1 Okt 2011

Atas Nama Cinta Kasih Ia Memberiku Pendidikan Hidup


Diterminal tawang alun Jember, matahari bersinar begitu angkuh bertengger menyengat kepala. Hiruk pikuk penumpang dan teriakan para kenek terminal semakin membisingkan kegalauan hidup orang-orang pinggiran yang terus terdesak oleh laju jaman. Aku masuk pada salah satu angkutan pedesaan yang siap berangkat menghantar pulang. Duduk berdesakan dengan para ibu-ibu buruh gudang tembakau, hendak pulang selesai menerima uang gaji mingguan yang ditaruh pada kutangnya agar terselamatkan sampai dirumah. Berdesakan dengan mereka hidungku mencium aroma bau yang khas: “Setengah harian mereka bergelut dengan daun-daun tembakau kering dan bercampur aduk dengan bau keringat yang menyembur dari ketiak-ketiaknya, hemm!!, ruang sesak mobil angkutan pedesaan yang kutumpangi seperti memberi pernyataan simbolik; Inilah kota Suwar-Suwir Jember. Kamilah peng- ekspor tembakau terbesar di Indonesia”.
 Disaat mobil sedang melaju, ku alihkan pikiran pada deretan persawahan yang terlihat semakin terdesak oleh perumahan para pendatang. Melewati persawahan, kulihat rumah-rumah desa semakin padat tak beraturan. Ocehan pak Sopir, memperkeruh ketidakberdayaan rakyat bawah: “Penumpang sepi. Semua orang beralih pada kendaraan bermotor!!” Jalan utama penguhubung antar desa semakin padat dengan lalu-lalang kuda besi, sementara, jalan yang dilalui ukurannya tetaplah seperti dahulu kala, masih sama, seperti saat kolonial Belanda rajin mengangkuti rempah-rempah dari pedesaan.

Sesampai dirumah, aku lekas-lekas mandi, sholat, memempersiapkan sepeda pancal, manata bakul dan memasukkan kerupuk-kerupuk rambak kedalamnya. Kulihat kakak pertamaku (laki-laki yang telah berposisi sebagai ‘juraganku’), tersenyum sambil memujiku sebagai orang rajin. Dia telah menjadi orang berhasil sebagai juragan kerupuk. Mampu membeli mobil kelas menengah kebawah. Sudah bisa membangun rumah agak mewah. Memiliki dua sepeda motor, punya 9 anak buah. Punya pendamping isteri super cerewet dan dua anak yang manis-manis. Semua orang kampung memujinya sebagai pemuda sukses. Sering kali pujian-pujian orang kampung dengan sengaja diperdengarkan dekat ketelingaku. Tak terhitung khotbah-khotbah para kerabat ibuku menasehati agar aku selalu mencontohnya.

Aku tak habis mengerti mengapa mereka selalu membandingkan aku dengan kakakku yang telah berhasil secara ekonomi. Dan kenapa pula aku harus mencontohnya. Bukankah aku dengan dia memang beda. Bukankan yang beda tidak bisa sama dan sebaliknya yang sama tak bisa beda?

Biarlah, aku gak perlu protes. Mereka hanyalah orang-orang lugu desa. Toh, omongan mereka merupakan kenyataan struktur sosial yang terjadi dalam masyarakat desa: “Kelas atas-kelas bawah. Kaum kaya-kaum miskin. Majikan-buruh tani. Golongan penindas-golongan tertindas”. Bukanlah kenyataan dimata tuhan: “posisi manusia adalah sama. Derajat ketakwaanlah yang berbeda dimata tuhan.” (Sedih sekali bila teringat dusunku kini sedang tergagap menghadapi gempuran modernisasi dan terus melaju dengan dis-orientasi sosialnya).

 Kakakku menjadi kaya (ukuran orang dusunku) karena ia telah mampu melewati jalan umum menjadi kaya yang benar dan lurus: “ Sarat menjadi orang kaya dan cara mempertahankan kekayaannya yakni; bekerja harus melebihi dari rejeki orang lain, selalu bertindak dan berfikir demi modal, harus kikir, harus tegaan pada sesama, berfikir curigaan, menindas upah buruh, mengurangi bersenang-senang, mengurangi baca novel, pintar bersiasat ekonomi, dan seterusnya”.

Dimana semua syarat-syarat tersebut haruslah mendarah daging dalam ideologi individualis: “Waktu adalah uang. Jiwa dan tubuh adalah mesin uang!”.

Jika tak mampu memenuhi syarat-syarat jalan umum menjadi kaya, namun masih memaksa ingin kaya maka bisa lewat jalan tol keberuntungan; misalnya, menjadi menantu orang kaya, menang Togel, korupsi proyek pemerintah, korupsi jabatan, menjadi intelektual tukang, menjadi Markus, merampok, dan seterusnya.

Sedang aku sendiri takkan pernah bisa berada diantara kedua pilihan menjadi orang kaya diatas. Baik melalui jalan umum maupun jalan tol.
Sedari kecil ibuku tak pernah mendoktrin aku harus jadi begini atau begitu. Mengajari ini, itu. Apalagi mengajari menabung.

