuh-tumbuhan, mineral, hewan dan sayur-mayur. Setiap orang merupakan partikel bagiannya, setiap orang tahu, bahwa pengabdian mereka sangat dibutuhkan. Di Atlantis tidak ada sistem keuangan, hanya ada aktivitas perdagangan. Kami tidak pernah membawa dompet atau kunci dan sejenisnya. Jarang ada keserakahan atau kedengkian, yang ada hanya kebulatan tekad.

Teknologi yang Tinggi
Di Atlantis ada sarana terbang yang modelnya mirip “piring terbang” (UFO), mereka menggunakan medan magnet mengendalikan energi perputaran dan pendaratan, sarana hubungan jenis ini biasa digunakan untuk perjalanan jarak jauh. Perjalanan jarak pendek hanya menggunakan katrol yang dapat ditumpangi dua orang. Ia mempunyai sebuah mesin yang mirip seperti kapal hidrofoil, prinsip kerja sama dengan alat terbang, juga menggunakan medan energi magnet. Yang lainnya seperti makanan, komoditi rumah tangga atau barang-barang yang berukuran besar, diangkut dengan cara yang sama menggunakan alat angkut besar yang disebut “Subbers.”
Atlantis adalah sebuah peradaban yang sangat besar, kami berkomunikasi menggunakan kapal untuk menyiarkan berita ke berbagai daerah. Sebagian besar informasi diterima oleh “orang pintar” melalui respons batin, mereka memiliki kemampuan menerima dengan cara yang istimewa, ini mirip dengan stasiun satelit penerima, dan sangat akurat. Maka, pekerjaan mereka adalah duduk dan menerima informasi yang disalurkan dari tempat lain. Sebenarnya, dalam pekerjaan, cara saya mengoperasikan kristal besar, juga dikerjakan melalui hati.

Pengobatan yang Maju
Dalam peradaban ini, tidak ada penyakit yang parah. Metode pengobatan yang digunakan, semuanya menggunakan kristal, warna, musik, wewangian dan paduan ramuan, dengan mengembangkan efektivitas pengobatan secara keseluruhan.
Pusat pengobatan adalah sebuah tempat yang banyak kamarnya. Saat penderita masuk, sebuah warna akan dicatat di tembok. Lalu pasien diarahkan ke sebuah kamar khusus untuk menentukan pengobatan. Di kamar pertama, asisten yang terlatih baik dan berpengetahuan luas tentang pengobatan akan mendeteksi frekwensi getaran pada tubuh pasien. Informasi dialihkan ke kamar lainnya. Di kamar tersebut, sang pasien akan berbaring di atas granit yang datar, sedangkan asisten lainnya akan mengatur rancangan pengobatan yang sesuai untuk pasien.
Setelah itu, kamar akan dipenuhi musik terapi, kristal khusus akan diletakkan di pasien. Seluruh kamar penuh dengan wewangian yang lembut, terakhir akan tampak sebuah warna. Selanjutnya, pasien diminta merenung, agar energi pengobatan meresap ke dalam tubuh. Dengan demikian, semua indera yang ada akan sehat kembali, “warna” menyembuhkan indera penglihatan, “aroma tumbuh-tumbuhan” menyembuhkan indera penciuman, “musik yang merdu” menyembuhkan indera pendengaran, dan terakhir, “air murni” menyembuhkan indera perasa. Saat meditasi selesai, harus minum air dari tabung. Energinya sangat besar, bagaikan seberkas sinar, menyinari tubuh dari atas hingga ke bawah. Seluruh tubuh bagai telah terpenuhi. Teknik pengobatan selalu berkaitan dengan “medan magnet” dan “energi matahari” , sekaligus merupakan pengobatan secara fisik dan kejiwaan.

Pendidikan Anak yang Ketat
Saat bayi masih dalam kandungan, sudah diberikan suara, musik serta bimbingan kecerdasan pada zaman itu. Semasa dalam kandungan, “orang pintar” akan memberikan pengarahan kepada orang tua sang calon anak. Sejak sang bayi lahir, orang tua merawat dan mendidiknya di rumah, menyayangi dan mencintai anak mereka. Di siang hari, anak-anak akan dititipkan di tempat penitipan anak, mendengar musik di sana, melihat getaran warna dan cerita-cerita yang berhubungan dengan cara berpikiran positif dan kisah bertema filosofis.
Pusat pendidikan anak, terdapat di setiap tempat. Anak-anak dididik untuk menjadi makhluk hidup yang memiliki inteligensi sempurna. Belajar membuka pikiran, agar jasmani dan rohani mereka bisa bekerja sama. Di tahap perkembangan anak, orang pintar memegang peranan yang sangat besar, pendidik mempunyai posisi terhormat dalam masyarakat Atlantis, biasanya baru bisa diperoleh ketika usia mencapai 60-120 tahun, tergantung pertumbuhan inteligensi. Dan merupakan tugas yang didambakan setiap orang.
Di seluruh wilayah, setiap orang menerima pendidikan sejak usia 3 tahun. Mereka menerima pendidikan di dalam gedung bertingkat. Di depan gedung sekolah terdapat lambang pelangi, pelangi adalah lambang pusat bimbingan. Pelajaran utamanya adalah mendengar dan melihat. Sang murid santai berbaring atau duduk, sehingga ruas tulang belakang tidak mengalami tekanan. Metode lainnya adalah merenung, mata ditutup dengan perisai mata, dalam perisai mata ditayangkan berbagai macam warna. Pada kondisi merenung, metode visualisasi seperti ini sangat efektif. Bersamaan itu juga diberi pita kaset bawah sadar. Saat tubuh dan otak dalam keadaan rileks, pengetahuan mengalir masuk ke bagian memori otak besar. Ini merupakan salah satu metode belajar yang paling efektif, sebab ia telah menutup semua jalur informasi yang dapat mengalihkan perhatian. “Orang pintar” membimbing si murid, tergantung tingkat kemampuan menyerap sang anak, dan memudahkan melihat bakat tertentu yang dimilikinya. Dengan begini, setiap anak memiliki kesempatan yang sama mengembangkan potensinya.
Pemikiran maju yang positif dan frekwensi getaran merupakan kunci utama dalam masa belajar dan meningkatkan/mendorong wawasan sanubari terbuka. Semakin tinggi tingkat frekwensi getaran pada otak, maka frekwensi getaran pada jiwa semakin tinggi. Semakin positif kesadaran inheren, maka semakin mencerminkan kesadaran ekstrinsik maupun kesadaran terpendam. Ketika keduanya serasi, akan membuka wawasan dunia yang positif: Jika keduanya tidak serasi, maka orang akan hanyut pada keserakahan dan kekuasaan. Bagi orang Atlantis, mengendalikan daya pikir orang lain adalah cara hidup yang tak beradab, dan ini tidak dibenarkan.
Dalam buku sejarah kami, kami pernah merasa tidak aman dan tenang. Karakter leluhur kami yang tak beradab masih saja mempengaruhi masyarakat kami waktu itu. Misalnya, memilih binatang untuk percobaan. Namun, kaidah inteligensi dengan keras melarang mencampuri kehidupan orang lain. Meskipun kita tahu ada risikonya, namun kita tidak boleh memaksa atau menghukum orang lain, sebab setiap orang harus bertanggung jawab atas perkembangan sanubarinya sendiri. Pada masyarakat itu, rasa tidak aman adalah demi untuk mendapatkan keamanan. Filsafat seperti ini sangat baik, dan sangat dihormati orang-orang ketika itu, ia adalah pelindung kami.

