Ungkapan cintaku Lebih Kerbis dari Simbol Taj Mahal

Subtansi pengungkapan cinta terpendamnya Santri kenthir pada gadis pujaannya, itu sama halnya kisah cinta tulusnya Shah Jehan pada isterinya Mumtaz ul Zamani.

Awas! Saat Kaum Gay Bergentayangan Di Facebook Ku

Tulisan ini sekedar berbagi pengalaman unik selama berjejaring di facebook. Bukan untuk menghukumi minoritas kaum Gay.

23 Okt 2011

CintaKU Bersemi Diantara Ketegangan Kelamin Sosial

Saran sebelum membaca:
Aku tak peduli catatan ini sangat panjang, jika tak berkenan tak usah membacanya!!!!!!!
Yang tidak senang kebijaksanaa hidup, tolong tulisan ini jangan dibaca!!!!!!!
Yang sukanya hitam putih memandang persoalan hidup jangan dibaca kelanjutan ceritanya!!!!!!!
Pada waktu itu, keinginan memutuskan segera mengungkapkan kata, “aku cinta kamu Ning!” tak pernah padam, walaupun berulang kali gagal diungkapkan. Terkadang di lain waktu aku menyerah membiarkan diri larut dalam perang batin, ataupun menjadikan diri sekedar sebagai suguhan rasa memiliki yang tak perlu mengungkap dengan kata-kata. Mencukupkan kehadiran cinta tanpa harus memiliki Si-empunya dalam arti kongkrit, persis seperti yang diimajinasikan oleh Rei dalam bait-bait puisinya: “……cinta kadang adalah malu...karena malu itu adalah kejujuran..agh...cinta buknlah hawa ataupun nafsu untuk dicumbu... karena merayu tak ujung untuk bersatu...Dst"
Apalah artinya aku. Aku ini hanyalah wayang Allah yang juga harus tunduk pada hukum hukum perubahanNya. Mahluk lemah yang takkan mampu melampui setiap takdir-takdir Nya. Aku ini hanyalah lautan yang hanya bisa menerima semua apa saja yang datang. Aku ini hanya menjadi bumi yang akan mendapatkan senyuman saat ia telah menumbuhkan apa saja yang ditanam. Hanyalah menjadi sebongkah karang yang harus terus bersabar menerima setiap ombak yang menghantam.
Cinta tetaplah sakral walaupun seringkali ia terjebak dalam ruang-ruang ritual dan profan. Setiap jengkal proses cinta yang mengalir dalam jiwaku adalah merupakan peristiwa-peristiwa monumental; Ia merupakan proses pengembangan jati diriku, proses pembentukan pemikiran, proses diri dalam identitas sosial, dan seterusnya.
Keputusan mengungkapkan; “aku cinta kamu, Ning!”, mungkin bagi yang lain itu soal remeh-temeh. Namun bagiku, terkait dengan banyak hal dan merupakan perayaan rutual kehidupan yang sarat makna teramat dalam: “Ia berkait dengan ketuhanan, rasa bakti pada orang tua, aklamasi status sosial, pertaruhan harga diri, kebijaksanaan hidup, sertifikasi rasa sayang, dan sebagainya”.
“Aduh Ipul kamu kok memperumit? Pakai dikait-kan dengan orang tua, nilai ketuhanan, pertaruhan harga diri dan tetek bengek lainnya! Kok mengolor-ngolor waktu hingga jadi rumit gitu,...”
Bagiku itu bukan urusan sepele dan merumitkan. Kalau itu sepele, kenapa tidak jauh sebelumnya sewaktu tiga bulanan berjalan menjalin hubungan, langsung saja tembak dia, kalau tembakannya gak mengenai sasaran, pakai jurus senjata berikutnya..: “lari dengan langkah seribu..!”.
Bukanlah tidak berkait dengan banyak hal mengatakan, “aku cinta kamu, Ning!”. Banyak keterkaitannya. Jika tidak mau mengakui ini, maka, sama saja dengan menutup mata atas prosesi ritual perkawinan yang terjadi dimasyarakat: “Kalau kawin cuma untuk memenuhi kebutuhan biologis, kalau hanya untuk tujuan mempunyai anak; ngapain harus melewati prosesi ritual perkawinan yang sakral , yang ribet, dan menghabiskan banyak energi material? Kenapa tidak dimasukkan saja masing-masing pasangan kedalam kamar, dan suruh mereka bersebadan,. Beres kan?! Tapi itu adalah cara-cara khewani bukan manusiawi! Itu bukan cara-cara manusia beradab. Itu hanyalah percumbuan antar daging dengan daging. Bukan jiwa-jiwa yang sedang bercumbu dalam mengatasi keterasingannya”
Ritual pesta pernikahan bertali temali dengan proses ketegangan-ketegangan sosial yang terjadi pada masyarakat. Jika berhasil melewati proses ketegangan-ketegangan sosial yang bertali temali dan merajuti banyak makna, maka bentuk perayaannya, bisa berupa pesta perkawinan. Atau kalau dalam skala nasional, bisa berupa bendera merah putih, lambang burung garuda, UUD !945, Pancasila dan sebagainya. Namun bagi mereka yang terburu-buru dan tak berhasil melewati ketegangan dengan indah, maka penyesalan teramat dalam akan datang dikemudian hari; “bisa hamil sebelum nikah, perceraian, KDRT, dan seterusnya. Atau bila diluaskan lagi, bisa berupa tragedi kemanusiaan 65, kasus Semanggi, bom bali 1, 2, kasus penggusuran makam Mbah Priok, dan sebagainya”.
Jadi ruang cinta yang kurasakan merupakan arena ketegangan-ketegangan antara ingin memilikinya dengan cinta tidak harus memilikinya. Antara cukup merasa memiliki dengan keinginan mengikatnya dalam status ikatan. Antara berkonsentrasi pada cita-cita dengan keasikan dalam cinta. Kontradiksi-kontradiski antara iya dan tidak, antara harus dan tidak harus, dan seterusnya, dan seterusnya.
Mengungkapkan cinta dengan kata-kata adalah merupakan pesta ritual cinta, setelah melewati ketegangan demi ketegangan dan kontradiksi demi kontradiksi yang terendap dalam kegelisahan jiwa.
Memang iya, juntrung-juntrungnya mencintai seseorang pasti untuk memilikinya. Tapi tidak serta merta sewenang-wenang menindas paham penentangnya yang bersemayam dan bersemi dalam diri, “Cinta itu tak harus memiliki!”.
Memang iya, aku mencintaiya cukuplah memberi tanpa mengharap. Cukuplah merasa memiliki tanpa mengikat. Tapi tidak serta merta sepihak membumi-hanguskan; hasrat-hasratku untuk memilikinya, kebutuhan-kebutuhanku mengikatnya dalam ikatan status, keinginan alamiahku bermesraan, dan lain sebagainya.
Satu sisi mencintainya adalah, menyayangi dengan tulus. Tidak memaksakan kehendak diri. Menjaganya sepenuh hati. Selalu ingin membahagiakan. Tidak menyakiti, bahkan tidak boleh sedikitpun membuatnya merasa terderitakan. Namun sisi yang lain mencintainya adalah, merupakan dorongan kebutuhan batinku untuk; diakui sebagai pacarnya, membelainya, bergandengan tangan, berciuman, berbicara tentang masa depan bersama, dan seterusnya dan seterusnya.
Diantara ketegangan yang terjadi dalam diriku, tubuhku, hanyalah media jiwa-jiwa yang bersitegang. Sedang jiwa-jiwa itu hanyalah wadah dari keinginan-keinginan yang saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Bagai aliran air, jiwaku mengalirkan jiwa-jiwa bersitegang. Terus mengalir, dan mengalir, dan bertemu dengan mata air baru, dan terus mengalirkannya menuju muara, sampai muara itu menyatukannya kedalam ketenangan abadi.
Diantara Ketegangan Jiwa
Ketika keinginan menambatkan rasa harus memiliki, dan selekasnya mengakhiri cinta tanpa memiliki, dan mengungkapkan tanpa memikirkan resikonya, seketika itu pula, perasaan ketidaktegaan muncul menginterupsi dan menghadang setiap keinginan memilikinya.. Ketidaktegaanku adalah, pertama tidak tega pada diriku sendiri, kedua, tidak tega pada diri Nining.
Ketidaktegaan pada diriku sendiri karena pasti aku akan sakit hati jika Nining menolaknya. Resiko sakit hati pasti berdampak besar. Harga diri jadi taruhannya. Penyakit keminderan yang sudah sembuh menjadi ke PD an pasti akan kambuh lagi. Bahkan mungkin akan lebih parah. Bisa jadi, aku menjadi berhenti kuliah. Rasa sakit yang teramat parah pasti penyembuhannya membutuhkan waktu yang cukup lama. Nilai-nilai pengetahuan idealisku yang sudah mulai terbentuk, pasti akan hancur dan berserakan keruang-ruang gelap keputusasaan.
Ketidak-tegaan yang kedua, aku tak ingin membuat Nining menjadi bingung, terdilematiskan, tersudutkan dengan pilihan, tersentak harus menerima atau menolaknya. Jika aku memaksakan keinginan itu pada Nining, maka, aku adalah seorang ironis, naïf, memalukan, dan sangat egois. Kaidah-kaidah cintaku hanyalah omong kosong belaka: “Seharusnya mencintai Nining adalah menjadikan ia terus bahagia. Mencintainya adalah memberi bukan menuntut. Mencintainya adalah api membara tanpa pengharapan terbalas. Bukan malah sebaliknya. Hanya menjadikan Nining menderita dan terbebani”.
Andai cinta yang kuungkapkan pun diterima oleh Nining, aku amat kasihan padanya. Aku takkanlah mampu membanggakannya. Tidakkah aku sebagai pacarnya harus bertanggung jawab secara material? Cukupkah uangku untuk biaya pacaran? Apakah aku punya fasilitas penunjang untuk penguatan status sebagai, “pacar Nining”!? Bagaimana dengan perasaan keluarganya bila mereka tahu anak gadisnya yang jelita hanya dapat pemuda kere? Tidakkah aku telah berlaku kejam dengan manjadikan posisinya dilematis?
Tapi semua itu cuma bullshit!!!!,…… sontoloyo!!!!!!!, ………..semua omong kosong diatas… cuma…………. prett!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
“Ipul..!!! Kamu ini sedang hidup dijaman yang sudah serba modern. Bukan pada jaman siti nurbaya lagi, man! Dulu hidup hanya terbatas pada pertanian, tapi sekarang dengan kemampuan otakmu dan lobi-lobi politikmu ditingkat lokal, kamu bisa membahagiakan Nining”. Hidup segalanya harus serba realistis. Cintapun harus pula realistis. Jangan sok pujangga. Cerita cinta mereka itu hanya ada di novel-novel. Bukan dalam alam kenyataan masyarakat. Kenyataan cinta realistis adalah cinta itu memiliki; “Memiliki tubuhnya, memiliki jiwanya dalam bentuk kongkrit”. Hubungan yang wajar (realistis) adalah hubungan dalam bentuk pacaran. Bukan dakik-dakik melangit tapi lupa membumi. Asmara yang normal adalah asmara yang saling berbelai, memadu kasih, berciuman nyata, bukan cuma di fantasi!
Sudah dua minggu aku menghindarnya. Walau sangat merindu, tapi kegelisahan demi kegelisahan yang bertumpang tindih membuatku masih enggan bertemu. Di kampus tanpa sepengetahuannya aku melihat papan pengumuman nilai kuliah. Kulihat satu persatu nilai mata kuliah yang sudah kutempuh banyak yang tak lulus. Kegelisahanku semakin bertambah, nilai mata kuliahku, “jeblok, blok!!”
Sore hari setelah setengah harian mengasingkan diri di keramaian terminal Tawang Alun Jember, aku pulang kerumah. Sesampai dirumah aku hanya bertemu kakak perempuanku. Saat aku datang biasanya ibuku selalu menyambut dengan senyum disertai kata-kata khas perempuan setengah baya pekerja keras desa. Sementara bapakku yang biasanya sore hari begini, berada dikandang sebelah memberi makan kedua sapinya. Hanya kulihat sekilas kakak perempuanku sedang menyusui anak ketiganya didapur. Aku suntuk banget. Buru-buru masuk kamar, menelungkupkan kepala dibawah bantal, berharap semua kegelisahan itu akan sirna dalam tidur lelap.
Terdengar suara langkah kaki kakakku menghampiri, mendekatiku, dan beridiri disamping pintu. Ia menyampaikan berita, bahwa bapak ibu sudah pergi ke Bali tanpa sempat menungguku pulang dari kampus. Katanya mereka ikut rombongan proyek pembangunan hotel dibali. Bapak menjadi kulinya, sedang ibukku berjualan nasi pecel disekitar lokasi. “Pesenne bapak awakmu dikongkon cuti sak semester. Ngenteni proyek`e mari. Biaya cutine kon golek dewe. Awakmu dikongkon ajar kerjo dodol krupuk melok mas. Mangkane tah leren maen iku!”, kata kakakku berlalu sambil ngomel menuju dapur. Seperti tersekat, aku hanya diam terpaku. Cuti satu semester? Berjualan kerupuk keliling? Berarti setengah tahun kedepan aku tak bisa lagi bersama Nining dikampus!.
Sementara didapur, kakakku terus mengomeli tentang perilakuku yang dinilai jelek masyarakat. Gara-garanya aku sering bermain judi diwarung Mbak Lis. Aku tak meresponnya. Aku tetap terbenam dalam rasa penyesalan-penyesalan pada bapak-ibu selama ini. Suara-suara omelan kakakku sudah tak terdengar, keadaan pun menjadi sunyi. Kamar pengap ini terasa seperti melemparku keruang penjara bawah tanah. Menyudutkanku kedalam dimensi-dimensi ketakutan, kegelisahan, rasa sesal, keputusasaan dan berbaur dengan keinginan untuk marah semarahnya.
Seperti pesakitan lunglai, aku terus terhujami suara-suara ketakutan, kegelisahan, rasa sesal, dan keputusasaan: “…………………..!!!!. .. …. ………………….…………… Nilai kuliah jeblok…………!!!! Masyarakat mencemooh sebagai mahasiswa tukang judi!!!! Orang tuaku merasa gagal mendidik…!!........Ditinggalkan orang tua………Disuruh cuti satu semester…..!!!!! Aku anak durhaka..!!......Aku benci cinta terpendamku,~~~~~~~!!!!!!! ".
Ya… akulah anak durhaka itu.. !! Orang tua mati-matian kerja bermandi keringat, kepala dibuat kaki, hanya demi aku agar selesai kuliah tepat waktu. Mereka melakukan semuanya dengan susah payah agar kelak aku tidak sengsara. Tapi apa balasannya untuk mereka? Aku hanya mempermalukan mereka dimata masyarakat..!!!!. Mulai dari bayi mereka membesarkan dengan kasih sayang dan perhatian sampai tumbuh menjadi dewasa. Tapi, aku tak tahu berterima kasih!!!!!!! Keberadaanku selalu menyusahkan mereka!!!!!!!!!.
Cinta orang tua pada anak dimanapunn, dan kapanpun, tak bisa dipertukarkan dengan cinta seorang kekasih. Kenyataannya, aku menukarkanya!!!. Gara-gara kebiasan lari dari kenyataan cinta sepihak, akhirnya aku terjerumus di meja judi. Akhirnya uang-uang SPP ku ludes dimeja judi!!!!!. Gara terjerumus dalam api asmara, kewajiban-kewajiban kuliah ku abaikan. Kuliahku jadi hancur!!!!!!!!!.
Karenanya, aku harus mengakhiri……….!!!. Harus berani memilih berkonsentrasi kembali pada kuliah….!!!!!!. Apun caranya walau sambil berjualan kerupuk keliling!!. Aku harus secepatnya mengungkap kata cinta pada Nining. Lebih cepat lebih baik Soal diterima atau nggak itu urusannya. Sukur bila ditolaknya. Aku harus cepat melupakannya.Apapun akibat pada dia, baik diterima atau ditolak, itu urusannya…!!!!!!!.
Cinta pada orang tua harus diutamakan. Pengabdian hidup pada orang tua harus jadi nomer satu. Cinta pada perempuan itu nomer sekian. Aku harus kembali rajin kuliah dan mengejar katertinggalan dan bekerja sendiri mencari biayanya. Bulatkan tekad jangan pedulikan apapun!!. Toh, aku sudah banyak memberikan hati, pikiran dan waktu buatnya!!!!. Aku harus tega memilih cita-cita daripada cinta!!!!!!!!!. Aku harus menjadi anak yang membanggakan orang tua!!!!!!!!!!!!!!!!!.
Di malam yang lain dan malam-malam berikutnya, aku terus menerus disuguhi ketegangan perasaan diri yang sedang berkecamuk. Walau begitu berat melewatinya, tak terasa sudah sebulan aku tak berjumpa dengannya. Rindu ini teramat dalam padanya.
Diantara ketegangan yang saling berlawanan menghentak-hentak jiwaku, sebuah kesadaran yang teramat halus menghembus ke ruang arena ketegangan jiwa ku. Kesadaran itu menghembuskan ingatan makna-makna positif selama menjalin cinta terpendam dengannya.
Bagaimanapun ia telah mengajarkanku banyak hal. Tiga tahun bukan lah waktu yang teramat singkat. Walau cinta yang terjalin adalah cinta tanpa ungkapan kata-kata. Walau kami menjalaninya penuh malu-malu dalam teka-teki cinta yang terpendam. Walaupun dalam pelarianku terjebak dalam perjudian, tapi banyak pula pengetahuan yang kudapat karenanya. Selama itu pula ia telah banyak memberikan inpirasi kehidupan yang lebih dalam dan lebih luas.
Karenanya aku bahagia. Karenanya hidupku terasa indah. Karenanya aku merasa berarti. Karenanya aku merasa PD. Karenanya aku banyak tahu hal. Walau terkadang, karenanya, sebagai laki-laki aku menangis mengadukan misterinya kehadapan tuhan…….!!!!!!!!!.
Harusnya aku mensukuri dan teramat berterima kasih padanya. Aku kere……! Dia cinderella ….! Tidakkah dia telah meninggalkan gaya hidupnya, telah menjadi gadis sederhana, demi menyesuaikan diri dengan penampilanku yang ala kadarnya ini..????. Dia itu telah begitu baik padaku. Mungkinkah aku harus mengahiri dengannya, dikarenakan posisiku sedang terjepit? Sudah benarkah, kebulatan tekad menyatakan cinta selekasnya tanpa mau tahu resiko yang akan menimpa padanya?
Semua ketegangan-demi ketegangan, seperti apa yang telah diramal oleh eksistensialisnya Sartre, maka, diriku seperti berada ditengah-tengah sahara gurun pasir yang teramat luas dengan panas menyengat. Dalam keadaan lapar dan haus tak ada yang bisa kulakukan selain berharap pertolongan itu datang. Setiap fatamorgana yang terlihat aku selalu mengiranya sebagai air kehidupan yang akan menolong rasa hausku. Aku tergelepar tak berdaya diatas pasir yang panasnya begitu menyengat. Aku pasrah, semoga keajaiban tuhan itu cepat datang. Aku hanya bisa berteriak dalam keterasinganku, “Ya, Allah!! Hamba!! Mohon pertolonganmu………..!!” Hanya kepada tuhan aku meminta pertolongan. Hanya kepadaNya meminta pengampunan. Hanya kepada Allah aku meminta keselamatan hidup ditengah gurun pasir yang gersang dan tandus ini.
Keadaan jiwaku tergelepar tak berdaya di gurun pasir gersang nan tandus, semua itu, menghantarkan selama tiga hari tiga malam aku berpuasa tanpa makan nasi. Aku mengurung diri didalam kamar. Bila magrib aku hanya makan sebuah pisang dan segelas air putih. Kakak perempuanku khawatir. Ia menyuguhkan bubur ayam. Aku meyakinkannya agar tak perlu mengkhawatirkan. Aku terus menenggelamkan diri dalam “Sungai Asma`ulhusna”. Beribu mohon ampun tangan ditengadahkan. mengharap mendapat jalan keluar dari ketegangan ketegangan yang sedang kuhadapi.
Dimalam ketiga, disaat orang-orang terlelap dalam mimpi indahnya, muara-muara ketenangann itu seperti sedang merengkuh jiwaku. Ketegangan ketegangan itu pun menyatukan diri dalam muara sungai ketenangan. Akupun mampu mendamaikan aliran-aliran ketegangan jiwa itu menjadi sebuah rasa damai. Keajaiban itu telah menghampiriku, menuntunku, menyusun sebuah pesta ritual cinta untuk diberikan pada sang kekasih. Seperti mendapat bisikan ilahi, aku diperkenankan menyampaikan rasa cinta terpendam dalam ungkapan kata pada Nining.
Ungkapan cinta itu bukan untuk menuntutnya menjadi pacar. Ungkapan cinta dengan kata-kata adalah ritual perayaan pelepasan dari ketertindasan. Aku hanya mengungkapkan. Tidak boleh menuntut dan berharap. Aku hanya bertugas melaksanakan ritual kata cinta, sedang hasil atau akibat dari itu adalah urusan Allah. Mengungkap cinta terpendam dengan ritual kata cinta bukanlah untuk sebuah pengharapan. Ia hanya sebagai jalan keluar melampaui keadaan-keadaan yang saling bersitegang dalam diriku. Ungkapan kata cinta bukan untuk memilikinya. Ungakapan kata cinta bukan untuk memfinalkan keadaan cinta. Bukan untuk memastikan keadaan masa depan. Seperti halnya pernikahan yang belum pasti berjodohan. Mengungkap kata cinta bukan untuk menghancurkannya, menyakitinya, dan sebagainya. “Khoirihi wasarrihi minaallahi ta`ala……! baik dan buruknya dari pengungkapan kata cinta Allah yang menentukan hasilnya.”. Segalanya hanya dihaturkan kehadapan ridho Allah.
Demikianlah pada suatu hari berikutnya dengan ketenangan jiwa-jiwa yang mengalir dari muara sungai ketenangan Allah, aku tertuntun melaksanakan, dan mengungkapkan cinta yang terpendam itu kepadanya. Saat menulis catatan ini, saat mengenang sosoknya dimasa lalu, dendang kehilangan dalam lagunya Firman terdengar mengiringi disini, seakan sekarang ia sedang beradabersamaku disini: "...Ku coba ungkap tabir ini. Kisah antara kau dan aku Terpisahkan oleh ruang dan waktu Menyudutkanmu meninggalkanku Ku merasa telah kehilangan Cintamu yang tlah lama hilang..........."

