Siang
itu baru pertama kalinya kulihat ada seorang gadis duduk sendirian
termangu diantara lalu-lalang kesibukan diruang kantor partai politik
itu. Harum semerbak, gadis itu menebar aromanya kesetiap deras bau
ketiak para calon kontestan PEMILU yang sudah kelelahan memverifikasi
partai barunya. Mutiara hadirnya membawa kesahajaan makna tersendiri
diantara tumpukan kepentingan politik duniawi atas nama hati nurani.
Aku
pikir, gadis itu calon baru pengurus partai yang akan ikut-ikutan
berkontestasi merayu-rayu hati rakyat. Ketika ku amati dari sikapnya
yang lugu, pakaiannya yang sederhana, dan tutur katanya yang teramat
sopan, bahkan nyaris tanpa retorika, sepertinya ia bukanlah sosok yang
pantas untuk belepotan dengan lumpur permainan partai politik.
Dugaanku
tidak meleset. Ia memang bukan calon pengurus partai. Gadis itu adalah
admin baru yang akan siap selalu didepan komputer mengerjakan perintah
para pengurus partai yang berkait dengan kesekretarisan.
Sehari-hari
dipanggil Venti. Sudah dua hari bekerja sebagai admin partai yang
digaji bulanan. Waktu itu ia masih berumur 20 tahun. Ditengah
keluarganya merupakan anak perempuan satu-satunya dari lima bersaudara.
Kakak sulungnya meninggal dunia beberapa tahun lalu. Ia anak kedua yang
dibesarkan dari keluarga kurang harmonis dengan ekonomi keluarga
pas-pasan. Venti merupakan potret anak gadis dari keluarga terpinggir
yang tengah hidup dalam kepadatan kota Jember-Jawa Timur.
Venti
tipe gadis mandiri. Pekerja keras dengan mimpi-mimpi yang melangit .
Sewaktu masih aktif kuliah di STAIN Jember semua biaya kuliah
ditanggungnya sendiri. Ketika diberhentikan sebagai pekerja pelayan
toko, Venti memutuskan berhenti kuliah. Bermodal ijasah SMA serta
jaringan yang terbatas sulit baginya cepat mendapatkan kerja buat
membiayai kuliahnya. Terpaksa dia berhenti kuliah. Untuk sementara ia
menjeda mimpi kuliah sampai bergelar sarjana. Memasukkannya kedalam
laci kegagalan hidup sementara. Padahal menurut Venti, “dengan gelar
sarjana ia bisa mendapat kerja layak, dengan kerja mapan kelak ia akan
menyekolahkan adik-adiknya sampai keperguruan tinggi.”
Suatu
ketika ia ditawari oleh Pak Somad untuk bekerja di sebuah partai
politik sebagai admin. Venti menerimanya dengan teramat gembira.
Waktu
itu, tahun 2008, ia cuma digaji 300 ribu per bulan. Pulang pergi
kekantor naik angkot dengan total ongkos perbulan 120 puluh ribu. Sisa
gajinya setelah dipotong ongkos angkot harus dibagi lagi untuk jajan
adik-adiknya, dan membayar tagihan PLN sebesar 50 ribu. Praktis sisa
gaji yang masih melekat ditangannya tinggal 1 lembar 50 ribuan. Nominal
uang yang sudah berkerut itu masih mengalami kepiluan diri saat
membentur daftar belanja venti yang sudah dipangkas sampai keakarnya.
Diantaranya,
Venti beli pulsa cukup tidak cukup harus 5 ribu untuk satu bulan.
Dilarang keras digunakan untuk menelpon. Boleh SMS tapi hanya untuk
membalas SMS yang masuk. Dan apabila terpaksa membalas maka sms lah
yang penting-penting saja.
Venti
dan
Seragam
Kebanggaanx
"Masak hidupmu akan gitu terus, Ven? Minimal kamu kan butuh beli pakaian baru biar kelihatan gaul sedikit."
