Ungkapan cintaku Lebih Kerbis dari Simbol Taj Mahal

Subtansi pengungkapan cinta terpendamnya Santri kenthir pada gadis pujaannya, itu sama halnya kisah cinta tulusnya Shah Jehan pada isterinya Mumtaz ul Zamani.

Awas! Saat Kaum Gay Bergentayangan Di Facebook Ku

Tulisan ini sekedar berbagi pengalaman unik selama berjejaring di facebook. Bukan untuk menghukumi minoritas kaum Gay.

18 Okt 2011

Sang Zombie Remuk Redam Mendengar Suara Adzan

"Berangkat dengan kekosongan makna memunculkan status bermakna. Bernuansa status sunyi hati  mengusung keranda kematian makna-makna."
(Status Sang Zombie dari Dunia Kehampaan)
Semalaman tak bisa tertidur. Jiwa seperti diselimuti tanpa impian, tanpa kenangan, tanpa rasa kantuk.  Tubuhku sengaja membiarkan diri tenggelam dalam kehampaan. Tak kuat menahan lelah, pagi hari, tubuhku baru bisa mengistirahatkan diri. Pukul 10 siang hari aku terbangun. Tetapi jua, diriku masih terbungkus dalam selimut kehampaan. Aneh, perutku tidak terasa lapar. Akupun  tak kuasa melawan ataupun menghindari.
"Pul, nanti kalau kamu keluar, pintu rumahnya dikunci!" Terdengar seruan temanku diluar kamar kontrakan miliknya . Aku tidak menyahut, tidak pula memberi reaksi sedikitpun.
"Hey, kamu ini kenapa? Aku berangkat ngajar dulu. Nanti kamu kunci pintu rumah dan taruh kuncinya ditempat biasanya"  Ia mendekatiku beharap aku merespon.
"Sip..Oke. oke ," sahutku tergagap mencerna omongannya dengan loading lambat.
Kemudian temanku berlalu begitu saja sambil menggelengkan kepala tanda tak mengerti apa yang sedang aku alami. Sementara ruhku kembali ke keruang kehampaannya.
Sudah 2 jam-an waktu kuhabiskan berteman secangkir kopi dingin sisa semalam. Ruangan pengap kamar dipenuhi asap rokok yang keluar dari mulutku yang belum tercuci.  Puntung-puntung rokok yang bergerombol diasbak, menjadi (merasa) terhargai dihisap oleh mulutku yang bau bangkai. Sampai terdengar suara adzan dhuhur lamat-lamat, namun, rasa kehampaan mencekam tak jua berlalu. Tak ada yang bisa dipikir dan diharapkan dari kehampaan. Detik demi detik,  menit demi menit,  waktu menggerakkan tubuhku sebatas berlalu tanpa jejak makna.
Komputer dikamar kontrakan lalu ku aktifkan. Mencari-cari sesuatu yang bisa menghiburku.  Kepingin nulis tapi tak ada yang bisa ditulis.
(*Kehampaan adalah penjeda waktu menunggu momentum makna itu datang* By: SR#1)

Ahay, tubuhku mulai merasa jenuh mewadahi kehampaan berlarut-larut. Tiba tiba jari tanganku  klik, Game! Klik, Plants Vs Zombie, klik Puzzle! Yups, kini ku temukan tubuhku sedang memainkan game Zombie. Hemm, jiwaku mulai tergelitik! Dalam permainan game zombie, tugasku adalah,  membantai zombie sebanyak-banyaknya. Jika berhasil maka aku bisa main lagi kelevel  yang lebih tinggi.
Tidak seperti biasanya.  Walau sudah satu bulanan memainkan game zombie diriku sebatas  membuang rongsokan waktu yang selalu minta dihargai. Tapi kali ini, aku memainkannya sambil  menertawai diri sendiri
(*Tertawa yang paling sehat adalah menertawakan diri sendiri daripada menertawai orang lain. Mari kita menertawai diri sendiri dari tempat masing-masing. Kuwakkaka sebanyak-banyaknya* By: SR#2).
 
