7 Okt 2011

Problem Akut Kesejarahan Jember (2)


Dominasi wacana sejarah Kabupaten Jember yang bersumber pada sejarah tertulis dan dampaknya pada kategorisasi kebudayaan Pandhalungan di Jember Tengah yang kemudian ditarik sebagai representasi sejarah dan identitas kebudayaan Jember, menurut hemat saya, merupakan penjelasan sejarah dan budaya yang terburu-buru, terkesan obsesif dan imajiner untuk menemukan Jember sebagai wilayah yang historis, khas, unik, dan otentik. Karena sejarah lesan rakyat sebagai sumber data Primer tidak dilibatkan didalamnya. Prosesi penarasian sejarah dimulai dari jember Utara yang bersumber pada naskah-naskah dokumentasi kolonial belanda (data primer), dengan tanpa melibatkan sejarah yang berkembang wilayah Jember lainnya yang bertumpu pada kekuatan tradisi lisan rakyat, maka, menyebabkan hilangnya pembabakan sejarah rakyat Jember sebelum zaman berkembangannya industrialisasi perkebunan, sebelum tahun 1800-an.

Padahal, narasi sejarah jember lainnya mengungkap, bahwa tahun 1771 telah terjadi perlawanan rakyat jember pada V.O.C Belanda yang dikoordinir oleh Sayu Wiwit dengan gemilang menghancurkan pos Belanda di jember (babat bayu, 1773 dalam Hasan Basri: Tanpa tahun), namun para sejarawan jember enggan menelusurinya karena terbatasnya sumber tertulis yang bisa menjelaskannya. Mengenai Sayu Wiwit Pemkab banyuwangi mengusulkan menjadi pahlawan nasional. Disini, jika telah terjadi pertempuran di Jember pada tahun 1771, lepas dari ketokohan Sayu Wiwit sebagai orang blambangan yang masuk dalam batas geografis Banyuwangi atau kekalahan V.O.C Belanda disatu sisi, bukankah ini pertanda bahwa telah ada pribumisasi rakyat Jember sebelum era migarasi besar-besar akibat industri perkebunan di Jember?

Sejarah lisan rakyat Jember yang membisu di ruang publik, lokusnya dominan berada di jember selatan. Ini bisa dimaklumi karena sejarah jember yang sudah banyak beraksi dipanggung publik alirannya dari jember utara sedang di Jember selatan kurang terapresitif karena minimnya sumber tertulis untuk menjelaskan fenomena sejarahmasa lampaunya. Sedang data-data untuk menjelaskan fenomena sejarah di Jember selatan lebih banyak berasal dari cerita rakyat, dari mulut kemulut, dan seringkali terendap diruang alam bawah sadar. Cerita Sogol di ambulu, Mbah budeng di balung, Pangeran puger di puger, candi deres di gumukas, situs taman bekas kerajaan majapahit ditaman sari, dan lain lain yang masih banyak terpendam di Jember selatan, merupakan tantangan pada diskursus sejarah jember untuk lebih apresiatif dan serius mengadirkan sejarah jember sebenarnya secara utuh pada khlayak luas.

Fakta lainnya, jika diarahkan demi memperkaya historisitas Jember, yakni kontrakdiksi nama-nama desa yang memakai nama Jawa -mayoritas dikabupaten Jember- namun etnis penduduk yang berdiam didalamnya mayoritas ber etnis madura, terutama terjadi di Jember Timur dan Jember barat. Misalnya Nama-nama desa: Pakusari, Mayang Sari, Sumbersari, Bangsal Sari, Gambirono, yang kesemuanya mayoritas penduduknya ber etnis Madura. Tentu hal semacam ini tak bisa diindahkan begitu saja untuk masuk menelusuri lapisan sejarah Jember lebih dalam lagi. Kemungkinan telah terjadi prosesi perubahan sejarah yang besar prakolonialisme yang telah kita alpakan disini. Bisa jadi, disamping untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja dalam skala besar, sekaligus hidden agenda politik belanda untuk menggusur pribumisai etnis Jawa yang telah lama mendiami wilayah Jember.

Oleh karenanya sangat penting menggali sejarah jember yang masih belum terkuak, dimana data-datanya masih berserakan dialam bawah sadar rakyat Jember. Penggalian dan pengumpulan data sejarah rakyat hanya bisa kita kerjakan dan kita dapatkan dari sejarah lisan mereka. Sejarah Jember yang sudah ternarasikan melalui sumber-sumber tertulis akan lebih mendekati pada kebenaran dan lebh indah dipermukaan, apabila tidak vis-avis dengan sejarah lisan rakyat tetapi saling berkorelasi, dan tidak lagi berposisi mensubordinasi atau menegasi.

Penelitian lisan tidak digali dengan ’kepala kosong’. Segalanya disiapkan dalam kerangka yang matang. Dengan demikian, informan tidak akan bicara tanpa makna, tetapi diarahkan pada kebutuhan peneliti. Pembicaraan bersifat lentur karena mendekatkan pada proses. Namun demikian, peneliti tetap menjadi pengendali.

Demikian juga pada pendekatan kultur, kemampuan peneliti ditantang. Pendekatan ini memungkinkan terciptanya dialog yang alami. Informan tidak merasa diinterogasi, tetapi diajak untuk berkelana mengarungi pulau masa lalu. Pelan tapi pasti, segala persitiwa yang ingin dibidik peneliti, akan terlontar dari informan. Pernyataan secara alami itulah, yang akan menjadi data baru yang unik, pure, dan berbeda dari penuturan dokumen.

Dalam sejarah lisan, peneliti memang harus membatasi hubungan dengan dokumen. Apabila terjadi, ia hanya akan menjadi penutur sejarah terburuk. Artinya, hanya mengulang penjelasan yang sudah ada. Penelitian lisan berusaha menghasilkan data yang berbeda, dengan mendekatkan pada fungsi evaluasi dan refleksi dokumen.

Fungsi tersebut, memungkinkan sejarawan berdialog secara psikologis dengan data. Proses ini akan memunculkan ’empati historis’. Sifat ini perlu ditumbuhkan dalam jiwa sejarawan, untuk membangun logika analisa fakta. Empati bukanlah sebuah ’dosa’, tapi justru cara membuat historiografi menjadi lebih manusiawi.

Sejarah bukan icon kaku tanpa ekspresi. Pergulatan manusia dalam melawan nasib adalah kerja manusiawi yang sarat pergolakan batin dan jiwa. Situasi ini akan hidup jika muncul muatan psikologis. Data lisan memungkinkan kerja-kerja psikologis untuk menghidupkan fakta, tanpa mengurangi validitas dan kredibilitasnya. Kekuatan data dapat menunjukan mentalitas informan dalam menghadapi situasi zaman. Secara kolektif akan memunculkan genre baru: sejarah mentalitas.

Sebagai akhiran, pernyataan pujangga dan sejarawan Belanda, Willem Bilderijk, pantas untuk direnungkan. Setiap kejadian memang timbul-tenggelam, tapi tidak berarti diam. Ia mengandung makna yang aktif—menyajikan pelajaran hidup yang kemudian diterjemahkan dengan nama: hikmah. Apalagi dalam kacamata historis, kejadian itu bersifat tridimensi—past, present, and future. “Apa yang timbul, dan apa yang tenggelam, Tidak tercerai-berai, melainkan berkesinambungan, Hari kemarin memangku hari sekarang. Dan hari sekarang menumbuhkan hari depan!”(Willem Bilderijk)

Baca Tulisan Terkait



0 komentar:

Posting Komentar

Salam Santri Kenthir.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More