Napak Tilas Perjuangan Berdarah Wong Tani Ketajek


Tulisan saya ini merupakan hasil pergumulan saya dengan komunitas petani Ketajek. Pergumulan yg berupa pertemanan mendalam itu memberikan banyak pelajaran berharga bagiku yakni, perjuangan-perjuangan yang dipertontonkan dan sedang dilakukan komunitas Ketajek adalah pengetahuan dan pengalaman perlawanan kaum tani terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan negara yang dimainkan berdasar kesadaran, kemandirian dan bukan sebagai obyek takberdaya yang perlu diberdayakan oleh kaum pemberdaya. Mulai dr definisi perjuangan, filosofi, paradigma, logika, sampai strategi dan taktik perjuangan, keseluruhannya oleh, dari dan milik mereka sendiri menjungkirbalikkan anggapan bahwa komunitas Ketajek adalah kaum bawah tak berdaya dan sekaligus menantang /menampar keilmuan/ pengetahuan para aktifis aliran pemberdayaan dengan semangat adiluhungnya (kaum intelek yang merasa lebih tinggi keilmuannya dari rakyat kebanyakan). Berikut catatan saya tentang perjuangan komunitas Ketajek yang berseri mulai dari tahun 2000 sampai 2010.


Perjuangan menentang keputusan “Tali asih” (2002-2003)

Kedatangan pasukan polisi itu disambut gembira para petani, karena dikira akan membantu mereka menghadapi para penjarah kopi yang dikabarkan akan menyerang Gudang Tengah hari itu. Perintah polisi mengumpulkan senjata tajam pun dituruti petani dengan sukarela.

Entah bagaimana, tiba-tiba Mayor Bambang Trianto meneriakkan aba-aba siap tembak. Lalu, sejurus kemudian terdengar rentetan tembakan ke arah kerumunan petani. Jarak petani paling depan dengan satuan Brimob barisan depan hanya sekitar 5-7 meter. Menghadapi tindakan itu, para petani tak langsung melarikan diri, melainkan mundur ke salah satu pelataran gudang.
Akibat penembakan itu, sedikitnya sebelas orang terluka dan seorang tewas akibat kehabisan darah. Korban tewas itu adalah Anwar Cholili 25 tahun dikubur di desa Pakis. Siang itu juga polisi membawa 98 petani ke Markas Polres Jember. Esok harinya, empat rumah semi-permanen milik petani di Gudang Tengah dibakar aparat keamanan. (Kompas, 31/05/1999). Pasca peristiwa penembakan, sebanyak 83 petani ditahan untuk selanjutnya disidang dengan tuduhan melanggar ketertiban umum dan penjarahan. Dalam sidangnya di Pengadilan Negeri Jember, rata-rata mereka divonis dengan hukuman 6 – 9 bulan penjara.

Pasca tragedi jum`at kelabu atau setelah dipenjarakan 83 orang ketajek, kondisi psikis warga ketajek menjadi traumatis dalam melanjutkan perjuangannya. Mereka sangat ketakutan dan mengalami keputus-asaan. Sementara opini bahwa sengketa tanah ketajek telah selesai dengan ganti rugi uang 1 Milyar menyudutkan Warga ketajek kearah sebagai komunitas penyerobot tanah negara. Di tahun 2000 sampai tahun 2001 perjuangan warga ketajek bisa dikatakan mengalami kebuntuan.