"Habis mau gimana lagi, Mas. Akhir bulan aku usahakan beli celana bekas saja."
"Kok beli celana bekas?"
"Celana bekas model pensil. Emang kenapa Mas?"
"Loh, kamu gak malu kepasar cari celana bekas? Emang ada celana rombeng model pensil?"
"Biasanya
Ibuku yang nyari dipasar. Sampai dirumah dipermak lagi menjadi model
celana yang cocok dengan penampilanku. Contohnya seperti yang aku pakai
ini, mas! Gimana, masih terlihat modis, kan?" Venti beranjak berdiri
menunjukkan keserasian celana yang dipermaknya sambil berlenggak
lenggok dihadapanku.
Setiap hari venti tidak lepas dari
berjilbab. disela-sela kesibukannya sebagai admin, ia tak lupa selalu
meluangkan waktu menunaikan sholat wajib. Selain sikapnya yang sopan
dan lugu, Venti adalah gadis Jujur dan tekun dalam mengerjakan tugas.
Dan yang tak kalah menarik dari karakter Venti yaitu, meskipun
dibesarkan dalam lingkungan perkotaan, ia masih saja sebagai sosok
gadis pemalu.
"Kamu sudah punya pacar, Ven?" Percakapanku mulai masuk wilayah privasinya.
"Iya punya. Kenapa Mas?"
"Sudah berjalan berapa lama?"
"Sekitar dua tahunan."
"Hemm. Kamu kan rajin sholat. Pakai jilbab lagi. Emang pacaran itu tidak haram, kah?"
"Tergantung orang yang menjalaninya, mas? Kalau pacaran melebihi batas wajar itu diharamkan."
"Emang pacaranmu wajar seperti apa, kok tidak haram?"
"Nggak ada cuma ngobrol biasa. Sebatas telpon-telponan. Jalan-jalan, atau ketemuan dirumah. Pacaranku cuma gitu-gitu saja, mas."
"Masak sih? dua tahun loh kamu pacaran, bukan waktu yang pendek. Mustahil, lah! Masak gak pernah pegang-pegang tangan?"
"Maunya
pacarku, gitu terus mas. Cuma sering aku marahi kalau dia mulai
pegang-pegang tangan. Tapi terkadang kasihan juga. Sesekali aku biarkan
dia pegang-pegang tanganku."
"Pegang-pegang tangan kan haram, Ven?"
"He he...gak papa mas, kalau cuma sekali dan tak merembet kebagian tubuh lainnya."
"Jujur deh. Lepas dari halal haram pacaran. Kamu pernah gak dicium pacarmu?"
"Gak pernah mas."
"Beneran? Gak percaya aku, Ven"
"Iya. Bener!"
"Wallahi?
Demi Allah Ven, beneran gak pernah? Ini sumpah atas nama Allah, lo!
Jangan main-main. Hayo, jawab yang jujur? Gak jujur dosa."
"He he,,,nggak..nggak...Iya pernah sekali dicium. Itupun cuma sebentar kok!"
"Bagian mana yang dicium. Pipi atau bibir? Awas aku sumpah lagi kalau bohong?."
"Bibir."
"WKWKWKWK...!! Venti..Venti! Jelas itu gak masuk akal! Gak mungkin lah ciuaman bibir cuma sebentar."
"Suer nih. Mas! Seingatku paling cuma sedetik, gitu!"
"Hahahaha.....mana
ada ciuman bibir cuma sedetik? Itu tuh..lihat jarum di jam tembok itu,
ya? Perhatikan gerakan perdetiknya. Bayangkan seperti apa super
cepatnya ciuman bibirmu dalam waktu cuma sedetik!"
Sambil tertawa
terbahak-bahak, jam dinding itu aku pungut. Aku merekontruksi ulang
adegan ciuman bibir sedetiknya Venti. Seolah aku jadi cowoknya, dan
Venti jadi jam dindingnya.