Kiamat yang Melanda Atlantis
Saya tidak bersuami. Pada waktu itu, orang-orang tidak ada ikatan perkawinan. Jika Anda bermaksud mengikat seseorang, maka akan melaksanakan sebuah upacara pengikatan. Pengikatan tersebut sama sekali tidak ada efek hukum atau kekuatan yang mengikat, hanya berdasarkan pada perasaan hati. Kehidupan seks orang Atlantis sangat dinamis untuk mempertahankan kesehatan. Saya memutuskan hidup bersamanya berdasarkan kesan akan seks, inteligensi dan daya tarik. Di masa itu, seks merupakan sebuah bagian penting dalam kehidupan, seks sama pentingnya dengan makan atau tidur. Ini adalah bagian dari “keberadaan hidup secara keseluruhan”, lagi pula tubuh kami secara fisik tidak menampakkan usia kami, umumnya kami dapat hidup hingga berusia 200 tahun lamanya.
Ada juga yang orang berhubungan seks dengan hewan, atau dengan setengah manusia separuh hewan, misalnya, tubuh seekor kuda yang berkepala manusia. Di saat itu, orang Atlantis dapat mengadakan transplantasi kawin silang, demi keharmonisan manusia dan hewan pada alam, namun sebagian orang melupakan hal ini, titik tolak tujuan mereka adalah seks. Orang yang sadar mengetahui bahwa ini akan mengakibatkan ketidakseimbangan pada masyarakat kami, orang-orang sangat cemas dan takut terhadap hal ini, tetapi tidak ada tindakan preventif. Ini sangat besar hubungannya dengan keyakinan kami, manusia memiliki kebebasan untuk memilih, dan seseorang tidak boleh mengganggu pertumbuhan inteligensi orang lain. Orang yang memilih hewan sebagai lawan main, biasanya kehilangan keseimbangan pada jiwanya, dan dianggap tidak matang.

Teknologi Maju yang Lalim
Pada masa kehidupan saya, kami tahu Atlantis telah sampai di pengujung ajal. Di antara kami ada sebagian orang yang tahu akan hal ini, namun, adalah sebagian besar orang sengaja mengabaikannya, atau tidak tertarik terhadap hal ini. Unsur materiil telah kehilangan keseimbangan. Teknologi sangat maju. Misalnya, polusi udara dimurnikan, suhu udara disesuaikan. Majunya teknologi, hingga kami mulai mengubah komposisi udara dan air. Terakhir ini menyebabkan kehancuran Atlantis.
Empat unsur pokok yakni: angin, air, api, dan tanah adalah yang paling fundamental dari galaksi dan bumi kami ini, basis materiil yang paling stabil. Mencoba menyatukan atau mengubah unsur pokok ini telah melanggar hukum alam. Ilmuwan bekerja dan hidup di bagian barat Atlantis, mereka “mengalah” pada keserakahan, demi kekuasaan dan kehormatan pribadi bermaksud “mengendalikan” 4 unsur pokok. Kini alam tahu, hal ini telah mengakibatkan kehancuran total. Mereka mengira dirinya di atas orang lain, mereka berkhayal sebagai tokoh Tuhan, ingin mengendalikan unsur pokok dasar pada bintang tersebut.

