23 Okt 2011

CintaKU Bersemi Diantara Ketegangan Kelamin Sosial

Saran sebelum membaca:
Aku tak peduli catatan ini sangat panjang, jika tak berkenan tak usah membacanya!!!!!!!
Yang tidak senang kebijaksanaa hidup, tolong tulisan ini jangan dibaca!!!!!!!
Yang sukanya hitam putih memandang persoalan hidup jangan dibaca kelanjutan ceritanya!!!!!!!
Pada waktu itu, keinginan memutuskan segera mengungkapkan kata, “aku cinta kamu Ning!” tak pernah padam, walaupun berulang kali gagal diungkapkan. Terkadang di lain waktu aku menyerah membiarkan diri larut dalam perang batin, ataupun menjadikan diri sekedar sebagai suguhan rasa memiliki yang tak perlu mengungkap dengan kata-kata. Mencukupkan kehadiran cinta tanpa harus memiliki Si-empunya dalam arti kongkrit, persis seperti yang diimajinasikan oleh Rei dalam bait-bait puisinya: “……cinta kadang adalah malu...karena malu itu adalah kejujuran..agh...cinta buknlah hawa ataupun nafsu untuk dicumbu... karena merayu tak ujung untuk bersatu...Dst"
Apalah artinya aku. Aku ini hanyalah wayang Allah yang juga harus tunduk pada hukum hukum perubahanNya. Mahluk lemah yang takkan mampu melampui setiap takdir-takdir Nya. Aku ini hanyalah lautan yang hanya bisa menerima semua apa saja yang datang. Aku ini hanya menjadi bumi yang akan mendapatkan senyuman saat ia telah menumbuhkan apa saja yang ditanam. Hanyalah menjadi sebongkah karang yang harus terus bersabar menerima setiap ombak yang menghantam.
Cinta tetaplah sakral walaupun seringkali ia terjebak dalam ruang-ruang ritual dan profan. Setiap jengkal proses cinta yang mengalir dalam jiwaku adalah merupakan peristiwa-peristiwa monumental; Ia merupakan proses pengembangan jati diriku, proses pembentukan pemikiran, proses diri dalam identitas sosial, dan seterusnya.
Keputusan mengungkapkan; “aku cinta kamu, Ning!”, mungkin bagi yang lain itu soal remeh-temeh. Namun bagiku, terkait dengan banyak hal dan merupakan perayaan rutual kehidupan yang sarat makna teramat dalam: “Ia berkait dengan ketuhanan, rasa bakti pada orang tua, aklamasi status sosial, pertaruhan harga diri, kebijaksanaan hidup, sertifikasi rasa sayang, dan sebagainya”.
“Aduh Ipul kamu kok memperumit? Pakai dikait-kan dengan orang tua, nilai ketuhanan, pertaruhan harga diri dan tetek bengek lainnya! Kok mengolor-ngolor waktu hingga jadi rumit gitu,...”
Bagiku itu bukan urusan sepele dan merumitkan. Kalau itu sepele, kenapa tidak jauh sebelumnya sewaktu tiga bulanan berjalan menjalin hubungan, langsung saja tembak dia, kalau tembakannya gak mengenai sasaran, pakai jurus senjata berikutnya..: “lari dengan langkah seribu..!”.
Bukanlah tidak berkait dengan banyak hal mengatakan, “aku cinta kamu, Ning!”. Banyak keterkaitannya. Jika tidak mau mengakui ini, maka, sama saja dengan menutup mata atas prosesi ritual perkawinan yang terjadi dimasyarakat: “Kalau kawin cuma untuk memenuhi kebutuhan biologis, kalau hanya untuk tujuan mempunyai anak; ngapain harus melewati prosesi ritual perkawinan yang sakral , yang ribet, dan menghabiskan banyak energi material? Kenapa tidak dimasukkan saja masing-masing pasangan kedalam kamar, dan suruh mereka bersebadan,. Beres kan?! Tapi itu adalah cara-cara khewani bukan manusiawi! Itu bukan cara-cara manusia beradab. Itu hanyalah percumbuan antar daging dengan daging. Bukan jiwa-jiwa yang sedang bercumbu dalam mengatasi keterasingannya”
Ritual pesta pernikahan bertali temali dengan proses ketegangan-ketegangan sosial yang terjadi pada masyarakat. Jika berhasil melewati proses ketegangan-ketegangan sosial yang bertali temali dan merajuti banyak makna, maka bentuk perayaannya, bisa berupa pesta perkawinan. Atau kalau dalam skala nasional, bisa berupa bendera merah putih, lambang burung garuda, UUD !945, Pancasila dan sebagainya. Namun bagi mereka yang terburu-buru dan tak berhasil melewati ketegangan dengan indah, maka penyesalan teramat dalam akan datang dikemudian hari; “bisa hamil sebelum nikah, perceraian, KDRT, dan seterusnya. Atau bila diluaskan lagi, bisa berupa tragedi kemanusiaan 65, kasus Semanggi, bom bali 1, 2, kasus penggusuran makam Mbah Priok, dan sebagainya”.