"Hayoo, ngaku, Ven? Sedetik, dua
detik, tiga detik atau satu jam-an?" Aku mendesak Venti sambil memberi
contoh ciuman 1 detik dengan jam dinding ditanganku. Aku berulang
melakukannya membuat venti tersipu-sipu.
“Hihihi....Nggak, nggak mas..nggak sedetik.. Mungkin sekitar dua detik...Hahahaha..." Venti pun ikut tertawa lepas.
Dan kami berdua serentak terpingkal-pingkal karenanya.
Venti berjilbab hitam. Menempel pada PROF DR Teguh (kaos putih)
Aku
dan Venti bekerja dalam satu ruangan yang sama. Hari-demi hari kami
semakin akrab. Aku dianggap sebagai kakak sekaligus sahabat terbaiknya.
"Gini Ven. Aku kepingin kamu nggak doyan beli pakaian rombeng lagi. Dan uang gajimu perbulan tetap utuh."
“Hadoh! Emang sampean yang mau ngasih? Lha wong sampean sendiri pengurus partai paling kere.”
“Ini
serius, Ven. Coba kamu pikir. Sisa gaji bulananmu setelah dipangkas
tinggal 50 ribuan. Jelas itu jauh dari mencukupi. Sementara keahlianmu
dalam bidang administrasi dan komputerisasi sangat mengagumkan. Semua
pengurus partai sangat tergantung dengan keahlianmu. Itu tidak adil
dong! Paling tidak kamu harus dapat uang lebih dari mereka. Karena itu
mereka harus memikirkan kesulitanmu."
"Halah mas. Mana mungkin mereka mempedulikan aku. Lha, semua kan sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri, mas!"
"Bagaimana kalau Aku bantu agar mereka peduli padamu. Tapi aku butuh kerjasamamu"
"Kerja sama gimana, mas?"
"Kita harus pintar memancing dan mendorong uang lebih itu keluar dari mereka tanpa disadarinya"
"Caranya?"
"Mempolitiki orang-orang politik didalam partai politik."
"Misalnya?"
"Misalnya:
bersikap memuji-muji mereka, menawarkan bla-bla cara meraup suara
konstituen, pura-pura mendukung kepentingan salah satu caleg, memberi
harapan nomor urut caleg, kalau perlu aku siap menjadi pesuruh mereka
sekedar beli rokok, foto kopi, nganter surat, pesan makanan. Dan tak
kalah penting aku akan selalu gembar gembor kehebatanmu. Nah, kamu
menjadi supporter peran-peranku ini. Kamu bertugas mendorong tercipta
situasi agar mangsa kita mengeluarkan uang lebihnya. Dan akhirnya
uang-uang receh itu pun akan mengalir kepadamu. Gimana menurutmu?"
"Wow. Ide brilyan, mas! Aku setuju banget. Tos!"
Demikianlah hari demi hari aku dan venti mempolitiki orang-orang politik didalam partai politik.
Kerjasama
politik kecil-kecilan kami jalankan selama lima bulanan. Hasilnya luar
biasa. Sosok Venti menjadi ajang pamer kepudilan para petinggi partai.
Tak jarang tanpa diminta Venti sering dibelikan tas, baju, HP dan lain
yang diidamkannya selama ini. Uang gaji bulanan Venti tetap utuh. Konon
kata Venti sejak strategi kerjasama itu dijalankan penghasilan kotor
venti menembus sampai angka rata-rata satu jutaan setiap bulan.
"Dapat berapa uang lebih hari ini, Ven?"
"Dapat 39 ribu, mas. Ini sembilan ribu untuk kopi dan rokok sampean. Sampean kan butuhnya cuma kopi dan rokok?"
"Waduh. Kamu kok lebih banyak dapatnya Ven?"
"Anu, mas! Dikumpulin buat bayar SPP kuliah. Masih kurang 150 ribu, mas."
"Wow keren! Kamu sekarang jadi mahasiswa lagi, Ven?"