Tentang Berita Kematiannya

Aku sebenarnya tidak mempunyai bakat dan pengalaman menulis bergaya fiksi. Apalagi yang berkaitan dengan dunia percintaan dua insan. Selama satu setengah tahun menghuni FB aku hanya bisa menulis realitas sosial remeh temeh yang sedang terjadi disekitarku.

Pernah bersusah payah menulis semalaman, ketika tulisaan selesai dibuat,  ternyata tidak ada yang mengkomentari sama sekali. Padahal  sudah puluhan orang yang sudah saya tag. Berharap, paling tidak ada yang klik jempol. Ditunggui  sampai satu semingguan tidak jua muncul.

Lantaran aku ini manusia biasa yang juga butuh karyanya diberi apresiasi, miris juga melihat nasib catatan-catatanku tak seperti  milik teman-teman yang lain begitu berlimpah dengan komentar dan acungan jempol.

OKB. Aku harus tahu diri. Harus menyadari kalau aku ini salah satu dari rakyat rendahan yang sok bermain-main didunia maya.
LS017073
Suatu ketika, entah mengapa, ada keinginan menggebu menuliskan sebuah kisah tentang cinta masa laluku. Perasaan ingin mengurai cerita cinta itu begitu kuat. Aku seperti mendapat dorongan energi lebih diluar kewajaran potensi diri.

Aku sendiri buta menulis dengan model fiksi (cerpen, novel, dll) yang membuat pembacanya hanyut dalam  alur ceritanya.

Disampinga buta , aku berpikir ulang untuk membongkar kisah lama dengan gadis itu, sementara statusnya, kabar yang ku dengar ia sudah menikah dan telah mempunyai anak.  Tidak etis membongakar hubungan masa lalu dengan orang yang sudah menjadi isteri orang. Ku takutkan si suaminya jadi tahu lalu keharmonisan rumah tangganya jadi retak.

Desakan hasrat menuliskan kisah itu tetap menggebu-gebu. Terlintas untuk memakai nama dan tempat kejadiannya disamarkan. Toh tak akan kehilangan esensi kisah kasihnya. Dengan demikian aku bisa tetap mengurai masa lalu kisah cintaku, tanpa merusak keharmonisan rumah tangganya.

Ketika jari  mulai mengetik, energi yang mengisnpirasi imajinasi malah tidak jalan. Memori yang menampung jejak kenangan bersamanya juga menjadi tertutup.

Aku terdiam linglung didepan komputer yang masih menyala. Sementara dorongan itu masih begitu  kuat untuk lekas menuliskan kisahnya. Cerita cinta yang menurutku sangat indah dan tak kan bisa kudapatkan lagi melebihinya. Masalahnya, kira-kira teman-teman FB ku respek nggak, ya, dengan tumpahan kisahnya? Jangan-jangan hanya indah bagiku, tapi norak buat yang lain.

Ah, persetan dengan semuanya. Pokoknya aku harus menumpahkan. Agar, dorongan energi yang meletup-letup itu terbebaskan. Pokoknya aku kudu ngeluarin semua kisah cintaku yang telah bikin sesak ingatan. Harus jujur apa adanya, baik nama dan tempat kejadiannya. Blak-blakan ae lah, biar imajinasi masa lalu dan memori yang menampungnya bisa terbuka kembali.