Melihat realitas perjuangan warga ketajek yang menyedihkan, beberapa orang kemudian mengambil ininsiatif untuk mengemudikan kembali arah perjuangan tanah ketajek diantaranya bernama; bapak Suparjo, bapak Yahyun, bapak Kusen, bapak Haji Ansori, dan kawan-dan kawan lainnya. Mereka ini menerima surat kuasa dari 244 warga Ketajek agar meruskan kembali perjuangan tanah ketajek kearah perjuangan yang sebenarnya.
Langkah awal yang dilakukan oleh para pejuang tersebut yakni membangun konsolidasi internal warga perjuangan yang telah mengalami degredasi dan ke-carut marutan nilai-nilai perjuangan. Dalam rangka membangun konsolidasi tersebut, Suparjo-(terpilih sebagai ketua koordinator Masyarakat Pemilik Tanah Ketajek)- berusaha menciptakan kepercayaan antar warga perjuangan ketajek dan menghilangkan kecurigaan berlebihan pada pihak luar. Dalam pengakuan Suparjo, bahwa saat pertama kali memimpin perjuangan, banyak warga ketajek yang mencurigai dirinya hanya untuk mengambil keuntungan pribadi dibalik kasus sengketa tanah ketajek. Untuk itu suparjo menunjukkan diri terus menerus tanpa lelah dengan itikad dan kinerja tanpa pamrih dalam berjuang. Pada akhirnya warga ketajek menerima Suparjo sebagai tokoh panutan pejuang ketajek. Setelah berhasil mendapat tempat dihati warga ketajek, Suparjo juga berhasil dengan pelan-pelan menghilangkan kecurigaan berlebihan warga ketajek pada pihak luar.
Setelah di tingkat internal warga ketajek mulai solid, para koordinator perjuangan warga ketajek yang dipimpin oleh Suparjo kembali melanjutkan perjuangannya dengan tema, ‘menuntut kembali tanah warga ketajek pada pihak-pihak terkait, mulai dari tingkat pusat sampai daerah’.

Seperti yang telah diuraikan diatas, pasca peristiwa tragedi Jum`at kelabu, sengketa tanah antara warga ketajek dengan PDP Jember tahun 1999 diputuskan penyelesaiannya pada tahun 2000 dengan pemberian ganti rugi atas tanah ketajek atau tanaman kopi ketajek dengan uang 1 milyar. Pemberian ganti rugi uang 1 Milyar ini oleh pihak eksekuti dan legislatif Jember diberi nama pemberian uang tali asih. Maka sengketa tanah ketajek antara warga ketajek dengan PDP Jember dinyatakan telah selesai. (Surat-surat keputusan pemberian ganti rugi atas sengketa tanah ketajek dihalaman lampairan).

Boleh jadi penyelesaian sengketa tanah ketajek dinyatakan selesai oleh pemberi uang (Bupati Winarno dan DPRD Jember) dan penerimanya (Warga disekitar kecamatan panti dan koordinator). Namun tidak bagi warga ketajek yang tergabung dalam MPTK (Masyarakat Pemilik Tanah Ketajek) dibawah pimpinan Suparjo. Setelah sempat mengendap selama dua tahun, warga perjuangan ketajek di tahun 2002 kembali menunjukkan eksistensinya dengan membangun opini tanding atas keputusan tali asih tersebut.

Adapun opini tanding yang dikembangkan pada publik dan pihak-pihak terkait menurut pengakuan Suparjo, bahwa keputusan tali asih atau ganti rugi uang 1 Milyar dalam rangka penyelesaian konflik tanah ketajek masih menyisakan problematika pada tingkat pengambilan keputusan dan telah terjadi penyelewengan uang 1 milyar pada tingkat eksekusinya. Beberapa hal problematika keputusan tali asih tersebut yaitu: Pertama, bahwa keputusan ganti rugi uang 1 milyar sebagai bentuk penyelesaian sengketa tanah ketajek tidak jelas sebagai ganti rugi atas apa dan untuk apa (sebagaimana tertera dalam lembar surat permohonan ganti rugi dan surat keputusan DPRD Jember). Kedua, bahwa jika keputusan itu dimaksud sebagai ganti rugi atas tanah ketajek maka uang sebesar 1 Milyar tersebut tidak sebanding dengan harga tanah ketajek yang mempunyai luas 477,8 Ha. Jika keputusan tersebut sebagai ganti rugi atas tanaman kopi maka surat keputusan pemberian ganti rugi tersebut hanyalah mengulang keputusan yang sama pada tahun 1973 tentang pemberian ganti rugi tanaman kopi secara paksa pada warga Ketajek waktu itu. (Hasil wawancara dengan Suparjo, September 2009)

Pada tingkat eksekusi, pebagian uang Tali 1 milyar tidak tepat sasaran dan banyak penyimpangan. Menindak lanjuti penyimpangan itu, Warga ketajek kemudian melayangkan laporan pengaduan kepada Polres Jember. Hal ini diakui oleh pihak Polres Jember.