Enam
bulan venti bekerja sebagai admin partai, telah banyak perubahan yang
terjadi. Ia sudah tak konsumtif kecanduan beli pakaian bekas.
Penampilannya semakin oke. Mampu beli sepeda motor honda tua tahun
70-an harga 1 jutaan. Dan yang sangat membanggakan Venti mampu kuliah
lagi disebuah perguruan tinggi swasta yang termurah se-Jember.
Sebagai
sahabatnya aku turut tersenyum bangga melihat Venti tersenyum atas
perjuangannya berbuah manis. Sementara dalam waktu dekat aku sendiri
berancang-ancang merantau ke Bali.
"AKu mau curhat nih, mas." Pinta Venti dengan mimik wajah memelas. Seperti ada yang disembunyikannya.
"Curhat saja. Biasanya tanpa permisi kamu langsung nyerocos." Aku menanggapinya santai sambil membaca artikel koran Kompas.
Hening
"Tapi sampean gak boleh ngomong pada siapapun. Janji, ya?"
"Janji." Aku penasaran, rahasia apa yang disembunyikannya.
"Didada sebelahi, sini nih. Tumbuh benjolan kecil, Mas!"
"Hahaha.....kamu kok baru nyadar. Sejak kamu kecil benjolan itu kan, sudah ada Venti?"
"Gak lucu mas..serius nih, mas! Benjolannya disebelah atas payudara kiri. Disini, ini mas! Ada dua bulanan aku mengetahuinya."
"Ceritamu ini seriuskah?"
Agak lama Venti membisu.
"Iya. rasa sakitnya sudah sekitar dua mingguan. Kalau sedang kambuh terasa sangat nyeri sekali. Seperti ditusuk-tusuk jarum"
"Kenapa kamu diamkan. Periksakan cepat ke dokter."
"Nggak usah mas. Membayangkan saja aku gak berani. Ku takut benjolan itu kangker payudara."
"Makanya biar jelas. Kangker atau bukan harus dirontgen, kan?"
Dahi Venti mengkerut.
"Berapa
biaya rontgen, ya? Nggak ah. Percuma saja. Kalau pun itu kangker aku
gak akan mampu mengobatinya secara medis. Biarlah ini aku atasi dengan
pengobatan alternatif saja, mas."
"Aku konsultasikan pada pengurus partai,ya? siapa tahu mereka membantu."
"Jangan...jangan, mas. Sampean kan sudah janji gak akan bilang pada siapapun! Termasuk keluargaku."
"Kalau keluargamu, perlu dikasih tahu dong?"
"Jangan, Mas. Aku gak ingin mereka semakin terbebani hidupnya. Biarlah aku atasi sendiri dengan pengobatan alternatif."
Derita
yang dialaminya, membuat aku bertambah yakin bahwa nilai persahabatan
adalah seberapa jauh keterlibatan mendalam kita dalam ruang suka dan
duka.
"Ven! Ini aku belikan obat dari buah merah yang dikemas
dalam bentuk kapsul. Obat ini mampu menyembuhkan segala macam penyakit
berat, seperti kangker, tumor, dan lain-lain. Dengan obat ini
insyaallah sembuh."
Venti tersenyum gembira
"Beli dimana dan berapa harganya, mas?"
"Di
apotik Gajah Mada. Harganya 200 ribu. Obat satu botol ini dikonsumsi
untuk 1 bulan. Pagi satu, malam menjelang tidur satu. Dampak obat ini
bikin sekujur tubuhmu terasa ngilu semua. Jangan berhenti terus saja
minum obatnya. Itu berarti obat ini telah bekerja"
"Terima kasih, mas. Mahal sekali, ya? Sampean dapat uang darimana untuk beli obat ini. Ngutang, ya?"
"Kalau dapat ngutang, emang kenapa?"
"Biar aku yang ngelunasi nanti."
"Hehe bukan. Itu sisa uang honor tulisan yang diterima di Kompas Jawa Timur seminggu lalu."
