Saran sebelum membaca:
Aku tak peduli catatan ini sangat panjang, jika tak berkenan tak usah membacanya!!!!!!!
Yang tidak senang kebijaksanaa hidup, tolong tulisan ini jangan dibaca!!!!!!!
Yang sukanya hitam putih memandang persoalan hidup jangan dibaca kelanjutan ceritanya!!!!!!!
Pada
waktu itu, keinginan memutuskan segera mengungkapkan kata, “aku cinta
kamu Ning!” tak pernah padam, walaupun berulang kali gagal diungkapkan.
Terkadang di lain waktu aku menyerah membiarkan diri larut dalam perang
batin, ataupun menjadikan diri sekedar sebagai suguhan rasa memiliki
yang tak perlu mengungkap dengan kata-kata. Mencukupkan kehadiran cinta
tanpa harus memiliki Si-empunya dalam arti kongkrit, persis seperti
yang diimajinasikan oleh Rei dalam bait-bait puisinya: “……cinta
kadang adalah malu...karena malu itu adalah kejujuran..agh...cinta
buknlah hawa ataupun nafsu untuk dicumbu... karena merayu tak ujung
untuk bersatu...Dst"
Apalah
artinya aku. Aku ini hanyalah wayang Allah yang juga harus tunduk pada
hukum hukum perubahanNya. Mahluk lemah yang takkan mampu melampui
setiap takdir-takdir Nya. Aku ini hanyalah lautan yang hanya bisa
menerima semua apa saja yang datang. Aku ini hanya menjadi bumi yang
akan mendapatkan senyuman saat ia telah menumbuhkan apa saja yang
ditanam. Hanyalah menjadi sebongkah karang yang harus terus bersabar
menerima setiap ombak yang menghantam.
Cinta
tetaplah sakral walaupun seringkali ia terjebak dalam ruang-ruang
ritual dan profan. Setiap jengkal proses cinta yang mengalir dalam
jiwaku adalah merupakan peristiwa-peristiwa monumental; Ia merupakan
proses pengembangan jati diriku, proses pembentukan pemikiran, proses
diri dalam identitas sosial, dan seterusnya.
Keputusan
mengungkapkan; “aku cinta kamu, Ning!”, mungkin bagi yang lain itu soal
remeh-temeh. Namun bagiku, terkait dengan banyak hal dan merupakan
perayaan rutual kehidupan yang sarat makna teramat dalam: “Ia
berkait dengan ketuhanan, rasa bakti pada orang tua, aklamasi status
sosial, pertaruhan harga diri, kebijaksanaan hidup, sertifikasi rasa
sayang, dan sebagainya”.
“Aduh Ipul kamu kok memperumit? Pakai dikait-kan dengan orang tua,
nilai ketuhanan, pertaruhan harga diri dan tetek bengek lainnya! Kok
mengolor-ngolor waktu hingga jadi rumit gitu,...”
Bagiku
itu bukan urusan sepele dan merumitkan. Kalau itu sepele, kenapa tidak
jauh sebelumnya sewaktu tiga bulanan berjalan menjalin hubungan,
langsung saja tembak dia, kalau tembakannya gak mengenai sasaran, pakai
jurus senjata berikutnya..: “lari dengan langkah seribu..!”.
Bukanlah
tidak berkait dengan banyak hal mengatakan, “aku cinta kamu, Ning!”.