Tapi kayaknya tidak seru juga bila hasil tulisan kisah cintaku tetap tak ada yang mereaksi. Antara masih takut dan malu-malu (kuciiing!) mengungkapkannya, pada tanggal 7 Juli 2010 aku menulis pembukaan dengan judul, "Cinta Adalah Titik Titik". Dengan isi kalimat yang provakitif seperti ini: " Dengan congkak aku berkata, semua harus tahu, bahwa aku yang bernama saiful, orang biasa saja, terlahir sebagai anak biasa saja, yang sering diremeh-temehin orang, ternyata. Wow, punya pengalaman cinta bak orang luar biasa dengan cerita yang sangat istimewa” (Bisa dibaca ulang pada: http://www.facebook.com/note.php?note_id=407705353670)

Kalau memang ternyata masih tak ada yang tertarik mengapresiasinya, aku telah ancang-ancang diri memilih sikap tak peduli. Pokoknya menulis kisah cintaku, sukur dibaca, lebih bersukur lagi ada yang tertarik, kagum, dan banyak yang mengkoment. Hemm, ternyata ada seorang teman bernama Santi isnaya  yang terprovokasi bersedia menunggu kisah cintaku selanjutnya. (San, bila kulihat wajahmu itu mirip banget dengan saudara sepupuku. Manis banget bila dilihat dari sedotan. Just kidding)

Susah banget merangkai cerita cinta dua insan kalau tidak biasa nulis fiksi. Tapi mau gimana lagi, si Santi kadung menunggui. Sementara dorongan dari dalam diri mendesak untuk menguraikannya. Dengan  teramat kepepet, akhirnya,  aku memakai metode penulisan fiksi  pokoknya menulis dan mengurai apa yang ada didalam memori kenangan.

Sementara itu memori kenanganku masih bingung mau ngeluarin kisah yang mana dulu. Begitu melimpah dengan makna-makna  berserakan yang masih perlu aku rajut satu persatu. Aku Butuh waktu lima harian berkonsentrasi merangkai makna-makna yang tercecer dan menyusun ulang dalam kisah yang bisa dipaham oleh orang lain. Dan hasilnya tulisan cerita cinta terpendamku mengalir juga lewat catatan yang kupublis dengan judul, "Ketika Cinta Berganti Tasbih"
Hihi..Si Santi komentnya mendadak jadi cengeng. Katanya teringat dengan cinta yang dialaminya sendiri. Coba ingat-ngat San, komenmu kok jadi melankolis begitu, ya? (Baca lagi di.. http://www.facebook.com/notes.php?id=100000023672347&notes_tab=app_2347471856#!/note.php?note_id=409584778670)

Lumayan reaksi teman-teman mulai dari yang komen maupun yang ngasih jempol. Ada sekitar 43 orang yang mengkomen dan 10 orangan yang menjempol. Daripada sebelumnya nasib catatanku kebanyakan mati suri. Alhamdulillah tulisan fiksi cinta perdanaku  berhasil mencuri hati teman-teman. Walau bila dibanding dengan catatan tulisan yang populer lainnya, maka, catatanku masih kalah jauh.

Aku teramat bahagia walau hanya segelintir teman yang mengkoment karena yang kurasakan mereka memberinya dengan tulus. Biar ratusan orang yang klik 'like', tapi bila jempolnya pada bauk semua, mending dapat sedikit, tapi bisa mengharumkan kamar pengap hatiku. (Hehe..beladiri.co.id. Ngene iki aku niru-niru gayamu, San!)

Apalagi aku dapat kado koment pujian dari si Uly Giznawati yang sering nulis dikompasiana, dan bila update status jumlahnya yang  koment rata-rata diatas 50-an orang.  Pujian itu racunnya hati loh ul! Hehe..tapi gak papa deh, walau racunnya hati! Sering-sering kamu muji,  ya! Semoga kamu masih ingat dengan komenmu yang ini,  "...Cerita yang sangat menyentuh Qalbu
religius sekali hingga sang penulis tak mau menduakan cinta Allah, tetapi bukankah selain berhubungan dengan Allah kita juga mesti berhubungan dengan manusia? tanpa untuk mencederai cinta kita pada Yang Maha Tunggal itu? sungguh perenungan yang tajam dalam rangkaian paragraf"
Ini Uly Giznawati
 
Foto Uly Waktu Nongkrong Di Kompasiana
Diakhir tulisan sengaja tidak aku tutup dengan kata tamat. Tetapi bersambung minggu depan. (Duh, pede amat. Padalah catatan "Ketika Cinta Berganti Tasbih"  itu saja ngerangkainya, susahnya minta ampun!)  Sengaja ku beri aba-aba bersambung, agar teman-teman bersedia menunggu kisah cinta berikutnya. Lantaran memang masih banyaknya stok kisah cinta yang mustahil bisa dituangkan seluruhnya dalam satu catatan.

Dalam waktu semingguan, aku menepati deadline bersambung yang kujanjikan, aku mempubliskan kisah cinta berikutnya dengan Judul, "Cinta Menuntunku Menembus Batas Gender". Kali ini koment si Santi begitu mensupport kesahajaan Nining dibalik makna kisahnya dengan komennya yang panjang: " Mantap pul..... g byk cewek spt nining ddunia ini.  Kbykn cewek menempatkan cinta setara dgn materi, kedudukan sosial, dan kalo bisa dpt cowok yg bs bikin dia tmbah keren dimata temen2. Saluuut bgt sm Nining, dia liat Ipul g pake mata mgkn, tp, pake hati! * ini g bermaksud lbh menegaskan ipul adalah org yg ..... hemmm serba pas2n lo, ya!0.* Kembali ke basic pul, "CINTA MISTERI" dan punya kekuatan yg sangat dasyat.  (q jg punya itu he he g kalah dasyat jg sm kalian).  Gender......., materi, keren, ..... apalagi......?? G penting!!"

He he..Santi, Santi! Dibalik support heroikmu kok masih sempet-sempetnya bilang, "q jg punya itu he he g kalah dasyat jg sm kalian" . Kwkwkwk...! Eh, San. Baca bibirku tanpa berkedip, ya? Sekarang, kamu itu manis banget, biarpun ngelihatnya gak usah pakai sedotan sekalipun.
 Ini Santi Isnarya
                                               Foto Santi Di Zoom Jarak Dekat
Juga, dapat tambahan komen manis dan menginspirasi dari Rei Bangga: "Hmmm...ceritanya emang Kerbiz, keren abiz...tapi kok masi bersambung? :P Jadiin novel aja mz... :D". Ku pikir selama ini kata keren banget itu kedudukannya sudah lebih tinggi dari kata keren. Eh, ternyata masih kalah sama Keren habis atau disingkat Kerbis. Hihi jadi malu sama Rei. Ketahuan kalau si penulisnya masih Jadul dan oot dengan istilah-istilah terkini.  ( Rei, terima kasih, ya. Pujian kerbismu telah menginspirasi tulisan-tulisan berikutnya)
Ini Rei Bangga
Foto Kerbis Rei Memimpin Barisan
Dibawah panggung narasi 
Sejak saat itulah aku hampir setiap hari terbayang akan kisah cinta tanpa memiliki pada Nining Setihari layaknya kembali pada realitas hidup 11 tahun yang lalu. Tanpa terasa telah delapan episode cerita yang sudah kupublis dan direspon hangat dan haru biru  dalam aplikasi catatan ini.
Foto Nining Mirip Wulan Guritno Atau Foto Wulan Guritno Mirip Nining
Tulisan-tulisan yang Live in dan bernuansa utopis itu, awalnya memang sebatas menuruti dorongan energi diri yang aneh dan meletup-letup,  disamping pula untuk menepati janjiku sendiri yang sedang diitunggu Santi. Namun berikutnya, pasca catatan "ketika cinta berganti tasbih" terselesaikan dengan tertatih-tatih, sepertinya,  gendang telingaku mulai dihembusi oleh bisikan-bisakan aneh dan mewujud datang menjadi rasa jiwaku yang aneh dan nyata. Seterusnya menguasai ruhku, memerintahku untuk terus menuliskan semua kicah cinta bersamanya. Tak boleh ada sedikitpun kisah yang tercecer.

Ya sejak saat itulah sosok Nining Setihari setiap hari hadir dihadapanku bagai benar-benar nyata saat aku mulai menuliskan kisahnya didepan komputer.

Menjadi aneh banget dan tak bisa kupahami, bila ia tak hadir dihadapanku, aku yang sudah berhadapan dengan komputer itu tak bisa lagi mengurai setiap jejak ceritanya.

Waktu menulis seringnya kulakukan pada tengah malam, saat suasana sudah sunyi (Dikantor Yayasan Kemanusiaan Kec. Sukorambi-Jember). Suatu kesunyian yang menghanyutkan kesepian-kesepianku. Bila nuansa jiwaku sudah demikian maka  Nining akan datang dan duduk disebelahku. Dan mengajak bercengkrama seperti dulu lagi. Tapi bedanya kini kami sudah saling jujur akan rahasia hati masing-masing. Bila aku mulai kelupaan akan kata-kata  yang pernah diucapkannya, maka, Nining membantu mengulang apa saja yang telah dikatakannya padaku. Aku yang tak berbakat menulis fiksi dengan adanya dia didekatku, jariku menjadi pandai menari-nari dengan merangkai kalimat dengan detail peristiwa demi  peristiwa  yang kami alami bersama.

Kawan, sekarang aku jadi ingat (mulai dari 'cintaku menembus batas gender sampai cerber yang ke enam), selama tulisan-tulisan itu mengalir, hari-hariku merasa berlimpah dengan kebahagiaan (Walau dalam kondisi nasib yang sangat memprihatinkan.) Terima kasih buat Niningku, karena legenda bersamamu  aku mulai banyak mendapat sahabat-sahabat FB yang peduli dan mau berbagi hati walau tak pernah bertatap muka langsung. Tak masalah bagiku. Aku rasa kemayaan suatu ruang tak menghalangi kenyataan eratnya sebuah jalinan persahabatan.

Dan yang lebih utama dari kebahagiaanku adalah, Nining seringkali hadir menemani kesendirian hidupku tidak saja aku sedang  ada didepan komputer mengetik kisahnya. Namun Nining menemaniku dimanapun saat aku sendirian dan merasakan kesepian. Dengan adanya Nining disisiku, aku menjadi betah dengan kesendrian hidup dalam dunia nyata yang fana ini

Setiap aku selesai membantu kerja (mengajar) teman-teman Yayasan, selekasnya aku menyingkir mencari ruang kosong. Bila diwarung kopi sebelah yayasan sedang sepi orang, aku bergegas kesana, menyiapkan sebuah ruang tamu hati, merapikan dua pasang kursi batin untuk tempat percakapannya. Sambil memesan kopi dan sebatang rokok, aku pun menjadi asik kembali bercengkerama dengannya.
 "Yang koment catatanmu kebanyakan, kok cewek semua, sih?" Ujar Nining Protes
"Yah, habis tulisannya kan berkisah tentang cinta, Ning! Biasanya  Sinetron cinta yang di TV itu, yang suka kan kaum cewek. Mana ada  kaum cowok yang suka dengan cerita cengeng seperti itu, iya kan?"
"Bukan itu maksudnya!" Nining cemberut
"Terus apa dong, say!" Aku menyabarkan biar tidak ngambek. Biasanya kalau sudah ngambek, dia bisa-bisa selama dua sampai tiga harian  tak mau datang lagi kepadaku.
"Gimana yang cowok mau koment bila yang kamu tag kebanyakan kaum cewek. Ya risih lah, cowok ikutan berkomentar ditengah  sekian cewek-cewek yang kamu incar itu"
"Aku kan gak berniat seperti itu, Ning. Kamu cemburu ya?" Aku Mencoba memancing kehangatan darinya.
"Ih,  ngapain cemburu. Apalagi pada tiga cewek pengkomen  setiamu itu. Dan sok tahu tentang apa cinta itu! Gak level, lah!"
"Jangan ngomong gitu lah, Ning! Mereka tulus banget kok. Itu keluar dari hati nuraninya"
"Minggu depan, cowok yang ditag harus lebih banyak dari ceweknya. Awas kalau nggak!"
"Iya, ya! Entar cowok semua dech yang aku tag!"
"Huh, nyebelin kamu" Ia berlalu begitu saja dan menghilang, berbarengan dengan temanku yang datang menghampiriku.

Bila sudah ngambek begitu. Nining tak kan datang lagi selama dua hari sampai tiga hari.

Begitulah kawan. Selama kurang lebih 1 bulan setengah hari-hariku menjadi seperti berada dalam dunia 11 tahun lalu. Saat awal aku dan Nining mulai saling mengenal sampai akrab dan sampai aku mencintainya dengan teramat sangat. Yah, kesendirianku kini telah menjadikan diri  sebagai manusia yang hidup pada masa lalu dalam tubuh yang berdiri diatas masa kini. Seperti yang telah kubilang, justru aku menjadi teramat bahagia dengan keadaan seperti itu. Dan satu lagi, hidupku merasa tidak sepi karena Nining sering hadir menemani kesengsaraan hari-hari ku.

Mohon itu jangan dimaknai aku sedang masuk pada fase awal  kegilaan. Biar tidak semakin mencabik-cabik perasaanku. Walau pun aku sendiri tak keberatan dan membantahnya sedikitpun.

Awas loh, ya! Jangan bilang aku sudah mulai gila, ya?

(Aku jadi sedih, nih!). Sejak tulisan yang kedua berjudul "Cinta Menuntunku Menembus Batas Gender" dimulai, hampir di tiap hariku yang sepi dan  malam-malam sunyiku, ia akan selalu bercengkerama denganku. Walaupun aku tak memintanya untuk ditemani, ia akan datang dengan sendirinya. Kecuali, aku sedang membantu mengajar sekolah yayasan, berinteraksi dengan teman-teman, atau saat aku  di warnet, pasti ia tahu diri dan tidak mau ada disampingku.