Jadi ruang cinta yang kurasakan merupakan arena ketegangan-ketegangan antara ingin memilikinya dengan cinta tidak harus memilikinya. Antara cukup merasa memiliki dengan keinginan mengikatnya dalam status ikatan. Antara berkonsentrasi pada cita-cita dengan keasikan dalam cinta. Kontradiksi-kontradiski antara iya dan tidak, antara harus dan tidak harus, dan seterusnya, dan seterusnya.
Mengungkapkan cinta dengan kata-kata adalah merupakan pesta ritual cinta, setelah melewati ketegangan demi ketegangan dan kontradiksi demi kontradiksi yang terendap dalam kegelisahan jiwa.
Memang iya, juntrung-juntrungnya mencintai seseorang pasti untuk memilikinya. Tapi tidak serta merta sewenang-wenang menindas paham penentangnya yang bersemayam dan bersemi dalam diri, “Cinta itu tak harus memiliki!”.
Memang iya, aku mencintaiya cukuplah memberi tanpa mengharap. Cukuplah merasa memiliki tanpa mengikat. Tapi tidak serta merta sepihak membumi-hanguskan; hasrat-hasratku untuk memilikinya, kebutuhan-kebutuhanku mengikatnya dalam ikatan status, keinginan alamiahku bermesraan, dan lain sebagainya.
Satu sisi mencintainya adalah, menyayangi dengan tulus. Tidak memaksakan kehendak diri. Menjaganya sepenuh hati. Selalu ingin membahagiakan. Tidak menyakiti, bahkan tidak boleh sedikitpun membuatnya merasa terderitakan. Namun sisi yang lain mencintainya adalah, merupakan dorongan kebutuhan batinku untuk; diakui sebagai pacarnya, membelainya, bergandengan tangan, berciuman, berbicara tentang masa depan bersama, dan seterusnya dan seterusnya.
Diantara ketegangan yang terjadi dalam diriku, tubuhku, hanyalah media jiwa-jiwa yang bersitegang. Sedang jiwa-jiwa itu hanyalah wadah dari keinginan-keinginan yang saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Bagai aliran air, jiwaku mengalirkan jiwa-jiwa bersitegang. Terus mengalir, dan mengalir, dan bertemu dengan mata air baru, dan terus mengalirkannya menuju muara, sampai muara itu menyatukannya kedalam ketenangan abadi.
Diantara Ketegangan Jiwa
Ketika keinginan menambatkan rasa harus memiliki, dan selekasnya mengakhiri cinta tanpa memiliki, dan mengungkapkan tanpa memikirkan resikonya, seketika itu pula, perasaan ketidaktegaan muncul menginterupsi dan menghadang setiap keinginan memilikinya.. Ketidaktegaanku adalah, pertama tidak tega pada diriku sendiri, kedua, tidak tega pada diri Nining.
Ketidaktegaan pada diriku sendiri karena pasti aku akan sakit hati jika Nining menolaknya. Resiko sakit hati pasti berdampak besar. Harga diri jadi taruhannya. Penyakit keminderan yang sudah sembuh menjadi ke PD an pasti akan kambuh lagi. Bahkan mungkin akan lebih parah. Bisa jadi, aku menjadi berhenti kuliah. Rasa sakit yang teramat parah pasti penyembuhannya membutuhkan waktu yang cukup lama. Nilai-nilai pengetahuan idealisku yang sudah mulai terbentuk, pasti akan hancur dan berserakan keruang-ruang gelap keputusasaan.
Ketidak-tegaan yang kedua, aku tak ingin membuat Nining menjadi bingung, terdilematiskan, tersudutkan dengan pilihan, tersentak harus menerima atau menolaknya. Jika aku memaksakan keinginan itu pada Nining, maka, aku adalah seorang ironis, naïf, memalukan, dan sangat egois. Kaidah-kaidah cintaku hanyalah omong kosong belaka: “Seharusnya mencintai Nining adalah menjadikan ia terus bahagia. Mencintainya adalah memberi bukan menuntut. Mencintainya adalah api membara tanpa pengharapan terbalas. Bukan malah sebaliknya. Hanya menjadikan Nining menderita dan terbebani”.
