Ungkapan cintaku Lebih Kerbis dari Simbol Taj Mahal

Subtansi pengungkapan cinta terpendamnya Santri kenthir pada gadis pujaannya, itu sama halnya kisah cinta tulusnya Shah Jehan pada isterinya Mumtaz ul Zamani.

Awas! Saat Kaum Gay Bergentayangan Di Facebook Ku

Tulisan ini sekedar berbagi pengalaman unik selama berjejaring di facebook. Bukan untuk menghukumi minoritas kaum Gay.

21 Okt 2011

Ketika Cinta Bertasbih Dipersimpangan Jalan Cinta


Sebelum aku mengenal gadis itu, cinta itu aku maknai sebagai jalan hidupku untuk selalu bermunajat kepada Allah, untuk selalu bercengkrama dengan sifat-sifat Nya. Setip detik, setiap menit, siang dan malam hatiku ber-wirid-an, “Allah, Allah, tanpa henti”. Itu benar, aku tidak bohong. Aku tidak mengada-ngada, bahwa makna dan praktik cintaku hanya tertuju kepada Allah.

Mulanya aku biasa saja. Tak ada yang istimewa. Tak ada getaran-getaran jiwa setiap kali aku bertemu atau ngobrol-ngobrol dengannya. Padahal untuk ukuranku, dia begitu cantik. Wajahnya mirip Wulan Guritno dengan tinggi badan 155 cm. Anaknya humoris, dan sangat nyambung-bung bila diajak ngobrol. Sering-kali kami berjam-jam mengahabiskan waktu, hanya untuk obrolan yang bersifat the north of the south (Red: ngalor-ngidul). Awalnya, selama tiga bulanan berjalan, perasaanku masih biasa saja padanya. (Walau akhirnya, aku benar-benar jatuh cinta sepihak padanya!).

Bagiku selain kepada Allah, cinta yang ada didunia bukanlah cinta kesejatian: “Rindu selain kepada Allah merupakan tindakan menyekutukan Nya. Kekaguman selain kepada Allah, adalah perselingkuhan hati atas kemahakuasaanNya”. Kalimat-kalimat ini bukanlah kalimat pejoratif untuk memperindah cerita. Sungguh, waktu itu aku masih terpukau dan benar-benar merasuki kebenaran jalan tasawwufnya Imam Ghozali, jalan cintanya para kaum sufi, dan, yang sangat membekas adalah kesejatian cintanya Robi`ah. Betapa ektasis dan mengharu biru, ketika Rob`iah dengan isak tangisnya menghaturkan kejujurannya: “Aku mencintai-Mu dengan dua cinta. Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu. Cinta karena diriku, adalah keadaan senantiasa mengingat-Mu. Cinta karena diri-Mu, adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir. Hingga Engkau ku lihat. Baik untuk ini maupun untuk itu. Pujian bukanlah bagiku. Bagi-Mu pujian untuk semua itu”.
Aku mengenal gadis itu pada 11 tahun yang lalu. Itu bukan fiksi. Entah dimana dia sekarang, sudah 8 tahun-sampai sekarang- tak pernah lagi bersua kabar dengannya. Namanya, Nining Setihari. Dikampus anak itu jarang masuk kuliah. Super cuek dan sekaligus pemalu. Sudah tiga kali pindah-pindah kampus, sampai dia terdampar dan mengenalku disalah satu perguruan tinggi swasta di Jember..

Dia anak orang kaya didesanya. Pernah ku memergoki, secara sembunyi, sering Nining membawa mobil pribadinya parkir dipelataran kampus. Setiap harinya tidak berjilbab, bercelana jin dengan berbaju hem lengan panjang. Sukanya bersandal jepit. Jika berkencan malam minggu dengan pacarnya, ceritanya selalu ditempat-tempat makan mewah yang romantis.

Nining setihari, sebuah pribadi yang komplek dan sekaligus misterius.
“Gak kuliah, Ning?”, sapaku saat kulihat dia bengong sendiri dibangku panjang yang biasa menjadi tempat ngobrol kami berdua. “Nggak, males!, jawabnya enteng tanpa rasa beban dosa pada orang tuanya. Dengan senyum khas nya dia balik bertanya, “awakmu?”,. “Podo, nggak pisan. Males!”, jawabku. Padahal dari rumah niatku pingin mengikuti mata kuliah Sistem Politik Indonesia. Tapi, setiap kali bertemu dengan Nining Setihari, setiap kebimbangan hati itu muncul, selalu aku putuskan memilih mengobrol berjam-jam dengannya.