Ia begitu baik banget kawan! Puisi dengan judul 'Tidur' yang dulu membuatnya terpingkal-pingkal didepan mading kampus, ia bacakan berulang-ulang ketelingaku untuk menghibur. Terasa sangat dekat, kawan. Benar-benar sangat dekat sekali, sampai bait demi baitnya menjalar keseluruh saraf-saraf otakku. Indah sekali suaranya sekaligus menggelikan. Ia membaca puisinyanya hanya mengulang-ulang kalimat pada bait awal , " Aku ingin tidur. Aku ingin tidur dan tertidur. Aku ingin tidur dan tertidur. Tidur lagi, ah!" Begitu terus di ulang-ulang. Nyebelin, ia merapalnya sampai menyita waktu setengah jam-an.Tapi memang aku orangnya tak bisa marah padanya.

Kalimat-kalimat pendek itu terdengar sampai  kerelung hati. Dan menjadi terdengar menggelikan. "Tidur lagi, ah! Tidur lagi, ah!" Suaranya diperlambat dan dilamatkan seperti orang yang sedang ngantuk beneran. Nining terpingkal-pingkal. Jadinya aku kepingin ikut terpingkal-pingkal bersamanya. Untung aku lekas menyadarkan diri dari situasi yang mengitari yang tidak memungkinkan aku ikut tertawa bersamanya. Lalu  secepatnya aku membaur dengan teman-teman yayasan. Kalau aku sudah bersikap melarikan diri demikian. Nining pun enggan menemaniku.

Yah, satu setengah bulanan jarum jam hidupku menjadi berputar pada masa lalu persis seperti aku sedang mengalami dengan sangat nyata akan cinta tanpa memilikinya selama tiga tahunan. Padahal sebelum menjadi penulis cerita kisahnya yang bersambung, Nining sudah aku buang pada kotak sampah kenangan. Tertumpuk oleh pengalaman-pengalaman baru selama 8 tahunan.

Selama itu pula, aku tak pernah berjumpa atau pun ingin menjumpainya. Hanya dapat kabar dari Aan Subiyanto 3 tahun yang lalu kalau Nining sudah menikah dengan anak Akmil (Akademi Militer) yang dulu tak pernah dicintainya itu. Ia telah punya seorang anak laki-laki. Dan kabar terakhir yang ku dengar dari mulut Aan, bahwa, Nining mengalami kondisi depresi berat. Katanya Aan, Nining sering  membentur-benturkan kepalanya sendiri ke tembok.

Walau begitu, aku hanya sekilas lalu saja mendengar dan memikirkan kabar-kabar tentang keadaan Nining. Bagi aku Nining adalah sosok masa lalu yang tak perlu dihadirkan kembali dalam masa kiniku. Takdir cintaku padanya adalah cinta yang tak harus memiliki selamanya.

Sampai suatu ketika kesibukan hari-hariku bercengkerama dalam sepi bersama Nining, terputus oleh sebuah realitas, bahwa, hari Raya Idul Fitri tinggal sebulan lagi. Aku tersadar. Aku tidak boleh terus-terusan asik sendiri bercengkerama dengan Nining. Terbayang bila hari raya Idul Fitri  biasanya keponakanku yang lucu itu kubelikan baju lengakap plus uang ngelencernya. Teringat juga  akan ibu dan Nenekku yang sangat perlu uang untuk kebutuhan hari raya.

Aku tidak boleh egois dengan kebahagiaan aneh yang telah kumilik itu. Aku harus lebih mengutamakan kebahagian keponakan, Ibu, dan nenek di hari raya Idul Fitri. Yah, aku harus rela berjarak meninggalkan sejenak  percengkeraman dengan Nining dalam setiap sepiku.

Aku pun menerima tawaran dari seorang teman yang sering membantu kesulitan hidupku, untuk bekerja sebagai pekerja sosial pendampingan anak-anak miskin yang difasilitasi oleh ILO (International Labour Organization). Untuk sementara waktu aku mempersembahkan diri dan pikiranku dalam pekerjaan itu walau pun aku tak pernah cocok dengan ideologi pragmatisnya orang-orang yang bekerja didalamnya.

Cuma digaji 1 juta, kawan. Apalah arti uang segitu, begitu hari raya Idul fitri usai uang itu pun ludes untuk 3 keponakan, ibu dan Nenekku. Praktis uang itu tak ada sisa untukku. Tapi biarlah, yang penting keponakan-keponakan lucuku itu tersenyum bahagia karenanya.

Pasca hari raya Idul Fitri
Aku memutuskan diri berhenti dari pekerjaan itu walau pun aku sangat membutuhkannya. Banyak sebabnya, terutama aku tak ingin idealisme hidupku tercabik-cabik dengan menjadi pekerja sosial pendidikan anak-anak miskin, tetapi orang-orang yang bekerja didalamnya, ideologinya pragmatis semua. "Atas nama memajukan pendidikan anak-anak miskin tapi sebatas untuk mendapat dan mengelolanya sebagai data mati demi kontrak lembaganya diperpanjang oleh penyandang dananya." Kulihat tak ada jiwa pengabdian sosial sedikitpun diantara mereka.

Sementara uang gajian sudah ludes. Aku kebingungan setelah berhenti dari pekerjaan itu. Akankah kembali lagi keYayasan Kemanusiaan di Sukorambi, atau mengabdi di Ponpes Tanpa Papan Nama bersama rakyat desa jambuan mengembangkan usaha ekonomi mandiri? Dimana, kedua-duanya masih sangat mengharap aku kembali kesana. Atau, menerima tawaran seorang teman yang telah jadi pejabat dijember itu untuk kerja sama bisnis jasa biar bisa membahagiakan hidup emmak? Entahlah.

Seminggu setelah hari raya Idul Fitri, diwarung kopi Buk Yon, ditengah kebingunganku, terlintas untuk kembali gila-gilaan bercengerama dengan Nining. Tapi, entah kenapa selama sebulan puasa sampai hari ke 7 Idul fitri itu, Nining tak pernah hadir lagi seperti sebelumnya. Dalam kesendirian duduk diwarung Buk Yon, walaupun aku telah merasakan kesepian mendalam, Nining tak jua hadir. Agenda untuk merampungkan catatan cerita yang masih belum kelar itu, jadi malas untuk meneruskannya.

Dua jam sendirian duduk di warung Kopi Buk Yon. Teman ku yang bernama Satria  datang dan langsung duduk disampingku.
"Oh, ya Gus Ipul. Sampai lupa. Mohon maaf lahir batin."
"Iya, sama-sama. Gimana kabar advokasi-advokasi perempuanmu?" Aku membuka obrolan agar ia bercerita panjang lebar dan bisa mengusir rasa sepiku.

"He he..sek sek. Aku tak bales dampingan advokasi terbaruku" Selorahnya kembali asik dengan dunia sms nya.

Biasanya anak ini suka mengumbar kata kaitan filsafat dengan perempuan, agama dengan perempuan, hubungan ilmu kimia dengan perempuan, apapun selalu dikaitkan dengan nilai-nilai yang ada dalam perempuan.

Kali ini dia lebih asik dengan SMSnya daripada membicarakan dunia perempuan. Temanku ini unik. Tidak mau dibilang pacaran saat kencan dengan pacar barunya, tetapi lebih senang disebut sebagai kerja mengadvokasi kaum perempuan.

Aku mulai terkena virus pingin ikutan SMS atau menelpon seperti yang dilakukannya. Tapi perempuan siapa yang akan ku telpon? Wong selama ini aku tidak punya kenalan perempuan keculai teman FB.

"Wah, kalau sampean jangan ikut-ikutan saya Gus. Bukan jamannya lagi bagi sampean"

"Halah, kamu itu ngemeng epe. Nelpon Nining, ah! Mumpung masih suasana hari raya idul fitri. "

HP Fleksi jadulku yang pulsanya tinggal Rp. 1500-an kupencet tombol nomor 0334520xxx.. Itu Nomor rumah Nining. Walau aku tak pernah menelpon Nining selama 8 tahunan, tapi aku masih sangat hapal luar kepala sampai sekarang.

Dengan sisi pulsa yang tinggal sedikit. Berbicara secukupnya dan Berharap kabar Nining baik-baik saja

"Tuut tuut ..." Menunggu telponnya diangkat dengan hati yang deg-degan.

"Hallo" Suara seorang ibu setengah baya menyapa.

"Assalamu`alaikum, buk" Sapaku mengakrabkan diri biar tidak dicurigai macam-macam.

"Waalaikum salam. Ini dari siapa?"

"Saya Saiful. Teman kuliahnya Nining 8 tahun yang lalu, buk.  Saya hanya mau ngucapkan minal aidin saja. Nining nya ada Buk. Kalau boleh saya ingin bicara sebentar"

"Waduh mas, sampean belum tahu kabar Nining, ya?" Terdengar nadanya sedih.

"Nggak tahu buk. Emang kabarnya Nining kenapa. Dia sehat saja kan Buk?" Aku mulai cemas dan penasaran dengan kabar Nining.

"Nining sudah meninggal dunia, mas. Sekarang sudah dapat satu tahunnya."

"Innaliilahi wa innaa ilaihi roji`un." Aku menjadi lunglai. Temanku yang sedari asik dengan sms mendekatkan telinganya ke HP ku.

"Saya ikut berduka cita buk. Saya ikut merasa kehilangan. Kalau boleh tahu meninggalnya karena sakit apa buk?"

"Iya terima kasih. Sakit itu, ehmm..sakit paru-paru mas!"

"Tut..Tuut..." Telpon terputus, pulsaku tak cukup melanjutkan percakapan.
Tidur Aku ingin tidur Mataku capek melihatnya Tubuhku lelah merasakannya Aku hanya ingin tidur dan tertidur Buat apa bangun, jika bangun membuat aku hanya ingin tidur Aku hanya ingin tidur dan tertidur Buat apa bangun jika bangun membuat mataku selalu minta tidur Aku hanya ingin tertidur Dengan tertidur aku bisa bermimpi indah Dengan tertidur aku tidak resah Tidur membuat mataku tak berdosa Tidur membuat hati dan pikiran terasa disurga Tidur lagi, ah! Mimpi lagi, ah! Created By: Saiful Rahman, 5 Nofember 1999)

=========>>>>
Selamat jalan kekasih. Engkau benar. Cinta memanglah bukan untuk memiliki. Ia hanya cukup dirasakan. Ketika cinta itu telah saling memiliki justru menyengsarakan hidup para pecintanya.

Oh itu, ya? Pantesan kamu sebulan lebih sebelum puasa rajin datang kepadaku sebagai sepasang kekasih yang saling memiliki.

Oh itu, ya? Walaupun aku tak bisa menulis kisah fiksi kamu terus mendorong pokoknya aku menuliskan kisahnya.

Oh itu, ya? Sehingga tanpa sengaja puisi Tidur 11 tahun yang lalu itu kutemukan kembali diantara tumpukan buku-buku usangku.

Ya ya. Aku paham sekarang. Ternyata itu semua sebagai tanda salam perpisahanmu  kepadaku.

Terima kasih ya. Atas semua darimu yang datang kepadaku. Mohon maaf aku tak bisa segera ke tempat peristirahatan barumu sekarang. Kelak aku pasti kesana.

Aku sekarang masih berlumuran penderitaan hidup. Aku tak ingin saat kamu melihatku lalu menjadi iba. Kelak aku pasti bermain ketempat damaimu sambil membacakan puisi "Tidur"  itu dan kita bisa terpingkal-pingkal bersama disana.

