"Berangkat dengan kekosongan makna memunculkan status bermakna. 
Bernuansa status sunyi hati  mengusung keranda kematian makna-makna."
 
(Status Sang Zombie dari Dunia Kehampaan)

Semalaman
 tak bisa tertidur. Jiwa seperti diselimuti tanpa impian, tanpa 
kenangan, tanpa rasa kantuk.  Tubuhku sengaja membiarkan diri tenggelam 
dalam kehampaan. Tak kuat menahan lelah, pagi hari, tubuhku baru bisa 
mengistirahatkan diri. Pukul 10 siang hari aku terbangun. Tetapi jua, 
diriku masih terbungkus dalam selimut kehampaan. Aneh, perutku tidak 
terasa lapar. Akupun  tak kuasa melawan ataupun menghindari.
"Pul,
 nanti kalau kamu keluar, pintu rumahnya dikunci!" Terdengar seruan 
temanku diluar kamar kontrakan miliknya . Aku tidak menyahut, tidak pula
 memberi reaksi sedikitpun.
"Hey, kamu ini kenapa? Aku berangkat 
ngajar dulu. Nanti kamu kunci pintu rumah dan taruh kuncinya ditempat 
biasanya"  Ia mendekatiku beharap aku merespon.
"Sip..Oke. oke ," sahutku tergagap mencerna omongannya dengan loading lambat.
Kemudian
 temanku berlalu begitu saja sambil menggelengkan kepala tanda tak 
mengerti apa yang sedang aku alami. Sementara ruhku kembali ke keruang 
kehampaannya.
Sudah 2 jam-an waktu kuhabiskan berteman secangkir 
kopi dingin sisa semalam. Ruangan pengap kamar dipenuhi asap rokok yang 
keluar dari mulutku yang belum tercuci.  Puntung-puntung rokok yang 
bergerombol diasbak, menjadi (merasa) terhargai dihisap oleh mulutku 
yang bau bangkai. Sampai terdengar suara adzan dhuhur lamat-lamat, 
namun, rasa kehampaan mencekam tak jua berlalu. Tak ada yang bisa 
dipikir dan diharapkan dari kehampaan. Detik demi detik,  menit demi 
menit,  waktu menggerakkan tubuhku sebatas berlalu tanpa jejak makna.
Komputer
 dikamar kontrakan lalu ku aktifkan. Mencari-cari sesuatu yang bisa 
menghiburku.  Kepingin nulis tapi tak ada yang bisa ditulis.
(*Kehampaan adalah penjeda waktu menunggu momentum makna itu datang* By: SR#1)
Ahay,
 tubuhku mulai merasa jenuh mewadahi kehampaan berlarut-larut. Tiba tiba
 jari tanganku  klik, Game! Klik, Plants Vs Zombie, klik Puzzle! Yups, 
kini ku temukan tubuhku sedang memainkan game Zombie. Hemm, jiwaku mulai
 tergelitik! Dalam permainan game zombie, tugasku adalah,  membantai 
zombie sebanyak-banyaknya. Jika berhasil maka aku bisa main lagi 
kelevel  yang lebih tinggi.
Tidak seperti biasanya.  Walau sudah 
satu bulanan memainkan game zombie diriku sebatas  membuang rongsokan 
waktu yang selalu minta dihargai. Tapi kali ini, aku memainkannya 
sambil  menertawai diri sendiri
(*Tertawa yang paling 
sehat adalah menertawakan diri sendiri daripada menertawai orang lain. 
Mari kita menertawai diri sendiri dari tempat masing-masing. Kuwakkaka 
sebanyak-banyaknya* By: SR#2).
 