Dialah yang berkenan mendengar kegelisahan pemikiran dan kejiwaanku selama ini. Pun sebaliknya, akulah yang mau dan selalu bersedia mendengar, memperhatikan, terkagum-kagum, terawa-tawa apa saja yang keluar dari mulutnya. Mulai dari rasional, sampai pandangan mistiknya. Dari cerita yang benar-benar mewah sampai remeh temeh, dari yang benar-benar lucu-sampai yang tidak lucu pun, aku masih tetap saja setia manggut-manggut menyimaknya.

Demikianlah, waktu berjalan begitu cepat. Hari berganti minggu. Tanpa terasa sudah tiga bulanan aku sangat akrab dengannya. Jarang kami mengikuti kuliah, kebanyakan setiap bertemu digunakan mengobrol di bangku panjang dilantai tiga. Atau kalau jenuh, biasanya berpindah keruang perpustakaan. Hampir tidak pernah aku menyetujui jika dia meminta ngobrol dikantin kampus. Atau, aku takkan pernah bersedia bila diajak pulang berdua walau hanya sampai dipintu gerbang. Biasanya kusuruh dia pulang duluan. Pernah dia menanyakan hal itu. “Karena aku ketemu awakmu, lalu akrab koyok ngene, bukan untuk diketahui publik. Biarlah, awak dewe ketemu dan ngobrol asik koyok ngene, ae. Gak usah diubah-ubah,lah. Dan mulie dewe-dewe”, demikan alasan diplomatisku.

Padahal sejatinya aku ngeles. Itu alasan konyol. Sebenarnya aku minder jalan berdua dengan gadis cantik sepertinya. Apalagi kalau diketahui oleh teman-teman ku, pasti digojlok habis-habisan. Bisa –bisa, pingsan ditengah jalan!. “Lha wong sangu kuliahku saja pas-pasan!. Baju hanya punya tiga macam, celana jin dua yang layak pakai dikampus, dan itupun belinya di JTC (JTC: Jatian Center, tempat jualan baju rombengan dipajang berderet-deret dipinggir jalan raya Rambi Puji. Sampai sekarang JTC masih berdiri megah). Kok, maunya bertingkah macem-macem bareng cewek segala. Apa kata emakku, nanti?”.

Selama liburan kuliah, dalam kesendirian, hari-hari kujalani begitu berat. Aku lebih banyak menemukan keterasingan diri dan mendamparkan kepulau yang tak bertuan. Hantu-hantu kebersamaan dengan Nining sering menginterupsi setiap jengkal langkah. Sarat menjeda keteraturan detak jantung. Magma kerinduan mulai meletup-letup mengguncang nalar. Jurang waktu terlihat menganga didepan mata batin. Virus bayangnya menyusup kesegala penjuru relung-relung jiwa religius. Seperti, ratu Cleopatra yang telah memenangkan pertempurannya dari hegemoni laki-laki, ia tersenyum sambil mengejek ke-aku-anku. Senyum itu begitu mewah nan indah, lebih indah dari sekedar senyum para bidadari yang dijanjikan kelak disurga sekalipun.

Seringkali aku menghindarinya. Terengah-engah aku berlarian agar ia tak selalu mengikuti. Dipematang sewah dekat rumahku, berharap ia hilang dimakan orang-orangan sawah yang sedang menjaga padi menguning, atau, dihembus terbang oleh angin kencang bila sore hari telah tiba. Namun angin sawah itu, cuma bergerak sepoy-sepoy. Seakan beriring dengan burung-burung sawah yang cerewis, menggoda, berbisik, dan bersautan, “mungkinkah, Saiful sedang jatuh cinta pada Nining Setihari?”.