TAMAT

Sahabatku Gadis Miskin Enggan Berobat Kedokter


Siang itu baru pertama kalinya kulihat ada seorang gadis duduk sendirian termangu diantara lalu-lalang kesibukan diruang kantor partai politik itu. Harum semerbak, gadis itu menebar aromanya kesetiap deras bau ketiak para calon kontestan PEMILU yang sudah kelelahan memverifikasi partai barunya. Mutiara hadirnya membawa kesahajaan makna tersendiri diantara tumpukan kepentingan politik duniawi atas nama hati nurani.
Aku pikir, gadis itu calon baru pengurus partai yang akan ikut-ikutan berkontestasi merayu-rayu hati rakyat. Ketika ku amati dari sikapnya yang lugu, pakaiannya yang sederhana, dan tutur katanya yang teramat sopan, bahkan nyaris tanpa retorika, sepertinya ia bukanlah sosok yang pantas untuk belepotan dengan lumpur permainan partai politik.
Dugaanku tidak meleset. Ia memang bukan calon pengurus partai. Gadis itu adalah admin baru yang akan siap selalu didepan komputer mengerjakan perintah para pengurus partai yang berkait dengan kesekretarisan.
Sehari-hari dipanggil Venti. Sudah dua hari bekerja sebagai admin partai yang digaji bulanan. Waktu itu ia masih berumur 20 tahun. Ditengah keluarganya merupakan anak perempuan satu-satunya dari lima bersaudara. Kakak sulungnya meninggal dunia beberapa tahun lalu. Ia anak kedua yang dibesarkan dari keluarga kurang harmonis dengan ekonomi keluarga pas-pasan. Venti merupakan potret anak gadis dari keluarga terpinggir yang tengah hidup dalam kepadatan kota Jember-Jawa Timur.
Venti tipe gadis mandiri. Pekerja keras dengan mimpi-mimpi yang melangit . Sewaktu masih aktif kuliah di STAIN Jember semua biaya kuliah ditanggungnya sendiri. Ketika diberhentikan sebagai pekerja pelayan toko, Venti memutuskan berhenti kuliah. Bermodal ijasah SMA serta jaringan yang terbatas sulit baginya cepat mendapatkan kerja buat membiayai kuliahnya. Terpaksa dia berhenti kuliah. Untuk sementara ia menjeda mimpi kuliah sampai bergelar sarjana. Memasukkannya kedalam laci kegagalan hidup sementara. Padahal menurut Venti, “dengan gelar sarjana ia bisa mendapat kerja layak, dengan kerja mapan kelak ia akan menyekolahkan adik-adiknya sampai keperguruan tinggi.”
Suatu ketika ia ditawari oleh Pak Somad untuk bekerja di sebuah partai politik sebagai admin. Venti menerimanya dengan teramat gembira.
Waktu itu, tahun 2008, ia cuma digaji 300 ribu per bulan. Pulang pergi kekantor naik angkot dengan total ongkos perbulan 120 puluh ribu. Sisa gajinya setelah dipotong ongkos angkot harus dibagi lagi untuk jajan adik-adiknya, dan membayar tagihan PLN sebesar 50 ribu. Praktis sisa gaji yang masih melekat ditangannya tinggal 1 lembar 50 ribuan. Nominal uang yang sudah berkerut itu masih mengalami kepiluan diri saat membentur daftar belanja venti yang sudah dipangkas sampai keakarnya.
Diantaranya, Venti beli pulsa cukup tidak cukup harus 5 ribu untuk satu bulan. Dilarang keras digunakan untuk menelpon. Boleh SMS tapi hanya untuk membalas SMS yang masuk. Dan apabila terpaksa membalas maka sms lah yang penting-penting saja.
Venti dan Seragam Kebanggaanx
"Masak hidupmu akan gitu terus, Ven? Minimal kamu kan butuh beli pakaian baru biar kelihatan gaul sedikit."
"Habis mau gimana lagi, Mas. Akhir bulan aku usahakan beli celana bekas saja."
"Kok beli celana bekas?"
"Celana bekas model pensil. Emang kenapa Mas?"
"Loh, kamu gak malu kepasar cari celana bekas? Emang ada celana rombeng model pensil?"
"Biasanya Ibuku yang nyari dipasar. Sampai dirumah dipermak lagi menjadi model celana yang cocok dengan penampilanku. Contohnya seperti yang aku pakai ini, mas! Gimana, masih terlihat modis, kan?" Venti beranjak berdiri menunjukkan keserasian celana yang dipermaknya sambil berlenggak lenggok dihadapanku.

Setiap hari venti tidak lepas dari berjilbab. disela-sela kesibukannya sebagai admin, ia tak lupa selalu meluangkan waktu menunaikan sholat wajib. Selain sikapnya yang sopan dan lugu, Venti adalah gadis Jujur dan tekun dalam mengerjakan tugas. Dan yang tak kalah menarik dari karakter Venti yaitu, meskipun dibesarkan dalam lingkungan perkotaan, ia masih saja sebagai sosok gadis pemalu.
"Kamu sudah punya pacar, Ven?" Percakapanku mulai masuk wilayah privasinya.
"Iya punya. Kenapa Mas?"
"Sudah berjalan berapa lama?"
"Sekitar dua tahunan."
"Hemm. Kamu kan rajin sholat. Pakai jilbab lagi. Emang pacaran itu tidak haram, kah?"
"Tergantung orang yang menjalaninya, mas? Kalau pacaran melebihi batas wajar itu diharamkan."
"Emang pacaranmu wajar seperti apa, kok tidak haram?"
"Nggak ada cuma ngobrol biasa. Sebatas telpon-telponan. Jalan-jalan, atau ketemuan dirumah. Pacaranku cuma gitu-gitu saja, mas."
"Masak sih? dua tahun loh kamu pacaran, bukan waktu yang pendek. Mustahil, lah! Masak gak pernah pegang-pegang tangan?"
"Maunya pacarku, gitu terus mas. Cuma sering aku marahi kalau dia mulai pegang-pegang tangan. Tapi terkadang kasihan juga. Sesekali aku biarkan dia pegang-pegang tanganku."
"Pegang-pegang tangan kan haram, Ven?"
"He he...gak papa mas, kalau cuma sekali dan tak merembet kebagian tubuh lainnya."
"Jujur deh. Lepas dari halal haram pacaran. Kamu pernah gak dicium pacarmu?"
"Gak pernah mas."
"Beneran? Gak percaya aku, Ven"
"Iya. Bener!"
"Wallahi? Demi Allah Ven, beneran gak pernah? Ini sumpah atas nama Allah, lo! Jangan main-main. Hayo, jawab yang jujur? Gak jujur dosa."
"He he,,,nggak..nggak...Iya pernah sekali dicium. Itupun cuma sebentar kok!"
"Bagian mana yang dicium. Pipi atau bibir? Awas aku sumpah lagi kalau bohong?."
"Bibir."
"WKWKWKWK...!! Venti..Venti! Jelas itu gak masuk akal! Gak mungkin lah ciuaman bibir cuma sebentar."
"Suer nih. Mas! Seingatku paling cuma sedetik, gitu!"
"Hahahaha.....mana ada ciuman bibir cuma sedetik? Itu tuh..lihat jarum di jam tembok itu, ya? Perhatikan gerakan perdetiknya. Bayangkan seperti apa super cepatnya ciuman bibirmu dalam waktu cuma sedetik!"
Sambil tertawa terbahak-bahak, jam dinding itu aku pungut. Aku merekontruksi ulang adegan ciuman bibir sedetiknya Venti. Seolah aku jadi cowoknya, dan Venti jadi jam dindingnya.
"Hayoo, ngaku, Ven? Sedetik, dua detik, tiga detik atau satu jam-an?" Aku mendesak Venti sambil memberi contoh ciuman 1 detik dengan jam dinding ditanganku. Aku berulang melakukannya membuat venti tersipu-sipu.
“Hihihi....Nggak, nggak mas..nggak sedetik.. Mungkin sekitar dua detik...Hahahaha..." Venti pun ikut tertawa lepas.
Dan kami berdua serentak terpingkal-pingkal karenanya.

Venti berjilbab hitam. Menempel pada PROF DR Teguh (kaos putih)
Aku dan Venti bekerja dalam satu ruangan yang sama. Hari-demi hari kami semakin akrab. Aku dianggap sebagai kakak sekaligus sahabat terbaiknya.
"Gini Ven. Aku kepingin kamu nggak doyan beli pakaian rombeng lagi. Dan uang gajimu perbulan tetap utuh."
“Hadoh! Emang sampean yang mau ngasih? Lha wong sampean sendiri pengurus partai paling kere.”
“Ini serius, Ven. Coba kamu pikir. Sisa gaji bulananmu setelah dipangkas tinggal 50 ribuan. Jelas itu jauh dari mencukupi. Sementara keahlianmu dalam bidang administrasi dan komputerisasi sangat mengagumkan. Semua pengurus partai sangat tergantung dengan keahlianmu. Itu tidak adil dong! Paling tidak kamu harus dapat uang lebih dari mereka. Karena itu mereka harus memikirkan kesulitanmu."
"Halah mas. Mana mungkin mereka mempedulikan aku. Lha, semua kan sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri, mas!"
"Bagaimana kalau Aku bantu agar mereka peduli padamu. Tapi aku butuh kerjasamamu"
"Kerja sama gimana, mas?"
"Kita harus pintar memancing dan mendorong uang lebih itu keluar dari mereka tanpa disadarinya"
"Caranya?"
"Mempolitiki orang-orang politik didalam partai politik."
"Misalnya?"
"Misalnya: bersikap memuji-muji mereka, menawarkan bla-bla cara meraup suara konstituen, pura-pura mendukung kepentingan salah satu caleg, memberi harapan nomor urut caleg, kalau perlu aku siap menjadi pesuruh mereka sekedar beli rokok, foto kopi, nganter surat, pesan makanan. Dan tak kalah penting aku akan selalu gembar gembor kehebatanmu. Nah, kamu menjadi supporter peran-peranku ini. Kamu bertugas mendorong tercipta situasi agar mangsa kita mengeluarkan uang lebihnya. Dan akhirnya uang-uang receh itu pun akan mengalir kepadamu. Gimana menurutmu?"
"Wow. Ide brilyan, mas! Aku setuju banget. Tos!"
Demikianlah hari demi hari aku dan venti mempolitiki orang-orang politik didalam partai politik.
Kerjasama politik kecil-kecilan kami jalankan selama lima bulanan. Hasilnya luar biasa. Sosok Venti menjadi ajang pamer kepudilan para petinggi partai. Tak jarang tanpa diminta Venti sering dibelikan tas, baju, HP dan lain yang diidamkannya selama ini. Uang gaji bulanan Venti tetap utuh. Konon kata Venti sejak strategi kerjasama itu dijalankan penghasilan kotor venti menembus sampai angka rata-rata satu jutaan setiap bulan.
"Dapat berapa uang lebih hari ini, Ven?"
"Dapat 39 ribu, mas. Ini sembilan ribu untuk kopi dan rokok sampean. Sampean kan butuhnya cuma kopi dan rokok?"
"Waduh. Kamu kok lebih banyak dapatnya Ven?"
"Anu, mas! Dikumpulin buat bayar SPP kuliah. Masih kurang 150 ribu, mas."
"Wow keren! Kamu sekarang jadi mahasiswa lagi, Ven?"
Enam bulan venti bekerja sebagai admin partai, telah banyak perubahan yang terjadi. Ia sudah tak konsumtif kecanduan beli pakaian bekas. Penampilannya semakin oke. Mampu beli sepeda motor honda tua tahun 70-an harga 1 jutaan. Dan yang sangat membanggakan Venti mampu kuliah lagi disebuah perguruan tinggi swasta yang termurah se-Jember.
Sebagai sahabatnya aku turut tersenyum bangga melihat Venti tersenyum atas perjuangannya berbuah manis. Sementara dalam waktu dekat aku sendiri berancang-ancang merantau ke Bali.
"AKu mau curhat nih, mas." Pinta Venti dengan mimik wajah memelas. Seperti ada yang disembunyikannya.
"Curhat saja. Biasanya tanpa permisi kamu langsung nyerocos." Aku menanggapinya santai sambil membaca artikel koran Kompas.
Hening
"Tapi sampean gak boleh ngomong pada siapapun. Janji, ya?"
"Janji." Aku penasaran, rahasia apa yang disembunyikannya.
"Didada sebelahi, sini nih. Tumbuh benjolan kecil, Mas!"
"Hahaha.....kamu kok baru nyadar. Sejak kamu kecil benjolan itu kan, sudah ada Venti?"
"Gak lucu mas..serius nih, mas! Benjolannya disebelah atas payudara kiri. Disini, ini mas! Ada dua bulanan aku mengetahuinya."
"Ceritamu ini seriuskah?"
Agak lama Venti membisu.
"Iya. rasa sakitnya sudah sekitar dua mingguan. Kalau sedang kambuh terasa sangat nyeri sekali. Seperti ditusuk-tusuk jarum"
"Kenapa kamu diamkan. Periksakan cepat ke dokter."
"Nggak usah mas. Membayangkan saja aku gak berani. Ku takut benjolan itu kangker payudara."
"Makanya biar jelas. Kangker atau bukan harus dirontgen, kan?"
Dahi Venti mengkerut.
"Berapa biaya rontgen, ya? Nggak ah. Percuma saja. Kalau pun itu kangker aku gak akan mampu mengobatinya secara medis. Biarlah ini aku atasi dengan pengobatan alternatif saja, mas."
"Aku konsultasikan pada pengurus partai,ya? siapa tahu mereka membantu."
"Jangan...jangan, mas. Sampean kan sudah janji gak akan bilang pada siapapun! Termasuk keluargaku."
"Kalau keluargamu, perlu dikasih tahu dong?"
"Jangan, Mas. Aku gak ingin mereka semakin terbebani hidupnya. Biarlah aku atasi sendiri dengan pengobatan alternatif."

Derita yang dialaminya, membuat aku bertambah yakin bahwa nilai persahabatan adalah seberapa jauh keterlibatan mendalam kita dalam ruang suka dan duka.
"Ven! Ini aku belikan obat dari buah merah yang dikemas dalam bentuk kapsul. Obat ini mampu menyembuhkan segala macam penyakit berat, seperti kangker, tumor, dan lain-lain. Dengan obat ini insyaallah sembuh."
Venti tersenyum gembira
"Beli dimana dan berapa harganya, mas?"
"Di apotik Gajah Mada. Harganya 200 ribu. Obat satu botol ini dikonsumsi untuk 1 bulan. Pagi satu, malam menjelang tidur satu. Dampak obat ini bikin sekujur tubuhmu terasa ngilu semua. Jangan berhenti terus saja minum obatnya. Itu berarti obat ini telah bekerja"
"Terima kasih, mas. Mahal sekali, ya? Sampean dapat uang darimana untuk beli obat ini. Ngutang, ya?"
"Kalau dapat ngutang, emang kenapa?"
"Biar aku yang ngelunasi nanti."
"Hehe bukan. Itu sisa uang honor tulisan yang diterima di Kompas Jawa Timur seminggu lalu."

“Gimana hasilnya Ven?”
“Sangat manjur mas. Nyeri nya sudah hilang sama sekali. Tapi benjolannya masih tetap ada”
“Konsumsi terus obat itu. Sampai benjolannya menjadi hilang. Kalau obatnya sudah habis. Kamu beli sendiri, ya?”
Seminggu kemudian aku berangkat ke Bali melanjutkan petualangan hidup (mengadu nasib) tanpa sepengetahuan Venti.