Dalam sebuah acara Talk Show penyelesaian konflik tanah Ketajek pada tanggal 19 Februari 2005 Polres Jember melalui Dwi, menyatakan ;

Memang kami pernah menerima laporan penyelewengan dana satu miliar dan sampai sekarang masih dalam proses penyelidikan. Cuman, kendalanya penyidik dalam kasus tersebut bahwa Kapolres yang waktu itu masih menjabat, tepatnya 2002, sekarang sudah pindah tugas ke Aceh. Memang masalah Ketajek sangat rumit. Namun, permasalahannya, apakah dana tali asih yang diberikan oleh Pemkab Jember kepada masyarakat Ketajek? Apakah berupa konpensasi, atau berupa ganti tanah atas jasa masyarakat Ketajek tempo dulu? Kita sendiri belum tahu. Nah ini masih tanda tanya juga. Kalau masyarakat melaporkan adanya penyimpangan tentang penyaluran dana satu miliar sebagai tali asih, kita nanti akhirnya bisa mengarah pada undang-undang korupsi. Karena dana yang digunakan berasal dari APBD. (Transkrip pada dokumentasi MPTK dalam Talk Show di radio Prosalina tanggal 19 Pebruari 2005).

Berbekal logika hukum perundangan dan temuan penyelewengan uang tali asih, warga ketajek memulai perjuangannya melalui jalur diplomasi forum yang disertai dengan penekanan (demontrasi) pada pihak-pihak terkait agar wacana sengketa tanah ketajek dibuka kembali setelah dinyatakan selesai. Setiap minggu sekali Suparjo bersama puluhan warga ketajek mendatangi Komisi A DPRD Jember. Tuntutan yang disampaikan pada saat itu bahwa tanah ketajek harus dikembalikan pada rakyat bukan ganti rugi uang 1 milyar. Dan mereka menuntut agar perpanjangan HGU tahun 2000 dibatalkan.

Selain menekan DPRD Jemeber, Warga Ketajek juga melakukan tekanan pada BPN Jember. Pada harian kompas, warga ketajek mendesak BPN Jember agar mengkaji ulang HGU PDP Jember karena cacat hukum. Dengan membawa puluhan poster warga ketajek juga menggugat keputusan pemberian tali asih kepada warga sebesar 1 milyar tidak sah. Suparjo mengatakan, “………..Pemberian tali asih itu oleh warga ketajek disinyalir terkait dengan proses perpanjangan HGU PDP Jember tahun 2000. karena jika menjelang pemberian HGU masih ada tuntutan dari masyarakat, maka menjadi kewajiban dari penerima hak untuk menyelesaikannya.” (Kompas, 10/10/ 2002)
Penekanan demi penekan yang dilakukan oleh warga ketajek di tahun 2002 pada DPRD Jember dan pada BPN Jember membuahkan hasil respon pisitif. BPN Jember akan meneruskan tutuntan warga ketajek tentang pembatalan HGU PDP Jember ke BPN pusat. Sedang DPRD Jember lewat suara ketua komisi A Totok Siantoro dalam tabloid teropong edisi 47/IV/4/2002, memandang perlu membuka wacana baru bagi penyelesaian tanah ketajek. Totok Siantoro menyatakan: “….Jika memang pimpinan dewan memandang perlu membuka penyelasaian baru dengan mempertemuakan berbagai pihak terkait dengan penyelesaian kasus ketajek, ada beberapa hal utamanya terkait dengan data dan fakta yang masih perlu di uji materi. Dengan cara ini kebuntuan dapat segera dicairkan sehingga persoalan tanah ketajek tidak berlarut-larut”.



Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More