“Gimana hasilnya Ven?”
“Sangat manjur mas. Nyeri nya sudah hilang sama sekali. Tapi benjolannya masih tetap ada”
“Konsumsi terus obat itu. Sampai benjolannya menjadi hilang. Kalau obatnya sudah habis. Kamu beli sendiri, ya?”
Seminggu kemudian aku berangkat ke Bali melanjutkan petualangan hidup (mengadu nasib) tanpa sepengetahuan Venti.
Satu tahun kemudian
Awal
tahun 2010 setelah setahun merantau di Bali aku pulang kembali ke
jember sampai sekarang. Selama satu tahun dijember saya tak aktif lagi
menjadi pengurus partai walaupun namaku masih tercatut sebagai
sekretaris I. Terhitung hanya lima kali aku menyempatkan diri
bertandang kerumah Venti.
“Kamu sakit apa lagi, Ven? Masih tetap yang itu, ya?”
Venti menggelengkan kepala.
“Kalau benjolannya masih tetap ada, mas. Tapi sekarang aku sakit paru-paru.” Kata Venti sok memastikan diagnosa penyakitnya.
“Kok yakin itu sakit paru-paru? Berarti kamu sudah periksakan kedokter, ya?”
Venti menduga ia
sakit paru-paru.
Berat badannya
menurun drastis
sepertinya Venti memang
sakit paru-paru.
“Bukan ke dokter. Tapi kata kyai pintar, mas!”
“Lho,
kok kata Kyai pintar? Memastikan penyakit paru-paru kan harus difoto
rontgen dulu, Ven? Bukannya diraba-raba pakai indera keenam, kan?”
“Terus,
kalau sudah tahu pasti foto rontgen nya? Biaya opname, biaya obatnya,
aku bayar pake apa, mas?” Venti berkata dengan tatapan mata yang kosong.
Agak lama kami berdua terbenam tanpa kata-kata.
Venti menundukkan kepala.
“Biarlah…” Ucapnya tersendat dan buliran air mata bening itupun meleleh.
“Aku
meyakini pengobatan alternatif yang kujalani ini, mas. Tentanggaku kena
kangker payudara, rumahnya yang sebelah sana itu, mas! habis sepuluh
juta ditangani dokter, ternyata, ia masih mati juga. Hidup dan mati itu
Allah yang nentuin, kan, mas! Terpenting aku telah berdo`a, telah
berupaya mengobati semampuku, selebihnya aku pasrahkan kepadaNya.”
Aku
tercenung mendengarnya. Venti benar. Andaikan ia tahu kepastian
penyakitnya dengan cara medis, lalu, mampukah dia membiayai perawatan
sampai pengobatannya? Sedangkan Venti sendiri tak mau penyakit yang
ditanggungnya membawa beban hidup bagi orang-orang yang disayangi.
Apalagi sampai meminta kepedulian dana kepada mereka yang setiap hari
hanya sibuk dengan kepentingan politik praktis, puih, Venti tentu
takkan melakukannya.
“Mbok kamu bilang pada pengurus partai, biar mereka yang mengatasi biayanya dirumah sakit!”
“Halah, mas. Sampean kayak gak tahu mereka saja.”
“Iya juga, sih.”
“Aku
lebih percaya sama kyai pintar itu, mas. Tebakannya benar semua.
Termasuk penyakit paruku ini. Aku heran dari mana dia tahu semua itu.
Padahal dia tak pernah kenal aku sebelumnya. Kemudian aku dikasih
ramu-ramuan. Dan sekarang agak lumayan hasilnya. …..”
Dan
seterusnya Venti lebih banyak berceloteh akan kehebatan kyai pintarnya.
Aku hanya angguk-angguk kepala mendukung jalan pengobatan
alternatifnya. Merangsang ia bercerita apa saja. Sesekali aku
membikin joke-joke segar supaya ia tertawa ngakak seperti dulu lagi.