                                         Satu tahun kemudian
Awal tahun 2010 setelah setahun merantau di Bali aku pulang kembali ke jember sampai sekarang. Selama satu tahun dijember saya tak aktif lagi menjadi pengurus partai walaupun namaku masih tercatut sebagai sekretaris I. Terhitung hanya lima kali aku menyempatkan diri bertandang kerumah Venti.
 “Kamu sakit apa lagi, Ven? Masih tetap yang itu, ya?”
Venti menggelengkan kepala.
“Kalau benjolannya masih tetap ada, mas. Tapi sekarang aku sakit paru-paru.” Kata Venti sok memastikan diagnosa penyakitnya.
“Kok yakin itu sakit paru-paru? Berarti kamu sudah periksakan kedokter, ya?”Venti menduga ia sakit paru-paru. Berat badannya menurun drastis sepertinya Venti memang sakit paru-paru.
“Bukan ke dokter. Tapi kata kyai pintar, mas!”
“Lho, kok kata Kyai pintar?  Memastikan penyakit paru-paru kan harus difoto rontgen dulu,  Ven? Bukannya diraba-raba pakai indera keenam, kan?”
“Terus, kalau sudah tahu pasti foto rontgen nya? Biaya opname, biaya obatnya, aku bayar pake apa, mas?” Venti berkata dengan tatapan mata yang kosong.
Agak lama kami berdua terbenam tanpa kata-kata.
Venti menundukkan kepala.
“Biarlah…” Ucapnya tersendat  dan buliran air mata bening itupun meleleh.
“Aku meyakini pengobatan alternatif yang kujalani ini, mas. Tentanggaku kena kangker payudara, rumahnya yang sebelah sana itu, mas! habis sepuluh juta ditangani dokter, ternyata, ia masih mati juga. Hidup dan mati itu Allah yang nentuin, kan, mas! Terpenting aku telah berdo`a, telah berupaya mengobati semampuku, selebihnya aku pasrahkan kepadaNya.”
Aku tercenung mendengarnya. Venti benar. Andaikan ia tahu kepastian penyakitnya dengan cara medis, lalu, mampukah dia membiayai perawatan sampai pengobatannya? Sedangkan Venti sendiri tak mau penyakit yang ditanggungnya  membawa beban hidup bagi orang-orang yang disayangi. Apalagi sampai meminta kepedulian dana kepada mereka yang setiap hari hanya sibuk dengan kepentingan politik praktis, puih, Venti tentu takkan melakukannya.
“Mbok kamu bilang pada pengurus partai, biar mereka yang mengatasi biayanya dirumah sakit!”
“Halah, mas. Sampean kayak gak tahu mereka saja.”
“Iya juga, sih.”
“Aku lebih percaya sama kyai pintar itu, mas.  Tebakannya benar semua. Termasuk penyakit paruku ini. Aku heran dari mana dia tahu semua itu. Padahal dia tak pernah kenal aku sebelumnya. Kemudian aku dikasih ramu-ramuan. Dan sekarang agak lumayan hasilnya. …..”
Dan seterusnya Venti lebih banyak berceloteh akan kehebatan kyai pintarnya. Aku hanya angguk-angguk kepala mendukung jalan pengobatan alternatifnya. Merangsang ia bercerita apa saja. Sesekali aku  membikin  joke-joke segar supaya ia tertawa ngakak seperti dulu lagi. Yah, Itu saja yang mampu kulakukan. Hanya itu yang bisa membuatnya terhibur. “Semoga lekas sembuh, ya, Ven?”
Sejam kemudian aku pamit pulang.

                                                  Dua bulan yang lalu
Dunia adalah kesunyian hidup yang terasing dilautan. Kita dipaksa pandai merubah sedih jadi tawa. Dengan tawa dunia tidak ringkih oleh deritanya yang purba. Dengan tawa hidup senyatanya sandiwara yang purba belaka.
Pada tanggal 1 Februari 2011, di dunia Facebook saat aku menuliskan status,  aku mendapat kabar sakitnya Venti.

Lantaran Anna Ritana tak kunjung membalas komentarku. Sontak aku bergegas meluncur ke rumah Venti. Dugaanku bahwa keadaan Venti sudah parah. Bila masih kuat berjalan, biarpun sakit,  biasanya Venti masih memaksakan diri bekerja.
Sesampai dirumah Venti. Begitu aku dipersilahkan masuk oleh ibunya, aku nyelonong tak sabar ingin tahu keadaannya.
Ya..Ampun!
Sahabatku gadis miskin yang penuh semangat juang itu, kini terkapar tak berdaya. Tubuhnya terbaring lemah diselimuti kebaya. Tatap matanya sayu. Pergelangan tangan dan wajahnya menampakkan tonjolan tulang belulang. Tak tahan rasanya, tak sabar ingin lekas membawanya kerumah sakit. Saat itu juga.
Aku dipersilahkan duduk oleh orang tuanya. Dilantai beralas karpet, didekat pintu kamarnya, aku duduk bersandar ditemani ayah dan ibunya. Hatiku tersuruk oleh rasa iba yang mendalam.
“Venti, ini Ven! Sahabatmu sudah datang, Ven.” Seru Ibu Venti memecahkan suasana.
 “Hai, mas. Dengan siapa sampean kesini?” Sapa Venti. Ia tersenyum menyambut kehadiranku.  Sebuah senyum tegar yang melampaui kuasa penyakitnya.
“  :)  ”Aku hanya bisa mengangguk tersenyum. Lidahku tak kuasa menjawab tegur sapanya.
 “Mas, sampean tahu dari siapa?” Tanya Venti. Suaranya terdengar lirih.
 “Dari Bu Anna Ritana.”
Hening.
“ Oh, ya. Para pengurus partai siapa saja yang sudah menjengukmu kesini, Ven?”
“ ..  :) ..Belum ada, mas,..  :) .. ” jawab Venti dengan tersenyum ikhlas. Senyumnya masih terliaht manis walau itu sisa-sisa dua tahun yang lalu.
“Ven, aku mau telpon Pak Masrur, ya?”
Venti menggeleng lemah
 “Aku mau telpon, biar dia kesini sekarang. Dan membawamu dirawat dirumah sakit. Ku yakin dia pasti mau menanggung biayanya. Tak mungkin dia menolak bila melihat kondisimu sekarang.”
 “Venti sudah dirawat kami dengan baik, mas.” Kata ayah Venti Menyela.
“Mas Saiful, sekarang keadaan Venti jauh lebih baik daripada empat hari lalu. Sekarang sudah mendingan. Sudah kuat dipapah ke kamar mandi. Tangannya sudah bisa digerak-gerakkan. Bisa berbaring kekanan-kekiri. Makan sudah tidak muntah lagi. Sudah bisa tidur nyenyak. Ya itu karena ditelateni menggunakan obat ramu-ramuan dari kyai pintar itu.” Kata Ibu Venti menimpali.
“Iya, mas. Sampean nggak usah terlalu khawati. Berkat ramuan itu, sekarang sesak nafasku sudah hilang. Tinggal asupan gizinya masih kurang. Kalau kemarin-kemarin aku tidak bisa kentut, mas. Tapi sekarang…..(..Brott!!..)” Venti berkata dan mengeluarkan kentutnya.
Terdengar suara kentut Venti, ibunya tertawa. Lalu disambut tawaVenti yang lemah.
Aku tidak ikutan tertawa. Bagiku itu bukan lelucon. Tetapi sebagai upaya Venti meyakinkanku agar aku mengurungkan niat meminta bantuan orang lain untuk membawanya kerumah sakit.
“Nah, ini mas. Ramu-ramuanya. Ini semua terdiri 17 macam tumbuhan.” Ucap ayah Venti yang  baru keluar dari dapur, dan menunjukkan ramuan-ramuan itu kehadapanku.
“ Ada lima jenis tumbuhan yang sulit dicari. Kyai pintar itu sendiri yang mencarikannya. Ini diiris-iris sampai lembut, mas. Kemudian direbus. Lalu diminum rutin. Alhamdulillah. Venti sudah lumayan sembuh sekarang. Awalnya banyak yang menyepelekan, mas. Tapi saya yakin saja. Sambil tak henti-hentinya berdo’a. Setiap mengiris sampai meminumkannya, saya barengi dengan melafalkan bacaan-bacaan dari kyai pintar itu.” Kata Ayah Venti, beliau sangat yakin sekali kalau ramuan-ramuan yang diris-irisnya akan mampu menjadikan Venti sembuh total.
Kekhawatiranku mereda. Niat meminta bantuan pengurus partai agar Venti dirawat dirumah sakit menjadi kendor. Terngiang oleh ucapan Venti dan kedua orang tuanya, bahwa, ia sudah lumayan sembuh oleh ramuan obat kyai pintar itu.
Pikiranku menerawang, bisa jadi mereka itu benar. Bukankah si dokter, si Kyai, si Dukun, dan lain-lain itu hanyalah perantara dari berbagai macam cara tangan tuhan dalam menyembuhkan penyakit hambanya? Siapa tahu dari ke 17 macam tumbuhan itu, setelah diris-iris dan direbus,  memang mengandung obat ampuh penyembug penyakit berat Venti.
Entahlah. Aku hanya bisa berharap-melihat bapak-ibu Venti yang penuh kasih sayang merawatnya- semoga jerih payah, doa-doa, dan kesabaran orang tuanya membuahkan hasil bagi kesembuhan Venti. 


Pada tanggal 9 Februari 2011 aku dapat pesan dari Anna Ritana


Innalilahi Wainna ilaihi roji`un!!

Linglung mendapat informasi Venti talah meninggal dunia. DItengah jalan aku mengurungkan diri pergi melayat kerumah duka.
Sahabat, aku memang terlalu pengecut menumpahkan air mata dihadapan mereka. Aku terlalu lemah untuk tidak menangisi kepergianmu.
Adalah tak elok mengusik damai peristirahatan terakhirmu dengan rasa muakku yang teramat sangat: “Muak kepada pengurus partai, muak kepada tetanggamu, muak pada orang tuamu, muak kepada kyai pintarmu, muak kepada diriku lelaki tak berdaya. Muak kepada dokter, dan  muak kepada Negara yang tak becus melindungi kehidupan rakyat miskin.”


Andai aku punya cukup uang, tentu engkau akan nurut bila kubawa kedokter.  Andaikan engkau bukan gadis miskin, tentu engaku tidak akan percaya pada Kyai pintar itu. Seandainya engkau anak orang kaya tentu engkau takkan  merahasiakan penyakitnya. Andai lingkungan tetangga dan tempat kerjamu tidak mati kepedulian sosialnya, tentu, engkau  tak malu meminta bantuan dana pengobatannya. Andaikan biaya berobat kedokter itu tak mahal, tentu engkau…? Seandainya negara ini menanggung biaya berobat warga miskin ke dokter sampai sembuh, tentu…..?