Andai cinta yang kuungkapkan pun diterima oleh Nining, aku amat kasihan padanya. Aku takkanlah mampu membanggakannya. Tidakkah aku sebagai pacarnya harus bertanggung jawab secara material? Cukupkah uangku untuk biaya pacaran? Apakah aku punya fasilitas penunjang untuk penguatan status sebagai, “pacar Nining”!? Bagaimana dengan perasaan keluarganya bila mereka tahu anak gadisnya yang jelita hanya dapat pemuda kere? Tidakkah aku telah berlaku kejam dengan manjadikan posisinya dilematis?
Tapi semua itu cuma bullshit!!!!,…… sontoloyo!!!!!!!, ………..semua omong kosong diatas… cuma…………. prett!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
“Ipul..!!! Kamu ini sedang hidup dijaman yang sudah serba modern. Bukan pada jaman siti nurbaya lagi, man! Dulu hidup hanya terbatas pada pertanian, tapi sekarang dengan kemampuan otakmu dan lobi-lobi politikmu ditingkat lokal, kamu bisa membahagiakan Nining”. Hidup segalanya harus serba realistis. Cintapun harus pula realistis. Jangan sok pujangga. Cerita cinta mereka itu hanya ada di novel-novel. Bukan dalam alam kenyataan masyarakat. Kenyataan cinta realistis adalah cinta itu memiliki; “Memiliki tubuhnya, memiliki jiwanya dalam bentuk kongkrit”. Hubungan yang wajar (realistis) adalah hubungan dalam bentuk pacaran. Bukan dakik-dakik melangit tapi lupa membumi. Asmara yang normal adalah asmara yang saling berbelai, memadu kasih, berciuman nyata, bukan cuma di fantasi!
Sudah dua minggu aku menghindarnya. Walau sangat merindu, tapi kegelisahan demi kegelisahan yang bertumpang tindih membuatku masih enggan bertemu. Di kampus tanpa sepengetahuannya aku melihat papan pengumuman nilai kuliah. Kulihat satu persatu nilai mata kuliah yang sudah kutempuh banyak yang tak lulus. Kegelisahanku semakin bertambah, nilai mata kuliahku, “jeblok, blok!!”
Sore hari setelah setengah harian mengasingkan diri di keramaian terminal Tawang Alun Jember, aku pulang kerumah. Sesampai dirumah aku hanya bertemu kakak perempuanku. Saat aku datang biasanya ibuku selalu menyambut dengan senyum disertai kata-kata khas perempuan setengah baya pekerja keras desa. Sementara bapakku yang biasanya sore hari begini, berada dikandang sebelah memberi makan kedua sapinya. Hanya kulihat sekilas kakak perempuanku sedang menyusui anak ketiganya didapur. Aku suntuk banget. Buru-buru masuk kamar, menelungkupkan kepala dibawah bantal, berharap semua kegelisahan itu akan sirna dalam tidur lelap.
Terdengar suara langkah kaki kakakku menghampiri, mendekatiku, dan beridiri disamping pintu. Ia menyampaikan berita, bahwa bapak ibu sudah pergi ke Bali tanpa sempat menungguku pulang dari kampus. Katanya mereka ikut rombongan proyek pembangunan hotel dibali. Bapak menjadi kulinya, sedang ibukku berjualan nasi pecel disekitar lokasi. “Pesenne bapak awakmu dikongkon cuti sak semester. Ngenteni proyek`e mari. Biaya cutine kon golek dewe. Awakmu dikongkon ajar kerjo dodol krupuk melok mas. Mangkane tah leren maen iku!”, kata kakakku berlalu sambil ngomel menuju dapur. Seperti tersekat, aku hanya diam terpaku. Cuti satu semester? Berjualan kerupuk keliling? Berarti setengah tahun kedepan aku tak bisa lagi bersama Nining dikampus!.
Sementara didapur, kakakku terus mengomeli tentang perilakuku yang dinilai jelek masyarakat. Gara-garanya aku sering bermain judi diwarung Mbak Lis. Aku tak meresponnya. Aku tetap terbenam dalam rasa penyesalan-penyesalan pada bapak-ibu selama ini. Suara-suara omelan kakakku sudah tak terdengar, keadaan pun menjadi sunyi. Kamar pengap ini terasa seperti melemparku keruang penjara bawah tanah. Menyudutkanku kedalam dimensi-dimensi ketakutan, kegelisahan, rasa sesal, keputusasaan dan berbaur dengan keinginan untuk marah semarahnya.