Menjelang Hari Kiamat
Ramalan “kiamat” pernah beredar secara luas, namun hanya orang yang pintar dan yang mengikuti jalan spritual yang tahu penyebabnya. Akhir dari peradaban kami hanya disebabkan oleh segelintir manusia! Ramalan mengatakan: “Bumi akan naik, Daratan baru akan muncul, semua orang mulai berjuang lagi. Hanya segelintir orang bernasib mujur akan hidup, mereka akan menyebar ke segala penjuru di daratan baru, dan kisah Atlantis akan turun-temurun, kami akan kembali ke masa lalu”. Menarik pelajaran, Lumba-lumba pernah memberitahu kami hari “kiamat” akan tiba, kami tahu saat-saat tersebut semakin dekat, sebab telah dua pekan tidak bertemu lumba-lumba. Mereka memberitahu saat kami akan pergi ke sebuah tempat yang tenang, dan menjaga bola kristal, lumba-lumba memberitahu kami dapat pergi dengan aman ke barat.
Banyak orang meninggalkan Atlantis mencari daratan baru. Sebagian pergi sampai ke Mesir, ada juga menjelang “kiamat” meninggalkan Atlantis dengan kapal perahu, ke daratan baru yang tidak terdapat di peta. Daratan-daratan ini bukan merupakan bagian dari peradaban kami, oleh karena itu tidak dalam perlindungan kami. Banyak yang merasa kecewa dan meninggalkan kami, aktif mencari lingkungan yang maju dan aman. Oleh karenanya, Atlantis nyaris tidak ada pendatang. Namun, setelah perjalanan segelintir orang hingga ke daratan yang “aneh”, mereka kembali dengan selamat. Dan keadaan negerinya paling tidak telah memberi tahu kami pengetahuan tentang kehidupan di luar Atlantis.
Saya memilih tetap tinggal, memastikan kristal energi tidak mengalami kerusakan apa pun, hingga akhir. Kristal selalu menyuplai energi ke kota. Saat beberapa pekan terakhir, kristal ditutup oleh pelindung transparan yang dibuat dari bahan khusus. Mungkin suatu saat nanti, ia akan ditemukan, dan digunakan sekali lagi untuk maksud baik. Saat kristal ditemukan, ia akan membuktikan peradaban Atlantis, sekaligus menyingkap misteri lain yang tak terungkap selama beberapa abad.

Saya masih tetap ingat hari yang terpanjang, hari terakhir, detik terakhir, bumi kandas, gempa bumi, letusan gunung berapi, bencana kebakaran. Lempeng bumi saling bertabrakan dengan keras. Bumi sedang mengalami kehancuran, orang-orang di dalam atap lengkung bangunan kristal bersikap menyambut saat kedatangannya. Jiwa saya sangat tenang. Sebuah gedung berguncang keras. Saya ditarik seseorang ke atas tembok, kami saling berpelukan. Saya berharap bisa segera mati. Di langit asap tebal bergulung-gulung, saya melihat lahar bumi menyembur, kobaran api merah mewarnai langit. Ruang dalam rumah penuh dengan asap, kami sangat sesak. Lalu saya pingsan, selanjutnya, saya ingat roh saya terbang ke arah terang. Saya memandang ke bawah dan terlihat daratan sedang tenggelam. Air laut bergelora, menelan segalanya. Orang-orang lari ke segala penjuru, jika tidak ditelan air dahsyat pasti jatuh ke dalam kawah api. Saya mendengar dengan jelas suara jeritan. Bumi seperti sebuah cerek air raksasa yang mendidih, bagai seekor binatang buas yang kelaparan, menggigit dan menelan semua buruannya. Air laut telah menenggelamkan daratan.
NB:Inggrid Benette yang dapat memvisualisasikan kehidupan masa lampaunya itu  misterius karena tidak diketahui dari mana asalnya orang itu. 
Sumber:  Dari berbagai Sumber

SALAM Santri KENTHIR

Tarian Hidupku


aku hanya setitik debu yang ingin menjadi gurun sahara
aku hanya setetes embuh yang berasa menjadi telaga
aku hanya sehelai daun yang berimaji menjadi pohon yang rindang
aku hanya sehelai bulu ayam yang bermimpi menjadi sayap elang
aku hanya sepenggal sabit yang berangan jadi purnama
namun sering jiwaku kini tak tentu arah meliuk
terseok
terjerembab
dalam lumpur kisah yang tenggelamkan semua tarian hidupku
kau pergi dengan segumpal darahku
kau hilang dengan seonggok darahku
ku tahu anakku bukan anakku
perempuan sering tervonis
tempat yang salah iris
pembuat dosa tragis

kini
dunia manusia memang tak pernah adil
semua terasa ganjil
namun aku tak akan mau jadi sang kerdil
karena aku akan terus menggapai DIA
sang pemilik adil dan saat senja merubung
aku harus kembalikan tubuhku kerumahNya
menyandarkan jiwaku kepadaNya
bercinta denganNya san raja manusia
akhir dari sebuah perjuangan
kemenangan yang terkenang berabad usai
garba kehangatan pagi denganMU

Puisi ini saya cuplik dari novel Bintang Anak Tuhan. sebuah Nyanyian Jiwa Seorang Ibu Atas Vonis HIV pada anak perempuan   satu-satunya dan teramat sangat dicintainya.