Pada permainan kali ini, sepertinya, aku merasakan sedang menembaki dan memborbardir diri sendiri yang sudah berubah sosoknya menjadi Si Zombie dilayar komputer!  Yah, aku si Zombie setengah hidup, setengah mati. Terlihat hidup tapi mati. Dibilang mati tapi masih terus bergerak. Si Zombie (diriku) yang lurus berjalan bergerak kedepan. Hanya bergerak tanpa perasaan. Melangkah dengan kaku dan dingin. Memakan makanan yang ada dihadapan tanpa rasa kenyang. Tak peduli ditembaki, dipalu, dibombardir, zombie terus bergerak dan bergerak, memakan dan memakan sampai organ-organ tubuhnya lepas satu persatu. Saat kepalanya terlepas dari badannya, barulah, Si Zombie berhenti bergerak. Akan tetapi,  ia tidak mati tidak pula hidup. Karena ia tidak mengenal kematian, tidak pula kehidupan. Sang zombie hanya berganti menjadi si Zombie yang lain, serta, memunculkan zombie-zombie baru.
Dalam permainan zombie dengan level endless ini, semakin tinggi level yang kumainkan semakin sulit membasmi para zombie dengan raja -raja baru yang  bertambah banyak pula.  Sedang persenjataan dan stamina yang ku dapat semakin terbatas. Walhasil,  mustahil aku mengalahkan zombie zombie itu dan memenangkannya dalam permainan tanpa akhir. Namun, aku bisa tertawa-tawa sendiri menyaksikan satu persatu mulai dari tangan, kaki, dam kepala zombie zombie tercerai berai ditanah.
(*Kegilisahan adalah momentum makna yang menyemburkan energinya. By: SR#3*)
Suara adzan ashar terekam jelas ditelinga mengusik kehampaan. Tanpa terasa sudah tiga jam-an lebih aku menghabiskan diri bermain game zombie. Aku tercenung.  Samar-samar waktu lampau  menghadirkan jejaknya kembali. Kenangan demi kenangan empat bulanan (sejak aku berpamitan pada Kyai  Ponpes Tanpa Papan Nama demi berpetualang dirimba kepentingan dikota Jember) berkelebat, dan bermetamorfosa menjadi kunang-kunang makna menyilaukan kegelisahan:
"Masa depan dan masa lalu mencoret-coret hati masa kini. Asa yang hilang dari jiwa meresap dalam butir-butir kekecewaan.   Dan aku masih sendirian tersalib dalam kecewa mengendap. Diselanya, terbayang wajah ibuku teramat ceria kala menatap kerapuhanku . Sementara kekasih impian tak jua datang menjilati kepedihanku.."
Senja  merangkak petang. Suara adzan magrib menggemakan kesadaran. Adalah tugas kesadaran menggugat setiap kebekuan hati dan pikiran. Yiiihaaa! (Mirip teriakan khas salah satu  Zombie). Aku pun melonjak dari kegelisahan yang terasa semakin berbaris baris.
"Wah,...Kamu kok berantakan begini? Apakah kamu gak keluar rumah seharian, berarti, belum mandi sama sekali, ya?", tanya temanku yang baru pulang dari mengajarnya.
"He he..iya. Sekarang malam apa, kek?" Aku terbiasa memanggil temanku itu dengan panggilan  'Kek' , kependekan dari kata Tekek.
"Malam jum`at, memangnya kenapa?"
"Ya ampun. Aku harus cepat mandi dulu. Harus sampai pondok sebelum jam 8-an. Mau ngikuti pengajiannya kitab al-hikam. Mana perutku terasa ngeroncong, lagi! Kamu mau ikut, nggak?"
"Dimana itu?"
"Di Ponpes "Tanpa Papan Nama'"
Selesai mandi aku bergegas menyiapkan sarung dan songkok. Selekasnya ku masukkan kedalam tas lusuhku. Jarak pondok pesantren Tanpa Papan Nama dari tempat kontrakanku kurang lebih 10 Km-an. Dengan bersepeda pancal pinjaman dari teman aku bergegas meluncur ketujuan.
"Yiihaa!", teriak riang si Zombie sambil melompat menggema dalam batin. Saat mengayuh sepeda, kesadaranku bergumam, "sekarang aku adalah si Zombie yang berkesadaran! Sadar perutnya sedang lapar. Sadar uang disaku tinggal lima ribuan. Sadar, dengan uang pas-pasan perut kudu kenyang sampai besok siang. Sadar dengan uang sebesar lima ribuan takkan mungkin menjangkau harga makanan yang terus melonjak terbang."

Di Ponpes Tanpa Papan Nama, saat obrolan dengan Kyai Nurul beranjak selesai,  entah kenapa, saat terdengar suara adzannya salah seorang anak santri yang tidak menggunakan corong speaker itu begitu  meresap dan menggetarkan hatiku. Irama adzan yang dikumandangkannya pun datar-datar saja. Sangat polos dan tulus. Tidak seperti para muadzin umumnya yang selalu mengiramakan dengan seni tarik suara berkelok-kelok berintonasi dari mendatar, meninggi, lalu terjun merendah dan meliuk-liuk. Terkadang ada pula yang disertai dengan jeritan melengking.
Biasanya setiap kali mendengar suara adzan disekitar kampung halamanku, hatiku langsung mengacuh. Waktu itu aku meracau, “mengingatkan orang agar sholat jamaah kok gak ada capeknya, sih? Menyeru berteriak dengan pengeras suara, lagi! Toh yang datang bisa dihitung dengan jari. Dan orangnya itu itu juga. Sebenarnya yang bebal si penyeru atau yang diseru? Bebal kok dipelihara menjadi tradisi agama!”
Irama suara adzan santri Ponpes Tanpa Papan Nama yang kudengarkan kala itu sedang-sedang saja. Mulai dari start adzan  sampai akhir tetap datar-datar tanpa meliuk meninggi- merendah. Akan tetapi justru suara adzan tanpa pengeras suara dan tanpa seni mengirama seperti itulah yang membuat aku kesengsem dan tergerak mengambil wudhu`  dan sholat magrib bersama para santri lainnya.
Sepertinya tangan, kaki, dan kepala kezombieanku telah tercopot satu persatu dari badan.Lahaula walaa quwwata ila billahil aliyyil a`dhim.
Akupun tersenyum sendiri menyaksikan remuk redamnya tangan-tangan nafsuku, kaki-kaki kekejamanku, kepala-kepala kesesatanku yang telah bercerai berai dari egoismenya..
"Argghhhhhh!! Argghhhhhh!!", teriakan terakhir sang raja zombie  meregangkan nyawa melepas dari hasrat angkara murkaku.

I Love You


Since that time my heart is yours
Let me love you and forget the world if im with you
You always appear in my dreams
I dont know what im supposed to do when im with you
Hold my hand
And we go to somewhere far away
Look into my eyes and tell me you love me
Let me love you for eternity.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More