Di suatu malam aku terdampar dalam kesunyian, begitu mencekam! Menangis dan lirih! Tidak seperti malam-malam sebelumnya, aku sering pula menangis pada Nya karena pengakuan dosa, atau karena lalai mensukuri nikmat yang selalu diberikannya setiap saat. Tapi, tangis itu begitu menyayat, begitu menusuk alam bawah sadar. Tidak terbersit, saat dalam sujud kepada Nya, do`a-do`a itu menghujam protes membaur dalam isak tangis: “Ya Allah, kenapa engkau beri aku kesempatan mengenalnya. Bukan aku telah mencukupkan nama Mu dihatiku. Tidak kah aku telah teramat damai bercengkerama dengan MU? Dengan asma`ul husnamu aku telah banyak kau ajarkan tentang kehidupan ini, ya Allah……! Kenapa, a..k..uuu, mulaiiii memikirkannya, ya Allah? Jalan pikiranku, akan kebesaran Mu mulai memecah kepadanya. Tidakkah aku ini hanya mahluk lemah, yang hanya bisa melaksakan takdir-takdir Mu jika engkau menghehendakinya? Khoirihi wasarrihi minallahi ta`ala. Aku itu anak orang miskin, ya Allah. Dia tidak pantas aku miliki. Aku tidak ingin jatuh dihadapannya. Aku tidak ingin merindu seperti ini padanya.”

Sebulan sudah tak pernah berjumpa dengannya. Rindu ini hanya bisa dipendam. Biar sudah tahu alamat dan nomer telpon rumahnya, aku tak berusaha menghubungi Nining. Resikonya amat besar!. Lagian, penampilanku yang pas-pasan ini tak memungkinkan meyakinkan keluarga Nining percaya, bahwa aku ini anak baik-baik. Jadi, cari aman-aman saja. Toh, aku juga telah mampu menstabilkan kembali guncangan-guncangan jiwa menjadi kepasrahan, bahwa, semua ini tabir Allah dan kelak akan tersingkapkan hikmah-hikmahnya.

Ketika Cinta Bertasbih Nining

“Dug, dug, dug…!”. Bunyi getaran jantung bak sound sistem acara mantenan tetangga. Tanpa terduga, Nining berkelebat di salah-satu kerumunan papan pengumuman depan kantor Dekanat. “Ufh..! Untung dia tak memergoki. Selekas mungkin menetralisir diri, bersembunyi dibalik tembok. Secara otomatis pula, wirid Allah Allah, iramanya semakin kupercepat dalam hati. Setelah dirasa mampu meyakinkan diri, “bahwa Nining juga mahluk Allah yang lemah. Dia tak lebih istimewa dariku. Dia adalah mahluk bodoh dan hina juga. Karena kebetulan dikayakan, diberi kecantikan, dan dimuliakan Nya hingga dia menjadi seperti itu.” . Sambil menghela napas panjang, aku langsung meluncur keruang dekanat dengan tetap bertasbih dalam hati.

Ternyata benar dugaanku. Sebelum masuk ruangan, aku berpapasan dengan Nining. “Hai, Ning. Wis tadi?”, tanyaku tanpa berani menatap matanya. Ingin sekali menyelidik perasaannya lewat bola matanya; adakah dia merindu selama sebulan tak bertemu, seperti aku yang selalu merindu?. Puih, sumpah aku tak akan coba-coba lagi, peristiwa getaran detak jantung tersebut telah membuatku termehek-mehek. “Iyo, alah awakmu sombong gak gelem nelpon? Wong wis tak ke`i nomer telpon. Yoopo liburanmu?”, kata Nining menimpali. Aduh, aku harus jawab apa ya? “ Anu Ning, sibuk mancing. Diskusi bek wong-wong. Alah, podo ae Ning liburan gak liburan. Paling-paling mancing, moco, diskusi!. Ya, ngunu-ngunu ae lah. Gak onok sing istimewa. Liburanmu dewe, yoopo?”, tanyaku balik memancing obrolan agar lebih panjang dan mengalir kemana-kemana.

Obrolan demi obrolan, pertemuan demi pertemuan, terus mengalir setiap hari. Rasa rindu, bukan semakin hilang tapi malah semakin bertumpuk-tumpuk. Memang iya. Setiap kali aku bertemu dan ngobrol dengannya telah aku netralisir dengan wirid hati. Memang, aku sudah pandai mengendalikan diri tidak menjadi seorang terjatuh dihadapannya. Aku telah begitu tenang, begitu cerdas, mengalirkan obrolan menjadi tema-tema kehidupan yang mendalam. Tapi akbatnya, wirid asma Allah kemudian berganti hanya kulakukan pada siang hari saja. Dan pada akhirnya hanya berfungsi untuk menetralisir sikap hati dihadapannya. Hakikat wujud kekuasaan Allah pun, melenceng, menjadi sekedar kekaguman dan rasa sukur berlimpah atas pertemuan demi pertemuan Nining.