Banyak keterkaitannya. Jika tidak mau mengakui ini, maka, sama saja
dengan menutup mata atas prosesi ritual perkawinan yang terjadi
dimasyarakat: “Kalau kawin cuma untuk memenuhi kebutuhan biologis,
kalau hanya untuk tujuan mempunyai anak; ngapain harus melewati prosesi
ritual perkawinan yang sakral , yang ribet, dan menghabiskan banyak
energi material? Kenapa tidak dimasukkan saja masing-masing pasangan
kedalam kamar, dan suruh mereka bersebadan,. Beres kan?! Tapi itu
adalah cara-cara khewani bukan manusiawi! Itu bukan cara-cara manusia
beradab. Itu hanyalah percumbuan antar daging dengan daging. Bukan
jiwa-jiwa yang sedang bercumbu dalam mengatasi keterasingannya”
Ritual
pesta pernikahan bertali temali dengan proses ketegangan-ketegangan
sosial yang terjadi pada masyarakat. Jika berhasil melewati proses
ketegangan-ketegangan sosial yang bertali temali dan merajuti banyak
makna, maka bentuk perayaannya, bisa berupa pesta perkawinan. Atau
kalau dalam skala nasional, bisa berupa bendera merah putih, lambang
burung garuda, UUD !945, Pancasila dan sebagainya. Namun bagi mereka
yang terburu-buru dan tak berhasil melewati ketegangan dengan indah,
maka penyesalan teramat dalam akan datang dikemudian hari; “bisa hamil
sebelum nikah, perceraian, KDRT, dan seterusnya. Atau bila diluaskan
lagi, bisa berupa tragedi kemanusiaan 65, kasus Semanggi, bom bali 1,
2, kasus penggusuran makam Mbah Priok, dan sebagainya”.
Jadi
ruang cinta yang kurasakan merupakan arena ketegangan-ketegangan antara
ingin memilikinya dengan cinta tidak harus memilikinya. Antara cukup
merasa memiliki dengan keinginan mengikatnya dalam status ikatan.
Antara berkonsentrasi pada cita-cita dengan keasikan dalam cinta.
Kontradiksi-kontradiski antara iya dan tidak, antara harus dan tidak
harus, dan seterusnya, dan seterusnya.
Mengungkapkan
cinta dengan kata-kata adalah merupakan pesta ritual cinta, setelah
melewati ketegangan demi ketegangan dan kontradiksi demi kontradiksi
yang terendap dalam kegelisahan jiwa.
Memang
iya, juntrung-juntrungnya mencintai seseorang pasti untuk memilikinya.
Tapi tidak serta merta sewenang-wenang menindas paham penentangnya yang
bersemayam dan bersemi dalam diri, “Cinta itu tak harus memiliki!”.
Memang
iya, aku mencintaiya cukuplah memberi tanpa mengharap. Cukuplah merasa
memiliki tanpa mengikat. Tapi tidak serta merta sepihak
membumi-hanguskan; hasrat-hasratku untuk memilikinya,
kebutuhan-kebutuhanku mengikatnya dalam ikatan status, keinginan
alamiahku bermesraan, dan lain sebagainya.
Satu
sisi mencintainya adalah, menyayangi dengan tulus. Tidak memaksakan
kehendak diri. Menjaganya sepenuh hati. Selalu ingin membahagiakan.
Tidak menyakiti, bahkan tidak boleh sedikitpun membuatnya merasa
terderitakan. Namun sisi yang lain mencintainya adalah, merupakan
dorongan kebutuhan batinku untuk; diakui sebagai pacarnya, membelainya,
bergandengan tangan, berciuman, berbicara tentang masa depan bersama,
dan seterusnya dan seterusnya.
Diantara
ketegangan yang terjadi dalam diriku, tubuhku, hanyalah media jiwa-jiwa
yang bersitegang. Sedang jiwa-jiwa itu hanyalah wadah dari
keinginan-keinginan yang saling bertentangan antara satu dengan yang
lainnya. Bagai aliran air, jiwaku mengalirkan jiwa-jiwa bersitegang.
Terus mengalir, dan mengalir, dan bertemu dengan mata air baru, dan
terus mengalirkannya menuju muara, sampai muara itu menyatukannya
kedalam ketenangan abadi.
