Ungkapan cintaku Lebih Kerbis dari Simbol Taj Mahal

Subtansi pengungkapan cinta terpendamnya Santri kenthir pada gadis pujaannya, itu sama halnya kisah cinta tulusnya Shah Jehan pada isterinya Mumtaz ul Zamani.

Awas! Saat Kaum Gay Bergentayangan Di Facebook Ku

Tulisan ini sekedar berbagi pengalaman unik selama berjejaring di facebook. Bukan untuk menghukumi minoritas kaum Gay.

2 Okt 2011

Kisah Cinta Kenthirku Menginterupsi Ideologi Feminisme (Fiksi Maskulin Studies)


Banyak orang bersepakat terutama kaum feminis, bahwa jender adalah perbedaan laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial. Jenis perempuan distreotipkan sebagai mahluk yang lemah gemulai, bersifat feminis, pemalu, dan seterusnya. Sedang Jenis laki-laki distreotipkan kebalikannya dari kaum perempuan yakni, berjenis jantan, maskulin, kuat, tangguh, mapan, memimpin, menguasai dan seterusnya.
Hubungan laki-laki dan perempuan dalam relasi jender, menurut para ahli dan para aktifis perempuan menyimpulkan, bahwa telah terjadi ketimpangan sosial jender yang mengakibatkan ketidakadilan bagi kaum perempuan. Dalam relasi jender kaum laki-laki lebih diuntungkan dengan sistem sosial patriarkisnya, dan perempuan cenderung menjadi korban kekerasan strukturalnya.
Pada pengalaman cinta saya dalam kontek relasi maskulin vs feminin, maka, kesimpulan para ahli dan para aktifis kaum perempuan pada relasi jender diatas tidaklah benar dan patut digugat keabsahannya.
Ketika cinta menuntun menembus batas-batas jender,  ketika,  rasa cinta dalam relasi jender dialpakan keberadaannya, perlulah  merefleksi kembali bangunan konsep ilusionis atas nama kesetaraan jender yang sering diteriakkan kaum feminisme.
Dan cerpen maskulin studies saya ini adalah menginterupsi ideologi suci para aktifis perempuan atas nama dan demi pemberdayaan, kesetaraan kaum perempuan. Pertanyaan adalah, “benarkah ketimpangan jender hanya mengakibatkan ketidak adilan bagi perempuan? Benarkah relasi jender hanya persoalan ketimpangan struktural tanpa ada keterlibatan agensi cinta personal didalamnya?”
—————————————————————-
Konstruksi jender yang menstruktur saya berjenis laki-laki- selama menjalin hubungan relasional  dengan Ning Ma  yang berjenis perempuan, justru mengakibatkan ketidakadilan dan ketidak nyamananan bagi saya menyandang predikat sebagai laki-laki yang terbalut dalam baju kebesaran diri sebagai maskulin miskin. Betapa menderintanya –‘aku’- dalam wadah maskulinitas, betapa mindernya,-‘sebagai aku’- dengan label sebagai pejantan tangguh yang tak berdaya dihadapan betina cantik, elok, mewah, bernama Ning Ma.
Tidak adil rasanya kalau hanya bercinta dengan gadis cantik, kaya, cerdas, elok, priyayi seperti Ning Ma, saya harus melewati sarat-sarat patriarkis menjadi maskulin yang bermateri, lebih cerdas, keren ala cowok metropolis, berwibawa, dan sebagainya. Padahal faktanya, saya hanyalah pemuda anak dari keluarga buruh tani miskin. Jangankan untuk menyamainya dalam penampilan, untuk ongkos berangkat kuliah dan biaya kuliahnya saja sudah megap-megap!
Tidakkah cinta itu anugerah dari tuhan? Tidakkah yang berjenis laki-laki kere itu juga berhak mendapatkan cinta gadis kaya yang aku puja tanpa perlu menanggung beban kelamin sosial patriarkis? Kenapa pula cinta harus melewati relasi ketimpangan jender seperti ini?
Sementara dibalik diri sebagai pemuda miskin, konstruksi sosial menjadi laki-laki dengan sifat, watak, pembawaan, sebagai mana layaknya kaum laki-laki telah sedemikian memental dalam diri saya:
“Sebagai anak yang dibesarkan dilingkungan pedesaan, aku tidak luput pula terkonstruksi sedemikian rupa untuk bersikap dan memandang dirinya sebagai layaknya laki-laki. Memandang dan menilai perempuan posisionalnya haruslah dibawah saya. Alasan-alasan itulah, tanpa sadar, saya enggan dan menyebabkan ke-minder-an diri tampil diruang-ruang public saat dengan dengan Ning Ma. Seakan semua akan menyorot dan menyoraki relasi kejenderan yang sedang kubangun dengan Ning Ma.”
Rasa aman terbaik bagiku agar hantu relasi jender itu tidak merongrong mentalku saat bersamanya, yakni membentengi diri dengan “ideology sensitif jender”
“Ideology sensisitf jender adalah sebuah paham saya, cara saya, untuk lebih sensisitif dalam setiap melakukan relasional dengan gadis yang aku cintai ini agar kuasa jender saya tidak terjatuh.  Baik waktu mengobrol, berjalan, bersikap, memilih tempat nongkrong, saya lebih mawas supaya kelelakian saya tak tertelanjangi. Saya akan merekayasa diri, mensiasati situasi, agar pertemuan-pertemuan dengan Ning Ma tergiring keruang-ruang yang bebas dari relasi jender seperti; ngobrol berjam-jam diperpus, duduk berdua dibangku panjang yang jauh dari sorotan mata teman-teman, rame-rame duduk dikantin, menghindar pulang bareng dan lain-lain. Dengan sensitif jender, saya mengimani maskulinitas saya aman dari kenistaaan.”
Bukan karena aku ini laki-laki penakut dan tak bernyali. Aku ini lelaki hebat yang luar biasa ketika berdebat diruang publik (radio, ruang kelas, lintas kelompok, dll) yang berkait dengan komunitas marginal, rakyat tertindas, kesewenang-wenangan penguasa, dan sebagainya. Namun aku takkan berani dan punya nyali sedikitpun untuk beberapa hal sepele seperti berikut:
“Duduk bersama Ning Ma diruang kelas, jalan bareng Ning Ma, bertandang sendirian kekosannya Ning Ma, makan berdua dengan Ning Ma diwarung, dan seterusnya.”
Dituntun menembus batas benteng pertahanan patriarki
Kepingin banget! jalan bareng disepanjang jalan karimata, dan Ning Ma ada disamping kiriku, makan bareng diwarung-lesehan dengan sorot lampu temaram, atau berkencan ria dikos-kosannya. Sebenarnya sih tak ada yang melarang. Ning Ma sudah tidak punya pacar, bahkan kutangkap, Ning Ma telah berulang kali memberi sinyal untuk itu. Tapi benteng jender ini begitu dalam memental menjadi watakku, sampai berwujud keminderan diri dan aku tak bernyali sama sekali untuk urusan seperti itu.
Kepinginnya sih kepingin. Tapi gimana, yah? Disamping aku ini ndesit dan miskin, terus terang saja aku tak punya pengalaman sebelumnya:
“Bila jalan bareng, pasti temen-temenku akan nyoroti cara jalanku. Jika aku bener-bener bertandang kekosannya Ning Ma, gosip tak sedap akan cepat berkembang. Mereka akan bilang, kasihan Ning Ma diapeli cowok kere!. Apalagi sampai makan bareng diwarung. Saat membayar, aduh betapa memalukannya dihadapan Ning Ma mengeluarkan uang dari dompet murah yang berisi 5 ribuan kumel.”
Padahal Ning Ma sudah berulangkali menyuruhku, “daripada uang mu buat nelpon aku terus, kan mending buat naik angkot ketemu dikosan sini.  Atau sekalian kamu kos aja. Cari kos yang murah disekitar sini. Dari pada bolak-balik pulang pergi. Kan lebih enak, aku bisa main kekosmu atau kamu bisa sering main kekosanaku.” Ning Ma mulai bosan mendengar alasan ngelesku menghindar main ketempat kosnya.