 
Pada
 permainan kali ini, sepertinya, aku merasakan sedang menembaki dan 
memborbardir diri sendiri yang sudah berubah sosoknya menjadi Si Zombie 
dilayar komputer!  Yah, aku si Zombie setengah hidup, setengah mati. 
Terlihat hidup tapi mati. Dibilang mati tapi masih terus bergerak. Si 
Zombie (diriku) yang lurus berjalan bergerak kedepan. Hanya bergerak 
tanpa perasaan. Melangkah dengan kaku dan dingin. Memakan makanan yang 
ada dihadapan tanpa rasa kenyang. Tak peduli ditembaki, dipalu, 
dibombardir, zombie terus bergerak dan bergerak, memakan dan memakan 
sampai organ-organ tubuhnya lepas satu persatu. Saat kepalanya terlepas 
dari badannya, barulah, Si Zombie berhenti bergerak. Akan tetapi,  ia 
tidak mati tidak pula hidup. Karena ia tidak mengenal kematian, tidak 
pula kehidupan. Sang zombie hanya berganti menjadi si Zombie yang lain, 
serta, memunculkan zombie-zombie baru.
Dalam permainan zombie 
dengan level endless ini, semakin tinggi level yang kumainkan semakin 
sulit membasmi para zombie dengan raja -raja baru yang  bertambah banyak
 pula.  Sedang persenjataan dan stamina yang ku dapat semakin terbatas. 
Walhasil,  mustahil aku mengalahkan zombie zombie itu dan memenangkannya
 dalam permainan tanpa akhir. Namun, aku bisa tertawa-tawa sendiri 
menyaksikan satu persatu mulai dari tangan, kaki, dam kepala zombie 
zombie tercerai berai ditanah.
(*Kegilisahan adalah momentum makna yang menyemburkan energinya. By: SR#3*)
Suara
 adzan ashar terekam jelas ditelinga mengusik kehampaan. Tanpa terasa 
sudah tiga jam-an lebih aku menghabiskan diri bermain game zombie. Aku 
tercenung.  Samar-samar waktu lampau  menghadirkan jejaknya kembali. 
Kenangan demi kenangan empat bulanan (sejak aku berpamitan pada Kyai  
Ponpes Tanpa Papan Nama demi berpetualang dirimba kepentingan dikota 
Jember) berkelebat, dan bermetamorfosa menjadi kunang-kunang makna 
menyilaukan kegelisahan:
"Masa depan dan masa lalu mencoret-coret hati masa kini. Asa yang hilang dari jiwa meresap dalam butir-butir kekecewaan. Dan aku masih sendirian tersalib dalam kecewa mengendap. Diselanya, terbayang wajah ibuku teramat ceria kala menatap kerapuhanku . Sementara kekasih impian tak jua datang menjilati kepedihanku.."
Senja  merangkak petang. Suara adzan 
magrib menggemakan kesadaran. Adalah tugas kesadaran menggugat setiap 
kebekuan hati dan pikiran. Yiiihaaa! (Mirip teriakan khas salah satu  
Zombie). Aku pun melonjak dari kegelisahan yang terasa semakin berbaris 
baris.
"Wah,...Kamu kok berantakan begini? Apakah kamu gak keluar 
rumah seharian, berarti, belum mandi sama sekali, ya?", tanya temanku 
yang baru pulang dari mengajarnya.
"He he..iya. Sekarang malam apa, kek?" Aku terbiasa memanggil temanku itu dengan panggilan  'Kek' , kependekan dari kata Tekek.
"Malam jum`at, memangnya kenapa?"
"Ya
 ampun. Aku harus cepat mandi dulu. Harus sampai pondok sebelum jam 
8-an. Mau ngikuti pengajiannya kitab al-hikam. Mana perutku terasa 
ngeroncong, lagi! Kamu mau ikut, nggak?"
"Dimana itu?"
"Di Ponpes "Tanpa Papan Nama'"
Selesai
 mandi aku bergegas menyiapkan sarung dan songkok. Selekasnya ku 
masukkan kedalam tas lusuhku. Jarak pondok pesantren Tanpa Papan Nama 
dari tempat kontrakanku kurang lebih 10 Km-an. Dengan bersepeda pancal 
pinjaman dari teman aku bergegas meluncur ketujuan.
"Yiihaa!", 
teriak riang si Zombie sambil melompat menggema dalam batin. Saat 
mengayuh sepeda, kesadaranku bergumam, "sekarang aku adalah si Zombie 
yang berkesadaran! Sadar perutnya sedang lapar. Sadar uang disaku 
tinggal lima ribuan. Sadar, dengan uang pas-pasan perut kudu kenyang 
sampai besok siang. Sadar dengan uang sebesar lima ribuan takkan mungkin
 menjangkau harga makanan yang terus melonjak terbang."

Di
 Ponpes Tanpa Papan Nama, saat obrolan dengan Kyai Nurul beranjak  
selesai,  entah kenapa, saat terdengar suara adzannya salah seorang anak
  santri yang tidak menggunakan corong speaker itu begitu  meresap dan  
menggetarkan hatiku. Irama adzan yang dikumandangkannya pun datar-datar 
 saja. Sangat polos dan tulus. Tidak seperti para muadzin umumnya yang  
selalu mengiramakan dengan seni tarik suara berkelok-kelok berintonasi  
dari mendatar, meninggi, lalu terjun merendah dan meliuk-liuk. Terkadang
  ada pula yang disertai dengan jeritan melengking.
Biasanya  
setiap kali mendengar suara adzan disekitar kampung halamanku, hatiku  
langsung mengacuh. Waktu itu aku meracau, “mengingatkan orang agar  
sholat jamaah kok gak ada capeknya, sih? Menyeru berteriak dengan  
pengeras suara, lagi! Toh yang datang bisa dihitung dengan jari. Dan  
orangnya itu itu juga. Sebenarnya yang bebal si penyeru atau yang  
diseru? Bebal kok dipelihara menjadi tradisi agama!”
Irama  suara 
adzan santri Ponpes Tanpa Papan Nama yang kudengarkan kala itu  
sedang-sedang saja. Mulai dari start adzan  sampai akhir tetap  
datar-datar tanpa meliuk meninggi- merendah. Akan tetapi justru suara  
adzan tanpa pengeras suara dan tanpa seni mengirama seperti itulah yang 
 membuat aku kesengsem dan tergerak mengambil wudhu`  dan sholat magrib 
 bersama para santri lainnya.
Sepertinya tangan,  kaki, dan kepala
 kezombieanku telah tercopot satu persatu dari  badan.Lahaula walaa 
quwwata ila billahil aliyyil a`dhim.
Akupun  tersenyum sendiri 
menyaksikan remuk redamnya tangan-tangan nafsuku,  kaki-kaki 
kekejamanku, kepala-kepala kesesatanku yang telah bercerai  berai dari 
egoismenya..
"Argghhhhhh!! Argghhhhhh!!", teriakan terakhir sang raja zombie  meregangkan nyawa melepas dari hasrat angkara murkaku. 
 










 

0 komentar:
Posting Komentar
Salam Santri Kenthir.