Diantara Ketegangan Jiwa
Ketika
keinginan menambatkan rasa harus memiliki, dan selekasnya mengakhiri
cinta tanpa memiliki, dan mengungkapkan tanpa memikirkan resikonya,
seketika itu pula, perasaan ketidaktegaan muncul menginterupsi dan
menghadang setiap keinginan memilikinya.. Ketidaktegaanku adalah,
pertama tidak tega pada diriku sendiri, kedua, tidak tega pada diri
Nining.
Ketidaktegaan
pada diriku sendiri karena pasti aku akan sakit hati jika Nining
menolaknya. Resiko sakit hati pasti berdampak besar. Harga diri jadi
taruhannya. Penyakit keminderan yang sudah sembuh menjadi ke PD an
pasti akan kambuh lagi. Bahkan mungkin akan lebih parah. Bisa jadi, aku
menjadi berhenti kuliah. Rasa sakit yang teramat parah pasti
penyembuhannya membutuhkan waktu yang cukup lama. Nilai-nilai
pengetahuan idealisku yang sudah mulai terbentuk, pasti akan hancur dan
berserakan keruang-ruang gelap keputusasaan.
Ketidak-tegaan
yang kedua, aku tak ingin membuat Nining menjadi bingung,
terdilematiskan, tersudutkan dengan pilihan, tersentak harus menerima
atau menolaknya. Jika aku memaksakan keinginan itu pada Nining, maka,
aku adalah seorang ironis, naïf, memalukan, dan sangat egois.
Kaidah-kaidah cintaku hanyalah omong kosong belaka: “Seharusnya
mencintai Nining adalah menjadikan ia terus bahagia. Mencintainya
adalah memberi bukan menuntut. Mencintainya adalah api membara tanpa
pengharapan terbalas. Bukan malah sebaliknya. Hanya menjadikan Nining
menderita dan terbebani”.
Andai
cinta yang kuungkapkan pun diterima oleh Nining, aku amat kasihan
padanya. Aku takkanlah mampu membanggakannya. Tidakkah aku sebagai
pacarnya harus bertanggung jawab secara material? Cukupkah uangku untuk
biaya pacaran? Apakah aku punya fasilitas penunjang untuk penguatan
status sebagai, “pacar Nining”!? Bagaimana dengan perasaan keluarganya
bila mereka tahu anak gadisnya yang jelita hanya dapat pemuda kere?
Tidakkah aku telah berlaku kejam dengan manjadikan posisinya dilematis?
Tapi semua itu cuma bullshit!!!!,…… sontoloyo!!!!!!!, ………..semua omong kosong diatas… cuma…………. prett!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
“Ipul..!!!
Kamu ini sedang hidup dijaman yang sudah serba modern. Bukan pada jaman
siti nurbaya lagi, man! Dulu hidup hanya terbatas pada pertanian, tapi
sekarang dengan kemampuan otakmu dan lobi-lobi politikmu ditingkat
lokal, kamu bisa membahagiakan Nining”. Hidup segalanya harus
serba realistis. Cintapun harus pula realistis. Jangan sok pujangga.
Cerita cinta mereka itu hanya ada di novel-novel. Bukan dalam alam
kenyataan masyarakat. Kenyataan cinta realistis adalah cinta itu
memiliki; “Memiliki tubuhnya, memiliki jiwanya dalam bentuk kongkrit”.
Hubungan yang wajar (realistis) adalah hubungan dalam bentuk pacaran.
Bukan dakik-dakik melangit tapi lupa membumi. Asmara yang normal adalah
asmara yang saling berbelai, memadu kasih, berciuman nyata, bukan cuma
di fantasi!
Sudah dua
minggu aku menghindarnya. Walau sangat merindu, tapi kegelisahan demi
kegelisahan yang bertumpang tindih membuatku masih enggan bertemu. Di
kampus tanpa sepengetahuannya aku melihat papan pengumuman nilai
kuliah. Kulihat satu persatu nilai mata kuliah yang sudah kutempuh
banyak yang tak lulus. Kegelisahanku semakin bertambah, nilai mata
kuliahku, “jeblok, blok!!”