SALAM KENTHIR

Derita Maskulinitas Dikepung Kemiskinan


  • ”Saat saya ditinggalkannya, ya, memang perasaan ini merana. Siapapun pasti merasakan begini jika kami punya utang banyak. Mau jual barang gak ada yang bisa dijual. Akhirnya isteriku kejakarta untuk menanggungnya sendiri. Saya sebagai suaminya ya kecewa berat. Memang lelaki seharusnya berposisi diatas perempuan. Tapi wong kepepet ekonomi, mau gimana lagi. Memang benar laki-laki harus lebih berkuasa dari perempuan. Tapi saya itu orangnya kalau berlaku kasar padanya, itu gak bisa. Kasihan saya kalau berlaku kasar pada perempuan. Itulah saya. Mungkin karena saya terlalu mencintainya.” (Hariyanto, Tanjung Sari)
Suara perih sekaligus romantis Hariyanto diatas, ketika ia sudah kehilangan kuasa atas kenyataan isterinya merantau kejakarta berprofesi sebagai tukang pijatnya laki-laki bukan muhrimnya. Dendang derita yang dilantunkan terdengar bertalu-talu ketelinga para tetangga hingga sampai lintas desa.
Perih memang menjadi seorang suami yang hanya bisa mengayuh becak sementara beban hutang keluarga bertumpuk. Ditambah dengan menanggung kebutuhan hidup kedua anaknya yang semakin lama membebani. Dengan sangat berat hati, ia terpaksa merelakan pilihan isterinya bekerja dijakarta (tukang pijat) demi mengatasi masalah keluarganya.
 Sementara pandangan miring masyarakat atas pekerjaan isterinya dijakarta begitu menyayat-nyayat harga dirinya . Tetapi apalah itu harga diri, ia hanyalah orang miskin yang tak punya jalan lain untuk menutupi utang keluarga dan kebutuhan hidup anak-anaknya. Tentu saja dia kecewa berat dengan kehidupan yang tengah ia jalani. Hufft,  ekonomi nelangsa (melarat) membuat ia begitu tercengkeram tak berdaya. Hariyanto hanya bisa pasrah pada yang maha kuasa, mudah-mudahan badai ekonomi keluarganya segera lekas mereda!
Tak hanya hariyanto seorang yang mengalami nasib serupa. Selamet, warga lelaki perkasa lainnya didusun Tanjung Sari, hanya bisa berdiam diri tinggal dirumahnya berganti posisi bak seorang isteri. Selamet sadar sesadar-sadarnya, bahwa ia malu sekali sebagai seorang laki-laki berada didalam rumah sebatas mengasuh anak. Sementara isterinya dijakarta yang menanggung nafkahnya. Selamet sudah seringkali mengajak isterinya agar tinggal   bersamanya dikampung, biar dia sendiri yang mencari nafkah  hidup ala kadarnya. Tetapi persaingan keras ekonomi desa dan persaingan sosial yang semakin menajam, membuat isterinya selalu menolak permintaannya.
”...Istri saya itu kalau dilarang gak seneng. Kepinginnya mandiri. Dia juga masih menanggung nafkah keluarganya yang dikota. Isteri saya orangnya gak senang dihalang-halangi. Kalau dihalang-halangi, bisa bisa, dia gak akan balik lagi kerumah ini. Dia kalau dikasari, malah akan semakin lebih kasar. Dia itu kan keinginannya tinggi. Pingin beli ini itulah. Apalagi ia juga masih menanggung orang tuannya. Kalau saya terus menyuruhnya berhenti kerja dijakarta (massage), lalu saya disuruh menanggung semua beban itu, ya gak akan kuat!”
Jeritan hati Hariyanto dan Selamet diatas merupakan nasib buruknya para lelaki perkasa (maskulin) tak berdaya ditengah gurita ekonomi nelangsa. Dan itu merupakan gejala umum para lelaki perkasa disetiap desa di Jember selatan (Jatim).  Mereka tak berdaya sebagai kepala keluarga dalam mengemban tugas menjaga gengsi kemaskulinan yang telah disematkan dalam tubuh sosialnya. Sejatinya kemaskulinan yang dilekatkan dalam tubuh sosialnya begitu menyakitkan bagi jiwa-jiwanya. Kemaskulinan yang mereka sandang didalam cengkeraman ekonomi nelangsa dusun, tak lain hanya media olok-olok dan simbol biang kerok moral sebagai laki-laki yang tak bertanggung jawab, imannya rendahan, pemalas, tak bermartabat, dan sebagainya.
Padahal, mereka haqqul yaqin dari awal mula membangun keluarga tak bermaksud menjadi seperti itu. Bukannya mereka tega pada isteri. Bukan pula ia telah melepas tanggung jawab sosialnya sebagai suami. Tetapi sekali lagi, apalah daya mereka, hanyalah lelaki perkasa simbolik yang terampas kelelakiannya oleh ekonomi nelangsa agar mau tidak mau menjadi seperti itu.
Andai saja mereka lelaki kaya, tentu saja tidak akan tinggal diam kemaskulinannya diinjak-injak, diremeh temehkan, dan dinistakan. Tetapi mereka hanyalah para lelaki melarat yang tak punya modal lain selain rasa cinta mendalam pada isteri dan anak-anaknya Demi menjaga keutuhan keluarganya,mereka harus mampu bertahan dengan kondisi diri yang tercabik cabik. Harapannya kelak, bahwa keluarganya bisa kembali hidup normal, nyaman, dan tenteram dalam sistem sosial masyarakat desa yang patriarkis.
Potret derita keperkasaannya para lelaki dusun diatas, menunjukkan, mereka sudah tak nyaman  lagi berdiam dalam tubuh maskulin. Keperkasaannya kaum lelaki dalam ekonomi nelangsa, tertuntut keras mampu melewati kesulitan-kesulitan hidup yang dihadapi keluarganya. Jika gagal, maka siap-siaplah ia dan keluarganya disampahkan kehadirannya oleh kemelaratan.
Memang berat ekonomi dusun sudah berwujud ekonomi nelangsa. Tetapi ekonomi nelangsa dusun tidak bisa ditimpakan sendirian pada masyarakat dalam mengatasinya. Harus ada pihak lain yang bisa menyulap ekonomi dusun menjadi bimsalabim ekonomi makmur. Negaralah yang harus bisa menyulap. Entah bagaimana caranya agar ekonomi rakyat dusun tidak dalam keadaan sengsara abadi.      

SALAM Santri KENTHIR

Didepan Musholla Seni Tradisi Buto-Butoan itu Ikut Merayakan Kedatangan Bulan Ramadhan