Yah, Itu saja yang mampu kulakukan. Hanya itu yang bisa membuatnya
terhibur. “Semoga lekas sembuh, ya, Ven?”
Sejam kemudian aku pamit pulang.
Dua bulan yang lalu
Dunia
adalah kesunyian hidup yang terasing dilautan. Kita dipaksa pandai
merubah sedih jadi tawa. Dengan tawa dunia tidak ringkih oleh deritanya
yang purba. Dengan tawa hidup senyatanya sandiwara yang purba belaka.
Pada tanggal 1 Februari 2011, di dunia Facebook saat aku menuliskan status, aku mendapat kabar sakitnya Venti.
Lantaran
Anna Ritana tak kunjung membalas komentarku. Sontak aku bergegas
meluncur ke rumah Venti. Dugaanku bahwa keadaan Venti sudah parah. Bila
masih kuat berjalan, biarpun sakit, biasanya Venti masih memaksakan
diri bekerja.
Sesampai dirumah Venti. Begitu aku dipersilahkan masuk oleh ibunya, aku nyelonong tak sabar ingin tahu keadaannya.
Ya..Ampun!
Sahabatku
gadis miskin yang penuh semangat juang itu, kini terkapar tak berdaya.
Tubuhnya terbaring lemah diselimuti kebaya. Tatap matanya sayu.
Pergelangan tangan dan wajahnya menampakkan tonjolan tulang belulang.
Tak tahan rasanya, tak sabar ingin lekas membawanya kerumah sakit. Saat
itu juga.
Aku dipersilahkan duduk oleh orang tuanya. Dilantai
beralas karpet, didekat pintu kamarnya, aku duduk bersandar ditemani
ayah dan ibunya. Hatiku tersuruk oleh rasa iba yang mendalam.
“Venti, ini Ven! Sahabatmu sudah datang, Ven.” Seru Ibu Venti memecahkan suasana.
“Hai,
mas. Dengan siapa sampean kesini?” Sapa Venti. Ia tersenyum menyambut
kehadiranku. Sebuah senyum tegar yang melampaui kuasa penyakitnya.
“ :) ”Aku hanya bisa mengangguk tersenyum. Lidahku tak kuasa menjawab tegur sapanya.
“Mas, sampean tahu dari siapa?” Tanya Venti. Suaranya terdengar lirih.
“Dari Bu Anna Ritana.”
Hening.
“ Oh, ya. Para pengurus partai siapa saja yang sudah menjengukmu kesini, Ven?”
“
.. :) ..Belum ada, mas,.. :) .. ” jawab Venti dengan tersenyum
ikhlas. Senyumnya masih terliaht manis walau itu sisa-sisa dua tahun
yang lalu.
“Ven, aku mau telpon Pak Masrur, ya?”
Venti menggeleng lemah
“Aku
mau telpon, biar dia kesini sekarang. Dan membawamu dirawat dirumah
sakit. Ku yakin dia pasti mau menanggung biayanya. Tak mungkin dia
menolak bila melihat kondisimu sekarang.”
“Venti sudah dirawat kami dengan baik, mas.” Kata ayah Venti Menyela.
“Mas
Saiful, sekarang keadaan Venti jauh lebih baik daripada empat hari
lalu. Sekarang sudah mendingan. Sudah kuat dipapah ke kamar mandi.
Tangannya sudah bisa digerak-gerakkan. Bisa berbaring kekanan-kekiri.
Makan sudah tidak muntah lagi. Sudah bisa tidur nyenyak. Ya itu karena
ditelateni menggunakan obat ramu-ramuan dari kyai pintar itu.” Kata Ibu
Venti menimpali.
“Iya, mas. Sampean nggak usah terlalu khawati.
Berkat ramuan itu, sekarang sesak nafasku sudah hilang. Tinggal asupan
gizinya masih kurang. Kalau kemarin-kemarin aku tidak bisa kentut, mas.