Sore
hari setelah setengah harian mengasingkan diri di keramaian terminal
Tawang Alun Jember, aku pulang kerumah. Sesampai dirumah aku hanya
bertemu kakak perempuanku. Saat aku datang biasanya ibuku selalu
menyambut dengan senyum disertai kata-kata khas perempuan setengah baya
pekerja keras desa. Sementara bapakku yang biasanya sore hari begini,
berada dikandang sebelah memberi makan kedua sapinya. Hanya kulihat
sekilas kakak perempuanku sedang menyusui anak ketiganya didapur. Aku
suntuk banget. Buru-buru masuk kamar, menelungkupkan kepala dibawah
bantal, berharap semua kegelisahan itu akan sirna dalam tidur lelap.
Terdengar
suara langkah kaki kakakku menghampiri, mendekatiku, dan beridiri
disamping pintu. Ia menyampaikan berita, bahwa bapak ibu sudah pergi ke
Bali tanpa sempat menungguku pulang dari kampus. Katanya mereka ikut
rombongan proyek pembangunan hotel dibali. Bapak menjadi kulinya,
sedang ibukku berjualan nasi pecel disekitar lokasi. “Pesenne
bapak awakmu dikongkon cuti sak semester. Ngenteni proyek`e mari. Biaya
cutine kon golek dewe. Awakmu dikongkon ajar kerjo dodol krupuk melok
mas. Mangkane tah leren maen iku!”, kata kakakku berlalu sambil
ngomel menuju dapur. Seperti tersekat, aku hanya diam terpaku. Cuti
satu semester? Berjualan kerupuk keliling? Berarti setengah tahun
kedepan aku tak bisa lagi bersama Nining dikampus!.
Sementara
didapur, kakakku terus mengomeli tentang perilakuku yang dinilai jelek
masyarakat. Gara-garanya aku sering bermain judi diwarung Mbak Lis. Aku
tak meresponnya. Aku tetap terbenam dalam rasa penyesalan-penyesalan
pada bapak-ibu selama ini. Suara-suara omelan kakakku sudah tak
terdengar, keadaan pun menjadi sunyi. Kamar pengap ini terasa seperti
melemparku keruang penjara bawah tanah. Menyudutkanku kedalam
dimensi-dimensi ketakutan, kegelisahan, rasa sesal, keputusasaan dan
berbaur dengan keinginan untuk marah semarahnya.
Seperti pesakitan lunglai, aku terus terhujami suara-suara ketakutan, kegelisahan, rasa sesal, dan keputusasaan:
“…………………..!!!!. .. …. ………………….…………… Nilai kuliah jeblok…………!!!!
Masyarakat mencemooh sebagai mahasiswa tukang judi!!!! Orang tuaku
merasa gagal mendidik…!!........Ditinggalkan orang tua………Disuruh cuti
satu semester…..!!!!! Aku anak durhaka..!!......Aku benci cinta
terpendamku,~~~~~~~!!!!!!! ".
Ya…
akulah anak durhaka itu.. !! Orang tua mati-matian kerja bermandi
keringat, kepala dibuat kaki, hanya demi aku agar selesai kuliah tepat
waktu. Mereka melakukan semuanya dengan susah payah agar kelak aku
tidak sengsara. Tapi apa balasannya untuk mereka? Aku hanya
mempermalukan mereka dimata masyarakat..!!!!. Mulai dari bayi mereka
membesarkan dengan kasih sayang dan perhatian sampai tumbuh menjadi
dewasa. Tapi, aku tak tahu berterima kasih!!!!!!! Keberadaanku selalu
menyusahkan mereka!!!!!!!!!.
Cinta
orang tua pada anak dimanapunn, dan kapanpun, tak bisa dipertukarkan
dengan cinta seorang kekasih. Kenyataannya, aku menukarkanya!!!.