Selama hidup baru kali ini aku saksikan sebuah peristiwa kultural luar biasa di kabupaten jember-jawa timur. Secara sosio kultural  kabupaten jember didominasi kaum santri. Biasanya  seni tradisi yang membudaya pada masyarakat santri adalah hadrah, gambus, atau seni tradisi  lain yang berbau tanah  arab. Namun sore kemarin,didepan musholla yang sehari hari digunakan kegiatan mengaji para anak santri sedang menggelar seni tradisi Buto-Butoan. Kegiatan ini diluar kebiasaan seni tradisi para masyarakat santri umumnya. Masyarakat setempat menamakan seni tradisi tersebut dengan nama seni "Buta-butaan". Acara itu digelar didepan musholla dengan maksud untuk merayakan  datangnya bulan ramadhan.
Mungkin bagi masyarakat setempat peristiwa tersebut merupakan sudah hal biasa dan rutin diadakan setiap tahun menjelang bulan ramadhan. Namun bagi saya gelar seni tradisi but0-butoan tersebut dalam rangka menyambut bulan ramadhan, terlebih diadakan oleh masyarakat yang nota bene masih segaris paham dengan kaum santri, sungguh peristiwa yang sangat mengagumkan. Apalagi acara tersebut dimainkan persis didepan musholla.
Dimusholla itu mereka merayakan seni tradisi buto-butoan menyambut bulan ramadhan
Peristiwa seni tradisi buto-butoan menyambut bulan ramadhan tersebut tidak lazim dan jarang saya saksikan. Seni tradisi buto-butoan adalah kesenian khas produk lokal masyarakat jember. Ditanah jawa seni tradisi hasil kreasi lokal merupakan kesenian rakyat yang sering kali didakwa sebagai kesenian sesat dan haram hukumnya. Namun dengan tampilnya seni tradisi buto-butoan didepan musholla didesa jelbuk kemarin, telah cukup memberi bukti, bahwa hubungan seni tradisi lokal dengan nilai nilai keislaman masyarakat santri tidaklah menjadi persoalan budaya yang sangat serius.
Seni buto-butoan sendiri merupakan modifikasi antara seni jaranan dan kesenian ondel-ondel. Itupun hanya ada dijember utara yang mayoritas masyarakatnya buruh perkebunan dan beretnis madura migran. Secara kultural masyarakat jember utara merupakan pendukung utama tatanan masyarakat santri sentris.
Terlepas dari bagaimana terjadinya kreasi seni tradisi buto-butoan itu dahulu kala, pengamatan  saya eksistensinya sampai sekarang masih berkembang subur, walau kesenian itu sendiri hampir tak pernah disapa oleh para elit masyarakat santri (Kyai dan pesantren) dikabupaten jember.
Pagelaran seni tradisi buto-butoan didepan musholla yang dimainkan oleh para santri cilik itu,  walau tak pernah diuwongkan oleh para kyai dan pemerintah daerah, merupakan tradisi tahunan yang  tetap eksis sampai sekarang. Mereka  tak perduli, apakah yang digelar itu akan menabrak fatwa ulama atau tidak, diapresiasi atau nggak oleh kaum elit agama dan negara, mereka cuek cuek saja sambil berdendang dan menabuh riang merayakan kedatangan bulan suci ramadhan.
Lalu terlintas dipikiran saya. Saat globalisasi (baca liberalisme) semakin menggerus nilai-nilai kearifan lokal, sementara nasib seni tradisi rakyat banyak terkapar dibolduzer mesin modernisasi, mengapa para ulama (kyai) tidak memberdayakan potensi seni tradisi rakyat sebagai media perekat ulama dan rakyat menghadapi kepongahan arus besar golabalisasi (dan modernisasi) daripada sibuk memfatwa mati seni tradisi?

SALAM KENTHIR

Belajar pada Teori Kritik Sosial ala Bu Joko Penjual Nasi Pecel


Dibalik keresahan kita atas nilai-nilai luhur tradisi keyakinan agama yang diguncang arus besar modernisasi dengan dalih demi meningkatkan dan memajukan taraf hidup manusia.
Dibalik ketidakberdayaan masyarakat santri, masyarakat agamis, kaum adat, terjebak dalam kubangan hitam kebudayaan keranjang sampah. 
Dibalik masyarakat dusun sudah terkena wabah penyakit individualisme akut.
Ternyata, masih ada yang tersisa, masih ada yang menampakkan diri. Karenanya seakan semua keresahan, ketidak berdayaan, wabah individualisme, menjadi sirna ditelan oleh kesahajaan pandangan dan sikap hidup sosok seorang nenek bernama bu Joko  yang sehari hari didesa berjualan nasi pecel.
Demikianlah kesimpulan sementara saya menilai sosok Bu Joko beserta celotehnya ditengah realitas sosial yang semakin menyesakkan dada kita.
Penilaian itu berasal dari ketidak sengajaan saya, saat mampir di warung nasi pecel desa Balung Kopi. Kesan pertama yang kutangkap dari Bu Joko, beliau ini tipe penjual nasi pecel ceriwis.  Keceriwisan bu Joko semakin menarik ketika mengarah menjadi lontaran teori teori  ala orang bawah, maka, tip rekam yang ada didalam tas, ku nyalakan dengan diam-diam.
Oh ya, saya bukan berprofesi wartawan, tapi memang saya suka menenteng tip rekam kemana-kemana. Dengan membawa tip rekam saya bisa merekam utuh teori teori kecil yang keluar dari mulut orang-orang bawah.  Saya beranggapan semua individu itu unik dan punya teori-teori tersendiri dalam menyikapi kehidupan yang sering berlawanan (alternatif) dengan teori teori besar (filsafat) yang selama ini menjadi kesombongannya kaum intelektual sekolahan.   
Adapun narasi dibawah ini merupakan catatan celotehan-celotehan Bu Joko yang sudah saya alih bahasakan dari bahasa madura dan dikemas menjadi susunan teori pengetahuan ala Bu Joko lima tahun lalu. Dan saya berharap kita semua bisa berguru dan belajar atas pesan-pesan moral implicit yang terkandung didalamnya.