Ketika Cinta Terpendamku Mengungkap Rasa


Apa kebahagiaan itu? Bagaimana kebahagiaan itu? Seperti Apa? Dimana tempatnya? Buat apa kebahagiaan itu? Kenapa semua manusia menginginkannya? Kenapa yag telah mendapatkannya cenderung mengabadikannya?
Aku tak perlu menjawab semuanya. Kebahagiaan hidupku tak bisa ku jelaskan dengan apa pun. Aku hanya bisa merasakan kebahagian, dengan teramat bahagia. Titik!!.
Aku lelaki biasa yang terbiasa bisa, tapi melemah oleh keteduhan mata yang mengusir sebuah makna. Pada garis tepi yang sama. Dengan segala pundi-pundi dan cawan cinta yang sama.
Cintaku adalah makna yang tidak harus selalu diutarakan. Karena cintaku telah banyak bercerita dan berbicara. Laut telah mendapatkan semuanya dariku. Tentang semua yang mengganggu malam-malam dan setiap detik kehidupanku. Laut telah mengetahui semua ceritaku dari keluguanku berututur, dan ia memahaminya dengan desir ombak abadinya.
“Kemana, Ning?”
“Main kekosan Aan, yuk?!”, kata Nining berharap aku menyetujuinya ikut ajakannya main ketempat kos Aan Subiyanto. Kami bertiga, hari-harinya sering ngumpul dikampus..
“Iya, jangan lama-lama? Jam satu aku harus sampai di rumah. Aku tak ingin kakakku marah-marah jika pulang terlambat.”.
”Iya, sebentar. Gak mungkin kamu terlambat ’wahai’ tukang krupuk, anak kesayangannnya, emmak..! He..he..guyon!”.
Tempat kos Aan Subiyanto jaraknya dari kampus 100 meter-an. Kami berjalan kaki. Tak seperti sebelumnya jantungku selalu berdebar jika berjalan disampingnya.. Kini, tidak lagi. Desiran ombak jiwaku bergerak mendamaikan dan begitu menenangkan. Aku hanya merasakan kebahagiaan demi kebahagiaan itu terus menyelimuti dimana pun, apapun dan dengan siapapun. Benar-benar luar biasa, pasca krisis keterpurukan yang pernah ku alami sebelumnya. Aku telah seperti berada di dunia yang tanpa sifat kebineran dan kontradiktif. Cintaku yang bersemi sudah tidak mengkerut (berdebar-debar) oleh visualisasi paras ayu nan jelitanya.
Lihatlah aku perempuanku…..
Aku sudah lebih dari musafir kehausan yang telah berubah menjadi raja diraja….
Memimpin gurun pasir gersang nan tandus penuh dengan bangkai berserakan…..
Meniduri bayang sendiri dikesunyian gurun dengan tertawa….
Merindu kepada entah, mengharap kepada entah, bercinta dengan entah, dan bermani karena entah..!
”Hey, masuk! Waduh, kalian sok selalu runtang runtung!. Koyok wis pacaran, ae?”, kelakar Aan seenak udelnya menyambut kedatangan kami. Kalimatnya seperti sedang menelanjangi kemalu-maluan-ku.
Aku tak terpengaruh. Aku juga berusaha untuk tidak terpojok. ” Lho, awake dewe kan wis pacaran, yo Ning?. Awakmu ae sing gak gerti kabare manuk, An!”, selorohku sambil mengedipkan mata meminta Nining mengangguk. Nining mengangguk seperti terhipnotis, pura-pura setuju dengan mimik sok serius.
”Halah…kuammpret!! Yo wis monggo mlebet Mawon. Masuk saja. Duduk disini dan dipenakke. Aku mau ngadep Bu Kos dulu. Tapi kamarku ojok di gawe macem-macem, yo?”.
Pintu kamar tetap dibiarkan terbuka. Kami ditinggal berduaan didalam kamar. Seketika, entah, seperti mendapat wahyu dari langit, aku merasa diberi kesempatan untuk menuangkan ritual kata cinta kedalam cawan anggurnya. Hati terdalam membisik untuk lekas menyuguhkan cinta terpendam kehadapan sang ratu. Saksi kamar bisu Aan sudah siap mendengarkannya..!
”Ning, aku nang jeding disek, yo?”. Aku pamit, keluar sebentar ke kamar mandi depan. Didalam kamar mandi, aku memutar otak, memilih kata-kata, memikirkan kalimat yang bisa mewakili perasaaan, kalimat yang mewakili cinta untuk tidak memiliki, dengan perasaan yang ikhlas, tidak mendesaknya, menuntut jawaban iya atau tidak, bisa mewakili kepentingan orang tua, tidak mengagetkan yang mendengar, mengalir dengan tenang, slow, dan suasaan tetap cair terkendali.
Biarlah bagi mereka, atas nama cinta kematian menjadi pesta yang dirayakan.
Cinta bagiku adalah nyawa yang berkesenimbangan…
Cintaku bukan mata pisau yang merobek jantung pencintanya…
Cintaku bukan racun yang membunuh pengampunya…
Setelah kurasa siap, aku, datang kembali kekamar, duduk menyila dialas karpet tepat dihadapan Nining. Bagai dua orang sufi yan sedang berbagi keindahan atas gelora pengalaman mistik cintanya. Suasana kebekuan pun terpecah dengan suara-suara keihlasan penuturunnya..
“Ning, aku mau jujur nang awakmu”.
“Jujur apa?”. kata Nining dengan kepala menunduk, sok sibuk membolah-balik buku. Sepertinya, ia sudah bisa menebak apa yang akan kukatakan selanjutnya.
“Tentang perasaan ku nang awakmu.” Ruang kamar pengap Aan selaksa berada di gubuk persawahan sebelah rumahku dengan angin sepoi-sepoinya.
”Sory banget, yo ning…!. Awalnya aku gak kepingin duwe perasaan koyok ngunu, perasaan seneng nang awakmu! Tapi kabeh iku, teko dengan sendirinya, Ning!!.”, kulihat nining masih tertunduk mendengarkan.
“Sori, yo! Roso seneng itu datangnya gak bisa aku hindari. Aku gak iso membunuh roso iku. Aku kudu ngakui, kudu jujur, aku ancene seneng. Yo… yoopo maneh. Tak terimo ae, Ning. Meski iki kurang pantes kanggo awakmu, mungkin!”.
Nining terdiam. Seakan ia memberi kesempatan seluas-luasnya aku menumpahkan perasaan yang sudah tiga tahun terpendam. Lalu Nining menengadahkan kepala. Ekspresi wajahnya terlihat seperti orang yang sedang menikmati udara segar dijendala.
Sebelum ia menimpali, aku melanjutkan. “ehmmm, ….aku ngomong iki gak duwe maksud ben awakmu gelem nang aku. Ben awakmu dadi pacarku. Aku gak nuntut macem-mancem, Ning!. Sing penting awakmu weroh, ae!. Mendengarkan kabeh sing tak pendem sampe saiki.. Ehmmm…, aku gak perlu jawabanmu, opo iyo, opo gak. Terpenting aku wis mari ngomong”.
Situasi pesta ritual pengungkapan cinta terpendam ini harus selalu berada dalam kendaliku. Tiba-tiba….tanpa aku duga sepatah omongan keluar dari mulut Nining dengan mimik berseri-seri, ”gak popo!”.
Huff….aku mulai terganggu!! Kendali situasi mulai goyah. Kalimat tidak apa-apa dari mulutnya dengan mimik berseri-seri menggoda saraf-saraf kerinduanku mengalir dan menggedor-gedor jantung cintaku. Konsentrasiku mulai buyar. Selekas mungkin aku harus menguasai keadaan diri.
“ Kesuwon, Ning…ehmmm…tolong mulai mari ngene, besok-besok, hubungan kita koyok biasane yo.? Ojok berubah. Ojok berjarak loh! Sukur-sukur tambah dekat, ae!..he he ..he.. Oyi, Ning?”.
”Tenang ae, aku wis ngerti kok. Jalok mu koyok biasane, yo kayak biasane ae lah! Opoo awakmu keberatan tah, bek hubungan sing koyok biasane, iku?”, kata Nining terlihat desiran-desiran aneh terjadi juga padanya.
Hah!!! Gelagapan juga dengan pertanyaan menohok seperti itu. Untung Aan subiyanto cengengas-cengenges cepet datang, langsung nyerocos bla bla bla tentang bu Kos nya yang tak punya pengertian kompensasi sedikitpun atas keterlambatan bayar kosnya.
”Wis An aku mule disek ae. Sori, An, masih ada keperluan mendadak dirumah. Ngunu ae Ning, yo?. Ojok lali An, Nining dianter nang kossane engkok. Ok..assalamualaikum kabeh, yo?”
Senja-senja berikutnya datang menyambutku dan nuansa yang dibawanya membuatku terpasung dalam kebahagiaan ditengah keterbatasan-keterbatasanku. Hujan adalah limpahan air mata kebahagian manusia yang tak sampai. Maka tersungkurlah aku diantara rintiknya. Dan kita pun akan merasakan kenikmatannya-kenikmatannya. Oh, sayang!..Aduh, aku cinta kamu banget sayang! Segala rasa, segala cipta, segala yang ku punya, telah tersungkur pada altarmu sayang…!

21 Okt 2011

Ketika Cinta Bertasbih Dipersimpangan Jalan Cinta


Sebelum aku mengenal gadis itu, cinta itu aku maknai sebagai jalan hidupku untuk selalu bermunajat kepada Allah, untuk selalu bercengkrama dengan sifat-sifat Nya. Setip detik, setiap menit, siang dan malam hatiku ber-wirid-an, “Allah, Allah, tanpa henti”. Itu benar, aku tidak bohong. Aku tidak mengada-ngada, bahwa makna dan praktik cintaku hanya tertuju kepada Allah.

Mulanya aku biasa saja. Tak ada yang istimewa. Tak ada getaran-getaran jiwa setiap kali aku bertemu atau ngobrol-ngobrol dengannya. Padahal untuk ukuranku, dia begitu cantik. Wajahnya mirip Wulan Guritno dengan tinggi badan 155 cm. Anaknya humoris, dan sangat nyambung-bung bila diajak ngobrol. Sering-kali kami berjam-jam mengahabiskan waktu, hanya untuk obrolan yang bersifat the north of the south (Red: ngalor-ngidul). Awalnya, selama tiga bulanan berjalan, perasaanku masih biasa saja padanya. (Walau akhirnya, aku benar-benar jatuh cinta sepihak padanya!).

Bagiku selain kepada Allah, cinta yang ada didunia bukanlah cinta kesejatian: “Rindu selain kepada Allah merupakan tindakan menyekutukan Nya. Kekaguman selain kepada Allah, adalah perselingkuhan hati atas kemahakuasaanNya”. Kalimat-kalimat ini bukanlah kalimat pejoratif untuk memperindah cerita. Sungguh, waktu itu aku masih terpukau dan benar-benar merasuki kebenaran jalan tasawwufnya Imam Ghozali, jalan cintanya para kaum sufi, dan, yang sangat membekas adalah kesejatian cintanya Robi`ah. Betapa ektasis dan mengharu biru, ketika Rob`iah dengan isak tangisnya menghaturkan kejujurannya: “Aku mencintai-Mu dengan dua cinta. Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu. Cinta karena diriku, adalah keadaan senantiasa mengingat-Mu. Cinta karena diri-Mu, adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir. Hingga Engkau ku lihat. Baik untuk ini maupun untuk itu. Pujian bukanlah bagiku. Bagi-Mu pujian untuk semua itu”.
Aku mengenal gadis itu pada 11 tahun yang lalu. Itu bukan fiksi. Entah dimana dia sekarang, sudah 8 tahun-sampai sekarang- tak pernah lagi bersua kabar dengannya. Namanya, Nining Setihari. Dikampus anak itu jarang masuk kuliah. Super cuek dan sekaligus pemalu. Sudah tiga kali pindah-pindah kampus, sampai dia terdampar dan mengenalku disalah satu perguruan tinggi swasta di Jember..

Dia anak orang kaya didesanya. Pernah ku memergoki, secara sembunyi, sering Nining membawa mobil pribadinya parkir dipelataran kampus. Setiap harinya tidak berjilbab, bercelana jin dengan berbaju hem lengan panjang. Sukanya bersandal jepit. Jika berkencan malam minggu dengan pacarnya, ceritanya selalu ditempat-tempat makan mewah yang romantis.

Nining setihari, sebuah pribadi yang komplek dan sekaligus misterius.
“Gak kuliah, Ning?”, sapaku saat kulihat dia bengong sendiri dibangku panjang yang biasa menjadi tempat ngobrol kami berdua. “Nggak, males!, jawabnya enteng tanpa rasa beban dosa pada orang tuanya. Dengan senyum khas nya dia balik bertanya, “awakmu?”,. “Podo, nggak pisan. Males!”, jawabku. Padahal dari rumah niatku pingin mengikuti mata kuliah Sistem Politik Indonesia. Tapi, setiap kali bertemu dengan Nining Setihari, setiap kebimbangan hati itu muncul, selalu aku putuskan memilih mengobrol berjam-jam dengannya.

Dialah yang berkenan mendengar kegelisahan pemikiran dan kejiwaanku selama ini. Pun sebaliknya, akulah yang mau dan selalu bersedia mendengar, memperhatikan, terkagum-kagum, terawa-tawa apa saja yang keluar dari mulutnya. Mulai dari rasional, sampai pandangan mistiknya. Dari cerita yang benar-benar mewah sampai remeh temeh, dari yang benar-benar lucu-sampai yang tidak lucu pun, aku masih tetap saja setia manggut-manggut menyimaknya.

Demikianlah, waktu berjalan begitu cepat. Hari berganti minggu. Tanpa terasa sudah tiga bulanan aku sangat akrab dengannya. Jarang kami mengikuti kuliah, kebanyakan setiap bertemu digunakan mengobrol di bangku panjang dilantai tiga. Atau kalau jenuh, biasanya berpindah keruang perpustakaan. Hampir tidak pernah aku menyetujui jika dia meminta ngobrol dikantin kampus. Atau, aku takkan pernah bersedia bila diajak pulang berdua walau hanya sampai dipintu gerbang. Biasanya kusuruh dia pulang duluan. Pernah dia menanyakan hal itu. “Karena aku ketemu awakmu, lalu akrab koyok ngene, bukan untuk diketahui publik. Biarlah, awak dewe ketemu dan ngobrol asik koyok ngene, ae. Gak usah diubah-ubah,lah. Dan mulie dewe-dewe”, demikan alasan diplomatisku.

Padahal sejatinya aku ngeles. Itu alasan konyol. Sebenarnya aku minder jalan berdua dengan gadis cantik sepertinya. Apalagi kalau diketahui oleh teman-teman ku, pasti digojlok habis-habisan. Bisa –bisa, pingsan ditengah jalan!. “Lha wong sangu kuliahku saja pas-pasan!. Baju hanya punya tiga macam, celana jin dua yang layak pakai dikampus, dan itupun belinya di JTC (JTC: Jatian Center, tempat jualan baju rombengan dipajang berderet-deret dipinggir jalan raya Rambi Puji. Sampai sekarang JTC masih berdiri megah). Kok, maunya bertingkah macem-macem bareng cewek segala. Apa kata emakku, nanti?”.

Selama liburan kuliah, dalam kesendirian, hari-hari kujalani begitu berat. Aku lebih banyak menemukan keterasingan diri dan mendamparkan kepulau yang tak bertuan. Hantu-hantu kebersamaan dengan Nining sering menginterupsi setiap jengkal langkah. Sarat menjeda keteraturan detak jantung. Magma kerinduan mulai meletup-letup mengguncang nalar. Jurang waktu terlihat menganga didepan mata batin. Virus bayangnya menyusup kesegala penjuru relung-relung jiwa religius. Seperti, ratu Cleopatra yang telah memenangkan pertempurannya dari hegemoni laki-laki, ia tersenyum sambil mengejek ke-aku-anku. Senyum itu begitu mewah nan indah, lebih indah dari sekedar senyum para bidadari yang dijanjikan kelak disurga sekalipun.