Gara-gara kebiasan lari dari kenyataan cinta sepihak, akhirnya aku
terjerumus di meja judi. Akhirnya uang-uang SPP ku ludes dimeja
judi!!!!!. Gara terjerumus dalam api asmara, kewajiban-kewajiban kuliah
ku abaikan. Kuliahku jadi hancur!!!!!!!!!.
Karenanya,
aku harus mengakhiri……….!!!. Harus berani memilih berkonsentrasi
kembali pada kuliah….!!!!!!. Apun caranya walau sambil berjualan
kerupuk keliling!!. Aku harus secepatnya mengungkap kata cinta pada
Nining. Lebih cepat lebih baik Soal diterima atau nggak itu urusannya.
Sukur bila ditolaknya. Aku harus cepat melupakannya.Apapun akibat pada
dia, baik diterima atau ditolak, itu urusannya…!!!!!!!.
Cinta
pada orang tua harus diutamakan. Pengabdian hidup pada orang tua harus
jadi nomer satu. Cinta pada perempuan itu nomer sekian. Aku harus
kembali rajin kuliah dan mengejar katertinggalan dan bekerja sendiri
mencari biayanya. Bulatkan tekad jangan pedulikan apapun!!. Toh, aku
sudah banyak memberikan hati, pikiran dan waktu buatnya!!!!. Aku harus
tega memilih cita-cita daripada cinta!!!!!!!!!. Aku harus menjadi anak
yang membanggakan orang tua!!!!!!!!!!!!!!!!!.
Di
malam yang lain dan malam-malam berikutnya, aku terus menerus disuguhi
ketegangan perasaan diri yang sedang berkecamuk. Walau begitu berat
melewatinya, tak terasa sudah sebulan aku tak berjumpa dengannya. Rindu
ini teramat dalam padanya.
Diantara
ketegangan yang saling berlawanan menghentak-hentak jiwaku, sebuah
kesadaran yang teramat halus menghembus ke ruang arena ketegangan jiwa
ku. Kesadaran itu menghembuskan ingatan makna-makna positif selama
menjalin cinta terpendam dengannya.
Bagaimanapun
ia telah mengajarkanku banyak hal. Tiga tahun bukan lah waktu yang
teramat singkat. Walau cinta yang terjalin adalah cinta tanpa ungkapan
kata-kata. Walau kami menjalaninya penuh malu-malu dalam teka-teki
cinta yang terpendam. Walaupun dalam pelarianku terjebak dalam
perjudian, tapi banyak pula pengetahuan yang kudapat karenanya. Selama
itu pula ia telah banyak memberikan inpirasi kehidupan yang lebih dalam
dan lebih luas.
Karenanya
aku bahagia. Karenanya hidupku terasa indah. Karenanya aku merasa
berarti. Karenanya aku merasa PD. Karenanya aku banyak tahu hal. Walau
terkadang, karenanya, sebagai laki-laki aku menangis mengadukan
misterinya kehadapan tuhan…….!!!!!!!!!.
Harusnya
aku mensukuri dan teramat berterima kasih padanya. Aku kere……! Dia
cinderella ….! Tidakkah dia telah meninggalkan gaya hidupnya, telah
menjadi gadis sederhana, demi menyesuaikan diri dengan penampilanku
yang ala kadarnya ini..????. Dia itu telah begitu baik padaku.
Mungkinkah aku harus mengahiri dengannya, dikarenakan posisiku sedang
terjepit? Sudah benarkah, kebulatan tekad menyatakan cinta selekasnya
tanpa mau tahu resiko yang akan menimpa padanya?