Suatu ketika, entah setan mana yang mendorongku punya keberanian bertandang kekosannya. Tatkala pagi, dihari Minggu, aku menelpon Ning Ma. “ Sori yo, aku gak bisa lama lama telpon. Kalau sampean mau, sampean kesini saja. rinio ae tak enteni” suara Ning Ma terdengar ketus.  Terpaksa aku bilang sori juga jika telponku telah mengganggunya. “Ya wis, assalamualaikum, Ning.” Aku mengakhiri percakapan.
“Aku kangen! Aku harus pergi ketempat kosnya Ning Ma!”  Mulai dari pagi aku melobi pak De ku yang super kikir itu agar ia berkenan dipinjam motornya. Akhirnya pak De luluh juga. Bisa dipinjam asal waktunya sore hari, plus diisi bensinnya. Setelah urusan melobi pak De beres, aku juga masih cari pinjaman baju dan celana kerumah teman yang bisa membuatku tampil keren dihadapan Ning Ma dan teman-teman kosnya.
Setelah dirasa sudah siap, aku telpon dulu Ning Ma.
“Ning, kamu gak punya acara keluar?”
“Nggak, kenapa?”, sahut Ning Ma.
“Gini, aku mau main kekosmu sekarang sambil ngantarkan buku yang pingin kamu baca kemarin!”. “He..he….bener ya? Tak tunggu lho?” timpal Ning Ma terdengar girang.
Tepat jam empat sore aku berangkat sendirian. Tampilanku terlihat sudah keren. Padahal kata teman-temanku yang memergoki, tampilanku masih terlihat Norak! Tengok sana-sini cari karimata E 59, akhirnya ketemua juga alamatnya. Sepeda motor pak De kikir ku parkir, pintu gerbang ku buka: ”Pakai assalamualaikum atau pencet bel ya? Kalau ucap salam, kan gak mungkin kedengeran dari dalam? Pasti pakai bel, nih! Aduh, dimana pencetan belnya? Ingat-ingat letak bel rumah yang biasanya dipakai orang kaya desa, itu dimana? Ow, itu dia belnya! Tet…Tet…!”
Tanpa disangka yang membukakan pintunya Ning Ma sendiri. Hufh! Mudah-mudahan tampilanku dari hasil pinjaman ini, tak memalukan Ning Ma dihadapan teman-temannya. Setelah dipersilahkan duduk, aku agak grogi mencoba duduk layaknya laki-laki gaul yang sudah biasa main kekos-kosannya cewek. dengan pandangan lurus kedepan, wajah dirilekskan, dan badan tegap.
Rupanya Ning Ma tahu bahwa saya sedang nervous. Dia memulai obrolan ringan-ringan yang memancing omonganku agar menjadi santai.  Ning Ma juga mengenalkanku dengan seorang teman yang sekamar dengannya. “Oh, ini  namanya Santri ? Kenalkan mas, aku Diah.  Santai aja mas!. Ning Ma banyak bercerita tentang sampean”. Diah kelihatannya sangat familiar walau tampilannya sangat narsis.
Aduh, tapi kenapa Ning Ma pakai cerita-cerita segala tentang aku, ya? Apakah Ning Ma tidak malu menceritakan aku? Mungkinkah Ning Ma bangga telah akrab denganku? Atau kah dia juga merindukanku, sehingga perlu curhat pada Diah?
Tak berselang lama sekitar 10 menitan, tukang borju lewat dengan teriakannya yang khas, borju! borju! Ning Ma menawarkan makan borju dan langsung memanggil tukang borju tersebut. Selain rasa malu ditraktir cewek, aku belum tahu borju itu jenis makanan seperti apa, maka langsung saja tawaran itu aku tolak.
“Sialan!, dari pada ngisin-ngisini!”, Gumanku dalam hati. “Andai aku tahu kemudian hari, bahwa borju itu adalah singkatan dari bubur kacang ijo, murah, enak, dan gampang cara makannya, tentu aku pasti mau”
Melihat teman-teman kos Ning Ma banyak yang ikutan beli Borju, segera aku bergegas pamit pulang sebelum mereka menyelidik kejenderanku.
“Ning, aku pamit pulang dulu. Soalnya ditetanggaku entar lagi ada acara tahlilan. Ini bukunya, Ning. Assalamualaikum!”