Sementara bila malam-malam telah tiba, jiwa terus gelisah menunggu selekasnya malam berganti siang. H ati terus mengenang kesan indah pasca pertemuan siang hari. Dan pikiran tanpa bisa di kendalikan terus membayang yang akan terjadi esok. Benar-benar dahsat. Hampir-hampir aku telah melampaui antara batas kenormalan dan kegilaan. Seumur-umur aku tak pernah mengalami hal semacam ini. Kerinduan yang total, mendalam, dan mata airnya selalu menyumber tak pernah ada habisnya.

Setiap malam aku tak bisa tidur. Jika kupaksa, hanyalah usaha sia-sia, bahkan semakin menambah penderitaan menahan rasa rindu. Tanpa sadar, berjam-jam waktu telah kulewati hanya untuk mengenang peristiwa-pwristiwa manis saat bersamanya dikampus. Satu kalimat, atau beberapa gaya khas tertawanya, membuat aku terngiang-ngiang semalaman. Sering aku sengaja mereplay-nya menjadi wirid dalam hati sampai lelah lalu tidur terlelap. Sering pula sampai pagi, pikiran demi pikiran terus menerus merancang tema obrolan untuk esok, meracik kata-demi-kata, dus, humor-humor yang akan disajikan dalam pertemuan selanjutnya. Tiap malam hati mengeja kesan kenangan hari-hari bersama, dan merabanya menjadi sebuah harapan cinta.
Walau wirid malamku dari asma` Allah telah berganti nama Nining, tapi, ku yakin Allah pasti mengampuni dan akan membukakan tabirnya kelak. Duh, gusti Allah mengapa aku harus kau lewatkan jalan menyimpang seperti ini?.
Wirid-an atas nama Nining disetiap malam-malamku, tasbeh yang ku putar telah berubah. Bak ular menganga tasbih cinta itu menyemprotkan bisa ganasnya dan mematikanku perlahan.

Setelah setahunan aku jalani, wirid Nining merupakan pekerjaan yang teramat menyiksa. Aku mulai mencari pelarian hati dan pikiran, agar tidak terus menerus mewiridkan Nining dan benar-benar menjadi gila karenanya. Perlahan-lahan aku mengalihkan diri, sibuk dengan menggali pengetahuan-pengetahuan dari buku, TV, atau berdiskusi dengan Kyai sepuh desa Glundengan terkait tema sejarah, agama, politik dan ke NU-an. Walau juntrung-juntrung nya semua hasil bacaan dan diskusi, tetap seja diolah agar menjadi obrolan menarik dan bisa menyenangkan Nining dikampus. Sering kali setiap bacaan di buku atau di koran, kira-kira ada kalimat yang menarik dan perlu disampaikan kepada Nining, pasti aku garis-bawahi untuk dihapalkan.

Menjadi masalah, jika selesai membaca atau berdisikusi tidak sampai membuatku terkantuk dan bisa tertidur dengan mudah. Hantu-hantu Nining pasti menunggui, lalu mengoda disudut-sudut kamar gelap sampai matahari menyingsing. Dan dapat dipastikan aku sibuk kembali mewirid nama-nama Nining. Makanya, setiap pulang diskusi dari rumah Kyai atau habis nonton TV dirumah saudara, jika belum terkantuk, aku jarang langsung pulang ke rumah. Biasanya aku habiskan begadang ditempat nongkrong teman-teman kampung yang sedang berjudi, sampai akhirnya, aku kemudian terjatuh kedalam dunia perjudian.