Seperti pesakitan lunglai, aku terus terhujami suara-suara ketakutan, kegelisahan, rasa sesal, dan keputusasaan: “…………………..!!!!. .. …. ………………….…………… Nilai kuliah jeblok…………!!!! Masyarakat mencemooh sebagai mahasiswa tukang judi!!!! Orang tuaku merasa gagal mendidik…!!........Ditinggalkan orang tua………Disuruh cuti satu semester…..!!!!! Aku anak durhaka..!!......Aku benci cinta terpendamku,~~~~~~~!!!!!!! ".
Ya… akulah anak durhaka itu.. !! Orang tua mati-matian kerja bermandi keringat, kepala dibuat kaki, hanya demi aku agar selesai kuliah tepat waktu. Mereka melakukan semuanya dengan susah payah agar kelak aku tidak sengsara. Tapi apa balasannya untuk mereka? Aku hanya mempermalukan mereka dimata masyarakat..!!!!. Mulai dari bayi mereka membesarkan dengan kasih sayang dan perhatian sampai tumbuh menjadi dewasa. Tapi, aku tak tahu berterima kasih!!!!!!! Keberadaanku selalu menyusahkan mereka!!!!!!!!!.
Cinta orang tua pada anak dimanapunn, dan kapanpun, tak bisa dipertukarkan dengan cinta seorang kekasih. Kenyataannya, aku menukarkanya!!!. Gara-gara kebiasan lari dari kenyataan cinta sepihak, akhirnya aku terjerumus di meja judi. Akhirnya uang-uang SPP ku ludes dimeja judi!!!!!. Gara terjerumus dalam api asmara, kewajiban-kewajiban kuliah ku abaikan. Kuliahku jadi hancur!!!!!!!!!.
Karenanya, aku harus mengakhiri……….!!!. Harus berani memilih berkonsentrasi kembali pada kuliah….!!!!!!. Apun caranya walau sambil berjualan kerupuk keliling!!. Aku harus secepatnya mengungkap kata cinta pada Nining. Lebih cepat lebih baik Soal diterima atau nggak itu urusannya. Sukur bila ditolaknya. Aku harus cepat melupakannya.Apapun akibat pada dia, baik diterima atau ditolak, itu urusannya…!!!!!!!.
Cinta pada orang tua harus diutamakan. Pengabdian hidup pada orang tua harus jadi nomer satu. Cinta pada perempuan itu nomer sekian. Aku harus kembali rajin kuliah dan mengejar katertinggalan dan bekerja sendiri mencari biayanya. Bulatkan tekad jangan pedulikan apapun!!. Toh, aku sudah banyak memberikan hati, pikiran dan waktu buatnya!!!!. Aku harus tega memilih cita-cita daripada cinta!!!!!!!!!. Aku harus menjadi anak yang membanggakan orang tua!!!!!!!!!!!!!!!!!.
Di malam yang lain dan malam-malam berikutnya, aku terus menerus disuguhi ketegangan perasaan diri yang sedang berkecamuk. Walau begitu berat melewatinya, tak terasa sudah sebulan aku tak berjumpa dengannya. Rindu ini teramat dalam padanya.
Diantara ketegangan yang saling berlawanan menghentak-hentak jiwaku, sebuah kesadaran yang teramat halus menghembus ke ruang arena ketegangan jiwa ku. Kesadaran itu menghembuskan ingatan makna-makna positif selama menjalin cinta terpendam dengannya.
Bagaimanapun ia telah mengajarkanku banyak hal. Tiga tahun bukan lah waktu yang teramat singkat. Walau cinta yang terjalin adalah cinta tanpa ungkapan kata-kata. Walau kami menjalaninya penuh malu-malu dalam teka-teki cinta yang terpendam. Walaupun dalam pelarianku terjebak dalam perjudian, tapi banyak pula pengetahuan yang kudapat karenanya. Selama itu pula ia telah banyak memberikan inpirasi kehidupan yang lebih dalam dan lebih luas.
Karenanya aku bahagia. Karenanya hidupku terasa indah. Karenanya aku merasa berarti. Karenanya aku merasa PD. Karenanya aku banyak tahu hal. Walau terkadang, karenanya, sebagai laki-laki aku menangis mengadukan misterinya kehadapan tuhan…….!!!!!!!!!.
Harusnya aku mensukuri dan teramat berterima kasih padanya. Aku kere……! Dia cinderella ….! Tidakkah dia telah meninggalkan gaya hidupnya, telah menjadi gadis sederhana, demi menyesuaikan diri dengan penampilanku yang ala kadarnya ini..????. Dia itu telah begitu baik padaku. Mungkinkah aku harus mengahiri dengannya, dikarenakan posisiku sedang terjepit? Sudah benarkah, kebulatan tekad menyatakan cinta selekasnya tanpa mau tahu resiko yang akan menimpa padanya?