+++++++++++++++++++++++++++
Memperbandingkan cara pandang dan sikap hidup Bu Joko dengan arus besar budaya hidup hedonis pada masyarakat desa maka ia menjadi sosok yang berhadap hadapan dengan anggapan kearifan lokal akan habis oleh nilai nilai global.  Tesis yang dibangun oleh Bu Joko yakni, kearifan lokalitas takkan bisa habis karena basis kedalaman iman pada tuhan seseorang takkan pernah bisa hilang. Selama kedalaman iman seseorang itu tak hilang dihati, maka itu akan menjadi pondasi penopang budaya luhur hidup masyarakat lokal yang khas dan takkan bisa dihabisi oleh apapun, termasuk arus besar globalisasi.
Bu Joko beranggapan jika hati warga masyarakat benar benar dipenuhi dengan nilai tiada tuhan selain Allah. Hanya Allah lah berkuasa pada hati, hanya Dialah yang memberi pertolongan, maka dan tentu saja masyarakat dusun tak menjadi penggantung terpaksa pada kebutuhan-kebutuhan sekunder. Karena hati masyarakat sudah tidak selalu zikir, akhirnya kebutuhan yang semestinya sekunder berubah menjadi primer. Akibatnya keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup itu semakin banyak dan menumpuk. Sementara kemampuan diri untuk memenuhi kebutuhan hidup yang terlampau banyak itu tak mencukupi. Dengan demikian, bisa dipastikan keruwetan-keruwetan hidup akan terus berputar-putar melilit jiwa. Menyitir bahasa sederhananya Bu Joko, “Gak usah repot repot. Kita hidup itu kan, bisa makan agar kuat sholat. Bisa berbaju supaya tak malu menghadap tuhan. Punya rumah agar bisa kumpul keluarga. Jadi hanya itu, kan? Tetapi, yang terjadi kita selalu disibukkan oleh kebutuhan yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Mubazir. Tapi kebutuhan yang tidak kita butuhkan itulah yang kita kejar-kejar setiap hari.
Bu Joko yang sudah 32 tahun berjualan nasi pecel dan sekarang usianya sudah 60 tahunan, mendapat pelajaran demikian itu diturunkan dari bapaknya dan diyakininya sampai sekarang. Mendasarkan hati sepenuhnya tertuju pada tuhan membuat ia tak pernah mengeluh pada orang lain. Bu Joko mencontohkan dirinya saat menghadapi rintangan hidup ia selalu ceria. Selama hidup ia tak pernah mengambil hutangan ke bank untuk modal jualan. Selalu ingin mendekatkan hati pada tuhan membuatnya optimis memandang kehidupan fana. Itu menggerakkan dirinya untuk bisa berbuat menolong orang lain semampunya.  ”Orang seperti saya ini jangan didatangi orang yang punya kasus perceraian. Pasti dia gak akan jadi bercerai. Hehehe..”
Pandangan bu Joko diatas memang bukan berasal hasil konsumsi buku yang bertumpuk-tumpuk. Ia bukan pula analis jitu yang kaya perspektif. Beliau hanya belajar pada kesederhanaan hidup dan keyakinan mendalam pada hari akhir.
Demikian itulah yang  membuat ia walau buta teori sosial tak menghalangi hatinya mewaspadai hegomoni buruk hiburan dunia telivisi pada masyarakat penonton. Hegomoni hiburan TV hanya membuat kita menjadi obyek pasif. Sebatas konsumen yang siap selalu untuk menuruti bujukan TV. Memang kita sering dipengaruhi tanpa sadar untuk meniru gaya hidup seperti yang ada dalam permainan TV agar menjadi kehidupan nyata yang harus diterapkan oleh kita. Oleh karenanya bu Joko gak mau tertipu dan selalu berhati-hati akan permainan hayal telivisi. Makanya bu Joko gak pernah nonton sinetron.
”Kalau Cris Jhon yang bermain, saya pasti nonton. Atau Jacky Chan dan Boboho. Nonton Crish Jhon, selain itu sungguhan, itu mengingatkan pada diri saya sendiri. Kelak saya akan dipukuli juga diakherat. Ini agar saya berhati hati. Walau tak tahu pasti saya ini akan dipukuli atau gak nantinya. Sedang menonton Jacky Chan dan Boboho itu karena memang lucu.” Tegas Bu Joko.
Mengenai fenomena krisis moral yang terjadi pada para ulama, ia tak pernah ingin menilai ulama lebih jauh, takut bisa menimbulkan fitnah. Ia hanya bisa mencontohkan dirinya, bahwa ia mulai jarang hadir ke pengajian pengajian umum karena ketika hadir yang didapat cuman dimarahi dan ditakut-takuti oleh para penceramah.
”Masak kita hadir ingin mengaji tahu tahu sampai ditempat dipengajian dimarahi dan ditakut takuti. Wong bapak ibu saya gak pernah memarahi seperti itu. Gak sholat dimarahi. Gak puasa dimarahi. Siapa yang gak mangkel dimarahi. Saya kan hanya ingin ngaji. Mereka jadi kyai itu karena orang-orang seperti saya ini ingin ngaji. Banyak yang ngaji makanya ada kyai. Kalau gak ada yang ngaji apa mungkin akan ada kyai?”
”Siapa yang gak tahu mereka (para kyai yang suka memarahinya) paling paling isi perutnya gak jauh berbeda dengan isi perut saya. Harus nya kalau berpidato membuat hati ini tergetar. Membuat hati kita sejuk. Membuat kita jadi tanpa harus dimarahi terlebih dulu. Kalau ada yang gak terima ucapan saya, saya siap mempertanggung jawabkannya”