Semua
ketegangan-demi ketegangan, seperti apa yang telah diramal oleh
eksistensialisnya Sartre, maka, diriku seperti berada ditengah-tengah
sahara gurun pasir yang teramat luas dengan panas menyengat. Dalam
keadaan lapar dan haus tak ada yang bisa kulakukan selain berharap
pertolongan itu datang. Setiap fatamorgana yang terlihat aku selalu
mengiranya sebagai air kehidupan yang akan menolong rasa hausku. Aku
tergelepar tak berdaya diatas pasir yang panasnya begitu menyengat. Aku
pasrah, semoga keajaiban tuhan itu cepat datang. Aku hanya bisa
berteriak dalam keterasinganku, “Ya, Allah!! Hamba!! Mohon
pertolonganmu………..!!” Hanya kepada tuhan aku meminta pertolongan. Hanya
kepadaNya meminta pengampunan. Hanya kepada Allah aku meminta
keselamatan hidup ditengah gurun pasir yang gersang dan tandus ini.
Keadaan
jiwaku tergelepar tak berdaya di gurun pasir gersang nan tandus, semua
itu, menghantarkan selama tiga hari tiga malam aku berpuasa tanpa makan
nasi. Aku mengurung diri didalam kamar. Bila magrib aku hanya makan
sebuah pisang dan segelas air putih. Kakak perempuanku khawatir. Ia
menyuguhkan bubur ayam. Aku meyakinkannya agar tak perlu
mengkhawatirkan. Aku terus menenggelamkan diri dalam “Sungai
Asma`ulhusna”. Beribu mohon ampun tangan ditengadahkan. mengharap
mendapat jalan keluar dari ketegangan ketegangan yang sedang kuhadapi.
Dimalam
ketiga, disaat orang-orang terlelap dalam mimpi indahnya, muara-muara
ketenangann itu seperti sedang merengkuh jiwaku. Ketegangan ketegangan
itu pun menyatukan diri dalam muara sungai ketenangan. Akupun mampu
mendamaikan aliran-aliran ketegangan jiwa itu menjadi sebuah rasa
damai. Keajaiban itu telah menghampiriku, menuntunku, menyusun sebuah
pesta ritual cinta untuk diberikan pada sang kekasih. Seperti mendapat
bisikan ilahi, aku diperkenankan menyampaikan rasa cinta terpendam
dalam ungkapan kata pada Nining.
Ungkapan
cinta itu bukan untuk menuntutnya menjadi pacar. Ungkapan cinta dengan
kata-kata adalah ritual perayaan pelepasan dari ketertindasan. Aku
hanya mengungkapkan. Tidak boleh menuntut dan berharap. Aku hanya
bertugas melaksanakan ritual kata cinta, sedang hasil atau akibat dari
itu adalah urusan Allah. Mengungkap cinta terpendam dengan ritual kata
cinta bukanlah untuk sebuah pengharapan. Ia hanya sebagai jalan keluar
melampaui keadaan-keadaan yang saling bersitegang dalam diriku.
Ungkapan kata cinta bukan untuk memilikinya. Ungakapan kata cinta bukan
untuk memfinalkan keadaan cinta. Bukan untuk memastikan keadaan masa
depan. Seperti halnya pernikahan yang belum pasti berjodohan.
Mengungkap kata cinta bukan untuk menghancurkannya, menyakitinya, dan
sebagainya. “Khoirihi wasarrihi minaallahi ta`ala……! baik dan buruknya
dari pengungkapan kata cinta Allah yang menentukan hasilnya.”.
Segalanya hanya dihaturkan kehadapan ridho Allah.
Demikianlah
pada suatu hari berikutnya dengan ketenangan jiwa-jiwa yang mengalir
dari muara sungai ketenangan Allah, aku tertuntun melaksanakan, dan
mengungkapkan cinta yang terpendam itu kepadanya. Saat menulis catatan
ini, saat mengenang sosoknya dimasa lalu, dendang kehilangan dalam
lagunya Firman terdengar mengiringi disini, seakan sekarang ia sedang
beradabersamaku disini: "...Ku coba ungkap tabir ini. Kisah antara
kau dan aku Terpisahkan oleh ruang dan waktu Menyudutkanmu
meninggalkanku Ku merasa telah kehilangan Cintamu yang tlah lama
hilang..........."