Tatkala pertanian terus menerus mengucilkan kehidupan buruh tani. Ibuku beralih menjadi pedagang kecil-kecilan dipasar antar kota. Aku menyebut profesinya PNS: Pencari Nafkah Serabutan (“…..kasihnya seperti udara aku takkan mampu membalasnya.....”). Ibu tak bisa baca tulis. Keterpaksaan ekonomi membuat ia tak bisa mengasuh dan menunggui anak-anaknya dirumah. Selain lebih banyak ditinggali keluar rumah; aku hanya dimanja dengan sedikit materi, diasuh nenek, dan selebihnya aku hanya menyaksikan peperangan demi peperangan yang terjadi antara bapak dan ibu. Setiap minggu peperangan hebat pasti terjadi selama puluhan tahun. Oleh karenanya yang berkaitan dengan pengetahuan, kebenaran, cinta, cita-cita, dan keyakinan hidup, aku mendapatkan semuanya dari luar rumah.

Dulu, sangat kecewa sekali pada mereka. Semua teman-teman bergelimangan dengan kasih sayang dan perhatian keluarga, sementara aku hanya cukup mengangankan. Dikemudian hari aku baru sadar; ternyata, itulah pendidikan terjujur orang tuaku dalam mengajarkan filsafat kehidupan kepadaku: “Hubungan manusia itu pada dasarnya tidak sedang baik-baik saja, tetapi penuh dengan konflik kepentingan”.

Aku juga berterima kasih bahwa pengajaran tertinggi ibuku adalah; ia tidak mendikteku menjadi seperti ini atau seperti itu, harus begini harus begitu. Daripada melarang ibu lebih banyak membolehkan. Satu lagi, ibuku tak pernah tega membangunkanku sewaktu sedang tertidur. Setiap bangun tidur, bersiap akan berangkat sekolah, uang sakuku telah diselipkan dibawah bantal. Itu semua menyebabkan aku lebih senang bersosialisasi, terkadang menyendiri untuk sekedar berimajinasi, merenung dan berfikir dengan keras. Aku lebih bebas menjadi diri sendiri dan bertanggung jawab atas setiap keputusan yang diambil. Yang sangat mengesankan, aku tak pernah diperbolehkan bekerja mengandalkan otot (“Diajari tak tergerus arus mainstream”). Makanya, seringkali aku diajaknya keluar kota ikut berdagang, daripada bekerja disawah menjadi buruh tani.
Selain memang tidak ditradisikan bekerja dengan otot, aku tidak pernah bisa berdisiplin dan berkonsentrasi dalam teknis pekerjaan. Tubuh yang bekerja tapi pikiran tetap melayang kemana-mana. Makanya saat berjualan kerupuk keliling dari warung kewarung sejauh 30 km-an, kaki mengayuh sepeda pancal, mata awas kedepan, namun hati dan pikiran melayang-layang mencari kebenaran sejati. Hati selalu bertasbih dengan bacaan sholawat pada kanjeng nabi, sementara pikiran memikirkan ajaran hidup yang sedang aku jiwai. Lagi pula aku tak terlalu pintar mempertahankan daya tawar harga dihadapan pembeli. Aku gak tegaan, sering mengiyakan bujuk rayu para pembeli daripada menolaknya.

Didalam perjalanan pulang pergi berjualan kerupuk, aku hampir tak pernah berfikir bagaimana teknik penjualannya agar lebih maju; namun pikiranku sibuk memikirkan apa sebenarnya kehidupan itu? Bukan bagaimamana cara menghadapi pembeli, tapi bagaimana kehidupan itu harus disikapi. Aku lebih sibuk mencari jawaban-jawabannya, dan sibuk mengurainya berputar-putar dalam angan, sambil menjajakan kerupuk dengan semangat yang kurang gigih.

Jika mujur dagangan kerupuk itu habis dengan sendirinya, jika tidak, kerupuk itu akan meratapi kememplemannya. Rata-rata barang dagangan yang kubawa pulang masih banyak tersisa. Dan itu cukup untuk mendapatkan imbalan teguran berupa muka masam kakakku. Ia pasti mencemooh, aku ini hanyalah pemuda pemalas.

 Kebiasaanku pulang dari berjualan tak langsung menghitung perolehan penjualan: “Setelah mandi dan berganti pakaian, aku tak langsung menyetorkan modal hasil penjualan; cukup mengambili tiga ribu perak dari kantong buat beli rokok, dan selekasnya ngacir kerumah Cak Sul bersama-sama pergi kerumah Mbah Kyai Mudhar mendiskusikan segala macam pemikiran yang aku dapatkan dijalanan sampai larut malam”.

Jadi bukannya aku tidak mau rajin bekerja keras, tapi bekerja menjadi tukang jual kerupuk yang sedang aku lakoni adalah siksaan teramat berat bagi fisik dan mentalku. Terpaksa semua itu harus aku jalani.

SALAM KENTHIR

Baca Tulisan Terkait



0 komentar:

Posting Komentar

Salam Santri Kenthir.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More