SALAM KENTHIR

Berebut Menjadi Wong Desa


Konglomerat, kaum professional, para tengkulak, para petani kaya yang memiliki sawah berhektar-hektar, tak ayal termasuk golongan kaum beruntung sebagai masyarakat desa. Mereka ini lebih bebas bergerak memenuhi kebutuhan yang diinginkan. Lebih leluasa memilih dan menentukan masa depan keluarganya.
Tetapi, bagaimana dengan mereka yang tak punya sawah sepetakpun? Mereka yang hanya bisa berprofesi sebagai buruh tani, atau hanya bisa menjual tenaga kasarnya demi untuk mengasupi aus tubuh (tukang becak, kuli bangunan dll)?
Bagai piramida; mereka para kaum mustad`afin (kaum tertindas) adalah susunan masyarakat mayoritas yang hanya berposisi berada pada level garis hidup penopang segelintir kaum elit desa.
Karenanya kekuatan pada akses politik dan ekonominya sangat lemah dan mereka hanya bisa mengais sisa-sisa ekonomi yang tercecer, dan saling berebut sesama kaum mustad`afin lainnya mencari celah usaha bertahan hidup (survival) setiap hari.
Banyak orang bilang, peta ekonomi desa kekinian pada kenyataannya, tak lain adalah ekonomi saling berebut. Bukan ekonomi gotong royong (subsistensi). Kata kaum cerdik, bahwa, telah terjadi demam kapitalisasi yang akut didesa. Siapa punya modal kuat dialah yang menguasai. Modal menjadi diatas segala-galanya. Semua usaha ekonomi tak lain demi akumulasi modal. Berfikir dan bertindaknya terukur atas nama modal. Semua energi dan pikiran individu masyarakat dikerahkan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Bila masyarakat desa telah tersusun oleh ekonomi perebutan, maka nyata, struktur sosial yang terbentuk adalah struktur kontestasi. Masyarakat atas (elit) saling bersaing, yang masyarakat bawah (kaulo alit) juga saling bersaing. Saling menyerang diserang, bertahan dan menyerang balik. Tanpa terasa bagai siluman bergerak secara diam-diam, semua warga desa sudah saling bersaing, saling menyerang, dan saling bertahan. Bagaikan pola binatang hutan rimba, Si kuat memangsa si lemah, dan silemah bertahan mencari selamat.  Tapi, bagaimana dengan si lemah yang tak kuat bertahan dan selamat diarena kontestasi sosial desa?
Desa sebagai arena hukum kontestasi tak mengkompromi orang-orang lemah yang mudah menyerah. Hanya dua pilihan bagi orang-orang yang mudah menyerah. Memilih tetap bertahan didesa atau memilih terlempar keluar desa.
Ketika virus kontestasi sudah menyebar menjadi cara pandang umum masyarakat desa, maka dan tentu saja kaum mustad`afin sebagai masyarakat yang menempati level bawah desa, tak ingin dirinya diremehkan sebagai kaum pemalas yang mudah menyerah dalam kontestasi. Disepelekan dan dipinggirkan dari dunia kontestasi desa. Sebagai manusia yang diberi pikiran dan perasaaan  mereka akan mencari celah agar bisa dipandang dan dinilai oleh masyarakat yang lain. Dan sebagai warga desa para kaum tertindas ia ingin pula  dirinya dipandang sebagai sang kontestan desa.
Yah, siapapun selama ia berada dimedan makna pasti akan berkontestasi memperebutkan makna. Tak terkecuali kaum mustad`afin. Agar bisa dikatakan pula sebagai sang manusiawi.
Karenanya hidup adalah kontestasi memperebutkan makna. Maka, mampukah orang-orang desa itu berlomba-lomba demi kebaikan, seperti yang sudah banyak kita dengar tentang  fastabikul khoirot,? Bukan kebalikannya, berlomba-lomba demi kehancuran. wallahu a`lam bisshowab.
  • (Tulisan ini jejak rekam pikiran saya yang pernah saya tulis tahun 2006 dan saya publiskan dimajalah desa sebagai dedikasi kecintaan saya pada orang orang desa yang mengalami disorientasi sosial) 

SALAM KENTHIR

Mereka Di Jakarta


Beberapa waktu lalu aku dibuat kaget melihat gadis desa cantik jelita di jalanan desa dengan dandanan modis dan seksi. Aku pikir dia  ini  mahasiswi yang sedang KKN didesa ku, atau  salah satu bintang sinetron yang lagi shooting di desa. Setelah di telusuri lebih jauh ternyata dia hanya anak tetangga yang baru pulang merantau kejakarta.

Si Srintil (nama samaran) anak gadis desa itu,  dua tahun yang lalu sebelum merantau, penampilannya masih kampungan. Kulitnya masih hitam dan rambutnya masih keriting. Kalau ngomong logat maduranya masih kental. Dia juga hanya anak buruh tani dan hanya tamatan SMP. Tapi, sekarang? Srintil sudah menjelma seperti bukan anak gadis desa umumnya, penampilannya sudah tak pantas  lagi menjadi putrinya buruh tani miskin. Kulit wajah dan rambutnya sudah seperti para bintang sinetron. Penampilannya sudah gak dekil seperti dulu lagi. Kemana - mana bawaannya HP Blackberry. Bila bertandang  kerumah tetangga sebelah sering menenteng laptop.. Rumahnya sudah bergedung mengkilat. Srintil sekarang sudah gaul banget gitu, lho! 'Engkok been' (indo: kamu aku) sudah jarang terdengar dari mulutnya, tetapi elo guwe sering terlontar  setiap ia berkomunikasi dengan tetangga. Pokoknya Srintil sekarang sip deh. Berkat merantau ke-Jakarta dia sekarang sudah jadi orang kaya baru di desa. 

Mereka di Jakarta
Ternyata bukan hanya si srintil seorang yang sukses hidupnya merantau kejakarta, tetapi serupa banyak srintil srintil lainnya didesa lain mulai mudik kekampung halamannya. Penasaran dengan perubahan drastis para srintil jakartaan, aku tanpa sadar terdorong menginvestigasi seorang teman perempuan mantan Srintil jakartaan. Dengan tanpa berat hati ia memberikan testimoni kesaksiannya tentang apa dan bagaimana para Srintil itu di Jakarta.Berikut testimoninya.
+++++++++++++++++++
Kebanyakan perempuan desa yang ke - Jakarta kerjanya di panti pijat dan pastinya memijit.