Sengaja buku itu ku berikan dengan agak dipamerkan, supaya teman-teman Ning Ma tak curiga bahwa kedatanganku kesana dalam rangka kencan terselubung. Walau Ning Ma agak keberatan, karena dua mangkok bubur yang dipesannya sudah dibuatkan. Aku tetap ngotot dan seperti terburu-buru, akhirnya ia merelakan ku pergi dan terdengar berkata, “hati-hati dijalan.”
Seminggu kemudian, rupanya Ning Ma tidak puas aku berkunjung hanya sekali. Dia berharap obrolan asik yang biasa dilakukan di perpus berpindah kekosannya. Bahkan sering ia memaksaku agar mau berjalan bareng pulang dari kampus. Tidak hanya cukup sampai disitu, Ning Ma meneror stabilitas relasi jenderku dengan mengajakku makan malam berdua diwarung lesehan.
“sebaiknya kamu gak usah pulang kerumah nanti. Kamu menginanp saja dikosannya Aan. Atau boleh pulang dulu, tapi jam tujuh (malam) kekosanku. Makan malam bareng. Ojok kuwatir, aku sing bayar.”
Demikianlah, Ning Ma dengan caranya sendiri terus menuntunku keluar dari kungkungan batasan pertahanan patriarkis yang tak berpihak padaku.  Dengan bijak (tidak risih), ia mengajakku berduaan tampil keruang-ruang publik.  Pada awalnya ter-engah-engah mengikuti tuntunannya. Namun dengan pelan-pelan aku bisa menyesuaikan penampilan, menyiapkan mental pergaulan, belajar beradaptasi dalam relasi jender baru yang ditawarkannya.
Alhasil, aku pun menjadi kecanduan dan terbiasa diruang-ruang sensitif jender yang ku hindari selama ini. Aku menjadi tak takut lagi akan resiko terjatuh dari bangunan patriarki saat berdua dengannya diruang relasi jender.
“Terima kasih, Ning Ma telah banyak mengajariku tentang warna hidup, mungkin ini kelihatan sepele bagi pemuda lainnya. Seumur-umur kamulah perempuan satu-satunya menuntunku berani berkunjung ke-tempat kos perempuan. Karena kamulah aku punya pengalaman, hebat, jadul, kenthir sekaligus indah dikenang; pertama makan diwarung bersamamu. Berdua jalan bariringan disepanjang jalan karimata. Dan sebagainya…dan sebagainya. Memukau bin menegangkan setiap melawati momen menyejarah. Istimewa nan indah setiap cinta yang bersemi dalam hati mampu menembus standar baku patriarki klasik.”
Berkat tuntunannya dan diikuti oleh cinta mendalamku, banyak menu-menu kehidupan yang selama ini tertutup tirai relasi jender menjadi aku kenali dan aku pahami. Relasi jender patriarkis akhirnya hanyalah sebuah misteri, bukan ideologi kaku yang sudah final kebenarannya dan tak selalu merugikan kaum perempuan (isme). Menembus batasan patriarkis kolot, merupakan permainan petualangan kehidupan yang mengasikkan sekaligus menegangkan untuk selalu aku ulang dan berulang bersamanya
Benar kata orang bijak, bahwa cinta itu mampu menembus gunung. Cinta itu bisa menjungkar balikkan dunia. Pun begitu denganku. Cintaku yang telah lama dipendam kuat-kuat, akhirnya selalu ingin menembus batas-batas benteng relasi jender yang kupertahankan dalam ketidak-PD-an.  Demi Ning Ma, demi cinta, aku siap dan rela jika batasan jender yang aku tembus ini kemudian menjatuhkanku dari atas tangga patriarkis. Apapun aku rela, walaupun tuntunan Ning Ma menembus batas jender ini, telah menelanjangiku diatas pangung perebutan kuasa relasi jender.
Darinya aku mendapatkan pengalaman makna diri menjadi antara, maskulin sekaligus feminin, feminin sekaligus maskulin. Terkadang tak berdaya terkadang pula amat kuat. Terkadang menerima dan terkadang memberi, dan banyak hal lainnya.

SALAM KENTHIR

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More