Tapi sekarang…..(..Brott!!..)” Venti berkata dan mengeluarkan kentutnya.
Terdengar suara kentut Venti, ibunya tertawa. Lalu disambut tawaVenti yang lemah.
Aku
tidak ikutan tertawa. Bagiku itu bukan lelucon. Tetapi sebagai upaya
Venti meyakinkanku agar aku mengurungkan niat meminta bantuan orang
lain untuk membawanya kerumah sakit.
“Nah, ini mas.
Ramu-ramuanya. Ini semua terdiri 17 macam tumbuhan.” Ucap ayah Venti
yang baru keluar dari dapur, dan menunjukkan ramuan-ramuan itu
kehadapanku.
“ Ada lima jenis tumbuhan yang sulit dicari. Kyai
pintar itu sendiri yang mencarikannya. Ini diiris-iris sampai lembut,
mas. Kemudian direbus. Lalu diminum rutin. Alhamdulillah. Venti sudah
lumayan sembuh sekarang. Awalnya banyak yang menyepelekan, mas. Tapi
saya yakin saja. Sambil tak henti-hentinya berdo’a. Setiap mengiris
sampai meminumkannya, saya barengi dengan melafalkan bacaan-bacaan dari
kyai pintar itu.” Kata Ayah Venti, beliau sangat yakin sekali kalau
ramuan-ramuan yang diris-irisnya akan mampu menjadikan Venti sembuh
total.
Kekhawatiranku mereda. Niat meminta bantuan pengurus
partai agar Venti dirawat dirumah sakit menjadi kendor. Terngiang oleh
ucapan Venti dan kedua orang tuanya, bahwa, ia sudah lumayan sembuh
oleh ramuan obat kyai pintar itu.
Pikiranku menerawang, bisa jadi
mereka itu benar. Bukankah si dokter, si Kyai, si Dukun, dan lain-lain
itu hanyalah perantara dari berbagai macam cara tangan tuhan dalam
menyembuhkan penyakit hambanya? Siapa tahu dari ke 17 macam tumbuhan
itu, setelah diris-iris dan direbus, memang mengandung obat ampuh
penyembug penyakit berat Venti.
Entahlah. Aku hanya bisa
berharap-melihat bapak-ibu Venti yang penuh kasih sayang merawatnya-
semoga jerih payah, doa-doa, dan kesabaran orang tuanya membuahkan
hasil bagi kesembuhan Venti.
Pada tanggal 9 Februari 2011 aku dapat pesan dari Anna Ritana
Innalilahi Wainna ilaihi roji`un!!
Linglung mendapat informasi Venti talah meninggal dunia. DItengah jalan aku mengurungkan diri pergi melayat kerumah duka.
Sahabat, aku memang terlalu pengecut menumpahkan air mata dihadapan mereka. Aku terlalu lemah untuk tidak menangisi kepergianmu.
Adalah
tak elok mengusik damai peristirahatan terakhirmu dengan rasa muakku
yang teramat sangat: “Muak kepada pengurus partai, muak kepada
tetanggamu, muak pada orang tuamu, muak kepada kyai pintarmu, muak
kepada diriku lelaki tak berdaya. Muak kepada dokter, dan muak kepada
Negara yang tak becus melindungi kehidupan rakyat miskin.”
Andai
aku punya cukup uang, tentu engkau akan nurut bila kubawa kedokter.
Andaikan engkau bukan gadis miskin, tentu engaku tidak akan percaya
pada Kyai pintar itu. Seandainya engkau anak orang kaya tentu engkau
takkan merahasiakan penyakitnya. Andai lingkungan tetangga dan tempat
kerjamu tidak mati kepedulian sosialnya, tentu, engkau tak malu
meminta bantuan dana pengobatannya. Andaikan biaya berobat kedokter itu
tak mahal, tentu engkau…? Seandainya negara ini menanggung biaya
berobat warga miskin ke dokter sampai sembuh, tentu…..?