Semua ketegangan-demi ketegangan, seperti apa yang telah diramal oleh eksistensialisnya Sartre, maka, diriku seperti berada ditengah-tengah sahara gurun pasir yang teramat luas dengan panas menyengat. Dalam keadaan lapar dan haus tak ada yang bisa kulakukan selain berharap pertolongan itu datang. Setiap fatamorgana yang terlihat aku selalu mengiranya sebagai air kehidupan yang akan menolong rasa hausku. Aku tergelepar tak berdaya diatas pasir yang panasnya begitu menyengat. Aku pasrah, semoga keajaiban tuhan itu cepat datang. Aku hanya bisa berteriak dalam keterasinganku, “Ya, Allah!! Hamba!! Mohon pertolonganmu………..!!” Hanya kepada tuhan aku meminta pertolongan. Hanya kepadaNya meminta pengampunan. Hanya kepada Allah aku meminta keselamatan hidup ditengah gurun pasir yang gersang dan tandus ini.
Keadaan jiwaku tergelepar tak berdaya di gurun pasir gersang nan tandus, semua itu, menghantarkan selama tiga hari tiga malam aku berpuasa tanpa makan nasi. Aku mengurung diri didalam kamar. Bila magrib aku hanya makan sebuah pisang dan segelas air putih. Kakak perempuanku khawatir. Ia menyuguhkan bubur ayam. Aku meyakinkannya agar tak perlu mengkhawatirkan. Aku terus menenggelamkan diri dalam “Sungai Asma`ulhusna”. Beribu mohon ampun tangan ditengadahkan. mengharap mendapat jalan keluar dari ketegangan ketegangan yang sedang kuhadapi.
Dimalam ketiga, disaat orang-orang terlelap dalam mimpi indahnya, muara-muara ketenangann itu seperti sedang merengkuh jiwaku. Ketegangan ketegangan itu pun menyatukan diri dalam muara sungai ketenangan. Akupun mampu mendamaikan aliran-aliran ketegangan jiwa itu menjadi sebuah rasa damai. Keajaiban itu telah menghampiriku, menuntunku, menyusun sebuah pesta ritual cinta untuk diberikan pada sang kekasih. Seperti mendapat bisikan ilahi, aku diperkenankan menyampaikan rasa cinta terpendam dalam ungkapan kata pada Nining.
Ungkapan cinta itu bukan untuk menuntutnya menjadi pacar. Ungkapan cinta dengan kata-kata adalah ritual perayaan pelepasan dari ketertindasan. Aku hanya mengungkapkan. Tidak boleh menuntut dan berharap. Aku hanya bertugas melaksanakan ritual kata cinta, sedang hasil atau akibat dari itu adalah urusan Allah. Mengungkap cinta terpendam dengan ritual kata cinta bukanlah untuk sebuah pengharapan. Ia hanya sebagai jalan keluar melampaui keadaan-keadaan yang saling bersitegang dalam diriku. Ungkapan kata cinta bukan untuk memilikinya. Ungakapan kata cinta bukan untuk memfinalkan keadaan cinta. Bukan untuk memastikan keadaan masa depan. Seperti halnya pernikahan yang belum pasti berjodohan. Mengungkap kata cinta bukan untuk menghancurkannya, menyakitinya, dan sebagainya. “Khoirihi wasarrihi minaallahi ta`ala……! baik dan buruknya dari pengungkapan kata cinta Allah yang menentukan hasilnya.”. Segalanya hanya dihaturkan kehadapan ridho Allah.
Demikianlah pada suatu hari berikutnya dengan ketenangan jiwa-jiwa yang mengalir dari muara sungai ketenangan Allah, aku tertuntun melaksanakan, dan mengungkapkan cinta yang terpendam itu kepadanya. Saat menulis catatan ini, saat mengenang sosoknya dimasa lalu, dendang kehilangan dalam lagunya Firman terdengar mengiringi disini, seakan sekarang ia sedang beradabersamaku disini: "...Ku coba ungkap tabir ini. Kisah antara kau dan aku Terpisahkan oleh ruang dan waktu Menyudutkanmu meninggalkanku Ku merasa telah kehilangan Cintamu yang tlah lama hilang..........."

Baca Tulisan Terkait



0 komentar:

Posting Komentar

Salam Santri Kenthir.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More