Ada dua cara memijit yang satu pijit shiatsu (pijit ala Jepang) dan kedua pijit tradisionil. Kebanyakan yang di pijit adalah orang cian laki - laki (tionghoa muda). Kalau orang jawa jarang yang ke panti pijat. Saat bekerja biasanya memakai pakaian minim kayak you can see. Saat berjalan menemui tamu mereka umumnya masih menggunakan pakaian seragam. Tapi setelah mereka bekerja di kamar yang tertutup, seragam itu dilepas karena untuk bergerak memijit agak susah.

Tarif pijitnya para tamu umumnya per- dua jam Rp. 90-150rb yang langsung di bayar ke kasir. Fasilitasnya mandi uap, mandi panas dingin, bar dan lain - lain. Sebelum ketemu meses (mesage) tamu bertanya dulu ke wetris {lagi lagi saya bingung tentang ejaannya silahkan di benarkan sendiri} tentang meses yang cocok untuk memijitnya. Biasanya tamu lebih suka meses yang putih, yang kecil, yang pinter mijit dan pinter service, atau pinter semuanya. Yang pinter semuanya ini yang paling laris ketamu.

Upah perjamnya enam sampai tujuh ribu. Banyaknya upah kerja sehari tergantung pada banyaknya tamu yang datang padanya. Biasanya rata - rata sampai data delapan jam dikalikan enam ribu berarti 46rb. Kalau lagi sepi sekitar hanya dapat 25 ribu. Upah memijit tidak dibayar perhari langsung tapi perbulan. Gaji sebulan dari majikan kalau lagi stabil sekirat 1,5 juta-an. Sedang biaya hidup para meses sebulannya minimal 1,5 jutaan juga. Jadi upah mijit hanya cukup untuk biaya hidup sehari - hari di Jakarta. Selain gaji pokok perusahaan panti pijat, para meses juga dapat uang tips (uang yang langsung di berikan tamu). 

Uang tips ini kalau di total sebulannya lebih besar dari gaji pokok dari pe-rusahaan. Dapat uang tips tergantung pada ceweknya juga. Kalau si cewek sudah kategori ngetop hanya mijit saja tak ada servis lainnya, dia bisa di kasih Rp. 100.000,- minimal Rp. 50.000,- Ada juga yang gak ngetips istilahnya disana 'tamu bolong'. Uang tips di berikan tamu atas kesepakatan mereka ketika di dalam kamar. Kalau lagi ramai meses bisa dapat uang tips satu jutaan sehari.


Gaya hidup mereka kalau sudah dua bulanan mulai bekerja perubahannya cepat sekali di banding mereka di desa. Selain sudah akrab dengan cowok yang cakep - cakep mereka juga cepat dapatduit banyak . Mereka sering datang ke tempat tempat hiburan malam dan sesekali cari sampingan. Gaya dandanannya juga sudah berubah rambutnya sudah rebondingan. Bentuk tubuh dan kulitnya berubah lebih seksi, putih, mulus. Karena perawatannya memang mahal. Untuk wajah dan kullit agar putih bersih bisa sampai sekitar 1,2jtan. Kerja sebulan mereka sudah bisa beli HP, baju-baju bagus dan baru, kadang juga sudah mendapat pasangan. Nah pasangan ini juga bisa menjadi sumber keuangannya.  

SALAM KENTHIR

Tantangan Budaya


Perkembangan ’pluralisme baru’ dalam skala global telah menciptakan ruang-ruang segmentasi (segmentation space) yang semakin kompleks, dengan ’ideolog iideologi’ yang semakin berwarnawarni: ada yang prokapitalisme, ada yang antikapitalisme; ada yang proindividualisme; ada yang antinegara, ada yang antiglobalisasi; ada yang proagama, ada yang antiagama; ada yang dekonstruktif, ada yang konstruktif; ada yang pluralis, ada yang anarkis-semuanya membentuk sebuah ’hutan rimba ideologi’ plural, yang sama-sama diberi label ’pluralisme’.

Di tengah-tengah hutan rimba pluralitas ideologi baru itu, persoalan yang segera muncul adalah persoalan ’identitas kultural’ (cultural identity). Ada upaya-upaya untuk menafsirkan ’identitas kultural’ itu dalam tafsiran barunya, yang tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang membawa pada nilainilai primordial, tetapi-seperti pakaian-bisa setiap hari diganti-ganti, dipermak, dimodifikasi, direkombinasi dalam wujud hibriditas dan ekelektisisme. Tafsiran seperti ini, tentunya semakin memperumit upaya menanamkan sikap pluralisme di dalam masyarakat bangsa ini, yang belum siap, bahkan dalam bentuknya yang paling konvensional pun.

Ketidakmampuan menanamkan kesadaran pluralisme konvensional ini, terbukti dengan masih maraknya konflik-konflik bernuansa suku, agama, dan ras hingga kini. Di pihak lain, pembiakan pluralitas baru dalam realitas keseharian masyarakat-bangsa ini telah membentangkan pula resiko resiko baru dan konflik-konflik baru (new conflicts), yang tidak lagi bersumber dari sentimen-sentimen kesukuan, keagamaan, dan ras.

Dalam ancaman matinya pluralisme di atas tubuh bangsa ini, belajar dari ’gerakan-gerakan lokal’-beserta ’solusi-solusi lokal’ yang dihasilkan dalam menanamkan kesadaran akan ’pluralisme kecil’ yang juga bersifat lokal-mungkin dapat menawarkan sebuah alternatif dalam menyelesaikan problem pluralitas besar masyarakat-bangsa ini. Semangat membangun diri sendiri, sambil berusaha membangun garis-garis hubungan, interaksi, dan jaringan dengan lokalitas-lokalitas lain barangkali dapat menjaga keseimbangan nasional, agar perjalanan bangsa ini tidak keluar dari orbit yang telah disepakati bersama

SALAM KENTHIR

Kumpulan Tulisan Santri Kenthir



Loading...








Published by: Santri Kenthir

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More