Seringkali aku menghindarinya. Terengah-engah aku berlarian agar ia tak selalu mengikuti. Dipematang sewah dekat rumahku, berharap ia hilang dimakan orang-orangan sawah yang sedang menjaga padi menguning, atau, dihembus terbang oleh angin kencang bila sore hari telah tiba. Namun angin sawah itu, cuma bergerak sepoy-sepoy. Seakan beriring dengan burung-burung sawah yang cerewis, menggoda, berbisik, dan bersautan, “mungkinkah, Saiful sedang jatuh cinta pada Nining Setihari?”.

Di suatu malam aku terdampar dalam kesunyian, begitu mencekam! Menangis dan lirih! Tidak seperti malam-malam sebelumnya, aku sering pula menangis pada Nya karena pengakuan dosa, atau karena lalai mensukuri nikmat yang selalu diberikannya setiap saat. Tapi, tangis itu begitu menyayat, begitu menusuk alam bawah sadar. Tidak terbersit, saat dalam sujud kepada Nya, do`a-do`a itu menghujam protes membaur dalam isak tangis: “Ya Allah, kenapa engkau beri aku kesempatan mengenalnya. Bukan aku telah mencukupkan nama Mu dihatiku. Tidak kah aku telah teramat damai bercengkerama dengan MU? Dengan asma`ul husnamu aku telah banyak kau ajarkan tentang kehidupan ini, ya Allah……! Kenapa, a..k..uuu, mulaiiii memikirkannya, ya Allah? Jalan pikiranku, akan kebesaran Mu mulai memecah kepadanya. Tidakkah aku ini hanya mahluk lemah, yang hanya bisa melaksakan takdir-takdir Mu jika engkau menghehendakinya? Khoirihi wasarrihi minallahi ta`ala. Aku itu anak orang miskin, ya Allah. Dia tidak pantas aku miliki. Aku tidak ingin jatuh dihadapannya. Aku tidak ingin merindu seperti ini padanya.”

Sebulan sudah tak pernah berjumpa dengannya. Rindu ini hanya bisa dipendam. Biar sudah tahu alamat dan nomer telpon rumahnya, aku tak berusaha menghubungi Nining. Resikonya amat besar!. Lagian, penampilanku yang pas-pasan ini tak memungkinkan meyakinkan keluarga Nining percaya, bahwa aku ini anak baik-baik. Jadi, cari aman-aman saja. Toh, aku juga telah mampu menstabilkan kembali guncangan-guncangan jiwa menjadi kepasrahan, bahwa, semua ini tabir Allah dan kelak akan tersingkapkan hikmah-hikmahnya.

Ketika Cinta Bertasbih Nining

“Dug, dug, dug…!”. Bunyi getaran jantung bak sound sistem acara mantenan tetangga. Tanpa terduga, Nining berkelebat di salah-satu kerumunan papan pengumuman depan kantor Dekanat. “Ufh..! Untung dia tak memergoki. Selekas mungkin menetralisir diri, bersembunyi dibalik tembok. Secara otomatis pula, wirid Allah Allah, iramanya semakin kupercepat dalam hati. Setelah dirasa mampu meyakinkan diri, “bahwa Nining juga mahluk Allah yang lemah. Dia tak lebih istimewa dariku. Dia adalah mahluk bodoh dan hina juga. Karena kebetulan dikayakan, diberi kecantikan, dan dimuliakan Nya hingga dia menjadi seperti itu.” . Sambil menghela napas panjang, aku langsung meluncur keruang dekanat dengan tetap bertasbih dalam hati.

Ternyata benar dugaanku. Sebelum masuk ruangan, aku berpapasan dengan Nining. “Hai, Ning. Wis tadi?”, tanyaku tanpa berani menatap matanya. Ingin sekali menyelidik perasaannya lewat bola matanya; adakah dia merindu selama sebulan tak bertemu, seperti aku yang selalu merindu?. Puih, sumpah aku tak akan coba-coba lagi, peristiwa getaran detak jantung tersebut telah membuatku termehek-mehek. “Iyo, alah awakmu sombong gak gelem nelpon? Wong wis tak ke`i nomer telpon. Yoopo liburanmu?”, kata Nining menimpali. Aduh, aku harus jawab apa ya? “ Anu Ning, sibuk mancing. Diskusi bek wong-wong. Alah, podo ae Ning liburan gak liburan. Paling-paling mancing, moco, diskusi!. Ya, ngunu-ngunu ae lah. Gak onok sing istimewa. Liburanmu dewe, yoopo?”, tanyaku balik memancing obrolan agar lebih panjang dan mengalir kemana-kemana.

Obrolan demi obrolan, pertemuan demi pertemuan, terus mengalir setiap hari. Rasa rindu, bukan semakin hilang tapi malah semakin bertumpuk-tumpuk. Memang iya. Setiap kali aku bertemu dan ngobrol dengannya telah aku netralisir dengan wirid hati. Memang, aku sudah pandai mengendalikan diri tidak menjadi seorang terjatuh dihadapannya. Aku telah begitu tenang, begitu cerdas, mengalirkan obrolan menjadi tema-tema kehidupan yang mendalam. Tapi akbatnya, wirid asma Allah kemudian berganti hanya kulakukan pada siang hari saja. Dan pada akhirnya hanya berfungsi untuk menetralisir sikap hati dihadapannya. Hakikat wujud kekuasaan Allah pun, melenceng, menjadi sekedar kekaguman dan rasa sukur berlimpah atas pertemuan demi pertemuan Nining.

Sementara bila malam-malam telah tiba, jiwa terus gelisah menunggu selekasnya malam berganti siang. H ati terus mengenang kesan indah pasca pertemuan siang hari. Dan pikiran tanpa bisa di kendalikan terus membayang yang akan terjadi esok. Benar-benar dahsat. Hampir-hampir aku telah melampaui antara batas kenormalan dan kegilaan. Seumur-umur aku tak pernah mengalami hal semacam ini. Kerinduan yang total, mendalam, dan mata airnya selalu menyumber tak pernah ada habisnya.

Setiap malam aku tak bisa tidur. Jika kupaksa, hanyalah usaha sia-sia, bahkan semakin menambah penderitaan menahan rasa rindu. Tanpa sadar, berjam-jam waktu telah kulewati hanya untuk mengenang peristiwa-pwristiwa manis saat bersamanya dikampus. Satu kalimat, atau beberapa gaya khas tertawanya, membuat aku terngiang-ngiang semalaman. Sering aku sengaja mereplay-nya menjadi wirid dalam hati sampai lelah lalu tidur terlelap. Sering pula sampai pagi, pikiran demi pikiran terus menerus merancang tema obrolan untuk esok, meracik kata-demi-kata, dus, humor-humor yang akan disajikan dalam pertemuan selanjutnya. Tiap malam hati mengeja kesan kenangan hari-hari bersama, dan merabanya menjadi sebuah harapan cinta.
Walau wirid malamku dari asma` Allah telah berganti nama Nining, tapi, ku yakin Allah pasti mengampuni dan akan membukakan tabirnya kelak. Duh, gusti Allah mengapa aku harus kau lewatkan jalan menyimpang seperti ini?.
Wirid-an atas nama Nining disetiap malam-malamku, tasbeh yang ku putar telah berubah. Bak ular menganga tasbih cinta itu menyemprotkan bisa ganasnya dan mematikanku perlahan.

Setelah setahunan aku jalani, wirid Nining merupakan pekerjaan yang teramat menyiksa. Aku mulai mencari pelarian hati dan pikiran, agar tidak terus menerus mewiridkan Nining dan benar-benar menjadi gila karenanya. Perlahan-lahan aku mengalihkan diri, sibuk dengan menggali pengetahuan-pengetahuan dari buku, TV, atau berdiskusi dengan Kyai sepuh desa Glundengan terkait tema sejarah, agama, politik dan ke NU-an. Walau juntrung-juntrung nya semua hasil bacaan dan diskusi, tetap seja diolah agar menjadi obrolan menarik dan bisa menyenangkan Nining dikampus. Sering kali setiap bacaan di buku atau di koran, kira-kira ada kalimat yang menarik dan perlu disampaikan kepada Nining, pasti aku garis-bawahi untuk dihapalkan.

Menjadi masalah, jika selesai membaca atau berdisikusi tidak sampai membuatku terkantuk dan bisa tertidur dengan mudah. Hantu-hantu Nining pasti menunggui, lalu mengoda disudut-sudut kamar gelap sampai matahari menyingsing. Dan dapat dipastikan aku sibuk kembali mewirid nama-nama Nining. Makanya, setiap pulang diskusi dari rumah Kyai atau habis nonton TV dirumah saudara, jika belum terkantuk, aku jarang langsung pulang ke rumah. Biasanya aku habiskan begadang ditempat nongkrong teman-teman kampung yang sedang berjudi, sampai akhirnya, aku kemudian terjatuh kedalam dunia perjudian.

Awalnya, aku mencari tempat pelarian diri, lama-lama ketagihan, karena jika sampai menang uang itu membuatku PD jajan dikantin kampus, walau Nining sendiri mati-matian tak pernah mau dibayari.
Terkadang saat kalah dalam berjudi uang SPP 1 semester yang sedianya dibayarkan amblas dimeja judi. Daripada kalahnya aku lebih banyak menangnya. Permainan yang mengasah kemampuan psikologis dan kepekaan membaca mental dan kartu lawan ini, dikalangan teman-teman kampung aku lebih jago. Pernah hanya bermodal sepuluh ribu, uang berlipat menjadi 150 ribuan. Tahun 1999, uang segitu sudah lumayan banyak untuk nraktir atau sekedar pamer dari dalam dompet. Sebelum masuk dompet uang 1 ribu-an yang kumel itu, biasanya aku tukar dengan 50 ribuan di Pom bensin. Setiap menang dalam judi, tak ada lain, pasti ujung-ujungnya buat Nelpon Nining berjam-jam lewat Wartel. Waktu itu HP belum beredar dikalangan kampus.

Nining tidak tahu, pastinya tidak boleh tahu, jika aku sudah keranjigan dengan Judi. Pernah juga, setelah menang judi semalan suntuk, paginya, aku langsung Telpon Nining. Katanya hari ini, dia ada jadwal kuliah itu. Nining menungguku jam 8 pagi di Perpus. Aha…! Sudah seminggu tak jumpa dengan Nya. Mungkinkah dia sedang merindukanku...? Selesai mandi, aku menyetrika salah satu dari tiga baju yang bisa aku andalkan tampil dihadapan Nining. Namun aku bingung, uang ribuan kumel dari meja judi yang berjumlah sampai 100 ribu lebih itu tak bisa aku tukar. Terburu-buru kekampus. Jam menunjukkan sudah pukul 7 pagi. Terpaksa, uang ribuan itu aku setrika juga. Lalu kumasukkan ke-tas bersama buku-buku materi kuliah yang selalu setia berada didalamnya.

Jarak rumahku dengan kampus, sekitar 20 Km-an. Waktu tempuhnya dengan berganti dua kali angkutan hampir 1 jam-an. Perkiraan jam 8 tepat aku sudah sampai di Perpus. Jika terlambat Nining pasti tak sabar menunggui lalu ngacir begitu saja.

Sial bin apes! Saat aku sudah berada didalam Bis Kota yang hampir mendekati kampus, rasa kantukku tak bisa dikompromi,dampak semalaman tak tidur. Bayangan akan segera bertemu Nining, membawaku pergi ke alam mimpi. Aku tertidur didalam bis kota! Baru terbangun, saat sampai diterminal Pakusari, kondektur bis membangunkannya. Kulirik jam tangan, menunjukkan pukul 8. 30. Berarti, aku sudah terlambat setengah jam. Bila aku balik ke kampus memakan waktu setengah jam. Berarti pula sudah tak ada Nining di Perpus. Daripada kekampus dengan pakaian lecek dan bau badan yang badhek, ku putuskan balik lagi kerumah dan melanjutkan mimpi-mimpi indah tentang Nining yang sempat tertunda di Bis Kota tadi
.
Begitulah, ketika cintaku berganti tasbih, saat zikir berubah atas nama Nining Setihari. Jalan cinta yang membelah pun menjadi persimpangan antara cinta kesejatian kepada Allah dengan cinta yang menyesatkan. Penyimpangan cinta itu menjadi tabir terkuak samar-samar dalam ruang-ruang penderitaan. Cinta berganti tasbihku pada Nining, menggerus kedalam jurang yang amat dalam dan gelap. Keterperangkapan itu menghimpitku dalam kegelisahan-kegilasahn menyesakkan. Cinta yang telah berganti tasbih, sekaligus menyadarkanku, bahwa aku hanyalah manusia biasa yang punya hak dicintai-mencintai. Cinta tak harus diperlawankan diantara wujud-wujud cinta. Kepada dan hanya Allah adalah mutlak sebagai wujud keyakinan, tanpa perlu dipertentangkan dengan Cinta sepihak padanya.

 Akan tetapi, bukankah hakekat cinta adalah penderitaan? Tidakkah, cinta sepihak itulah yang berhak masuk ke ruang-ruang penderitaan? Bukankah cinta yang membakar jiwa-jiwa para pecinta hingga lebur dalam istana penderitaan yang telah banyak melukiskan cakrawala kisah abadinya?

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More