Awalnya, aku mencari tempat pelarian diri, lama-lama ketagihan, karena jika sampai menang uang itu membuatku PD jajan dikantin kampus, walau Nining sendiri mati-matian tak pernah mau dibayari.
Terkadang saat kalah dalam berjudi uang SPP 1 semester yang sedianya dibayarkan amblas dimeja judi. Daripada kalahnya aku lebih banyak menangnya. Permainan yang mengasah kemampuan psikologis dan kepekaan membaca mental dan kartu lawan ini, dikalangan teman-teman kampung aku lebih jago. Pernah hanya bermodal sepuluh ribu, uang berlipat menjadi 150 ribuan. Tahun 1999, uang segitu sudah lumayan banyak untuk nraktir atau sekedar pamer dari dalam dompet. Sebelum masuk dompet uang 1 ribu-an yang kumel itu, biasanya aku tukar dengan 50 ribuan di Pom bensin. Setiap menang dalam judi, tak ada lain, pasti ujung-ujungnya buat Nelpon Nining berjam-jam lewat Wartel. Waktu itu HP belum beredar dikalangan kampus.

Nining tidak tahu, pastinya tidak boleh tahu, jika aku sudah keranjigan dengan Judi. Pernah juga, setelah menang judi semalan suntuk, paginya, aku langsung Telpon Nining. Katanya hari ini, dia ada jadwal kuliah itu. Nining menungguku jam 8 pagi di Perpus. Aha…! Sudah seminggu tak jumpa dengan Nya. Mungkinkah dia sedang merindukanku...? Selesai mandi, aku menyetrika salah satu dari tiga baju yang bisa aku andalkan tampil dihadapan Nining. Namun aku bingung, uang ribuan kumel dari meja judi yang berjumlah sampai 100 ribu lebih itu tak bisa aku tukar. Terburu-buru kekampus. Jam menunjukkan sudah pukul 7 pagi. Terpaksa, uang ribuan itu aku setrika juga. Lalu kumasukkan ke-tas bersama buku-buku materi kuliah yang selalu setia berada didalamnya.

Jarak rumahku dengan kampus, sekitar 20 Km-an. Waktu tempuhnya dengan berganti dua kali angkutan hampir 1 jam-an. Perkiraan jam 8 tepat aku sudah sampai di Perpus. Jika terlambat Nining pasti tak sabar menunggui lalu ngacir begitu saja.

Sial bin apes! Saat aku sudah berada didalam Bis Kota yang hampir mendekati kampus, rasa kantukku tak bisa dikompromi,dampak semalaman tak tidur. Bayangan akan segera bertemu Nining, membawaku pergi ke alam mimpi. Aku tertidur didalam bis kota! Baru terbangun, saat sampai diterminal Pakusari, kondektur bis membangunkannya. Kulirik jam tangan, menunjukkan pukul 8. 30. Berarti, aku sudah terlambat setengah jam. Bila aku balik ke kampus memakan waktu setengah jam. Berarti pula sudah tak ada Nining di Perpus. Daripada kekampus dengan pakaian lecek dan bau badan yang badhek, ku putuskan balik lagi kerumah dan melanjutkan mimpi-mimpi indah tentang Nining yang sempat tertunda di Bis Kota tadi
.
Begitulah, ketika cintaku berganti tasbih, saat zikir berubah atas nama Nining Setihari. Jalan cinta yang membelah pun menjadi persimpangan antara cinta kesejatian kepada Allah dengan cinta yang menyesatkan. Penyimpangan cinta itu menjadi tabir terkuak samar-samar dalam ruang-ruang penderitaan. Cinta berganti tasbihku pada Nining, menggerus kedalam jurang yang amat dalam dan gelap. Keterperangkapan itu menghimpitku dalam kegelisahan-kegilasahn menyesakkan. Cinta yang telah berganti tasbih, sekaligus menyadarkanku, bahwa aku hanyalah manusia biasa yang punya hak dicintai-mencintai. Cinta tak harus diperlawankan diantara wujud-wujud cinta. Kepada dan hanya Allah adalah mutlak sebagai wujud keyakinan, tanpa perlu dipertentangkan dengan Cinta sepihak padanya.

 Akan tetapi, bukankah hakekat cinta adalah penderitaan? Tidakkah, cinta sepihak itulah yang berhak masuk ke ruang-ruang penderitaan? Bukankah cinta yang membakar jiwa-jiwa para pecinta hingga lebur dalam istana penderitaan yang telah banyak melukiskan cakrawala kisah abadinya?

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More