5 Okt 2011

Arus Besar Perempuan Jakartaan Menghantam Moralitas Desa


Miris kawan, bila mengingat disorientasi sosial yang mendera kampung halamanku. Aku hanya berharap perubahan didusunku tak sampai pada level perilaku budaya seperti yang terjadi pada masyarakat dusun Tanjung Sari, dusun tetangga . Bila didusunku perempuan mudanya yang hengkang kejakarta masih bisa dihitung dengan jari, tapi didusun tanjungsari, sudah tak terhitung lagi.
 “Tanjung Sari dikenal sebagai dusunnya perempuan Jakarta`an. Dusun ini  Jaraknya tak jauh dari kampung halamanku. Perempuan Jakarta`an adalah label yang disandangkan pada Dusun Tanjung Sari disebabkan banyak perempuan mudanya yang berprofesi sebagai tukang Pijat Plus di Jakarta. Profesi tukang pijat plus di Jakarta sudah merupakan profesi massal dan bukan hal tabu lagi bagi eksistensi kehormatan keluarganya. Lima tahun lalu saat aku menginvestigasi ke dusun tersebut, kulihat dalam satu RT berderet-deret rumah mewah nan megah sementara rumah-rumah tersebut hanya dihuni oleh para orang tua yang berstatus sebagai buruh tani. Bila pada masyarakat  jaman  jahiliyah mekkah menyikapinya dengan kesedihan jika yang lahir anak perempuan, sebaliknya para orang tua buruh tani di Tanjung Sari sangat bahagia apabila bayi yang lahir berjenis perempuan. Punya anak bayi perempuan berarti kelak ia akan menjadi gadis penyelamat ekonomi kemelaratan keluarga. (Tentang Dusun Tanjung Sari dan perempuan Jakartaannya, pernah saya kupas panjang lebar dimajalah lokal budaya DEMORO).”  
 Tak habis pikir, kenapa riuh suara-suara adzan dikampung halaman tak mempan membendung gemuruh gelombang perempuan mudanya merantau  ke-jakarta, Batam, Menado untuk menjadi pekerja seks komersial. Apakah suara adzan melalui corong-corong  speaker itu sudah tak menentramkan hati mereka? Apakah panggilan-panggilan adzan itu sekedar teriakan nyaring tak berkait dengan makna keselamatan sosial- ekonomi yang sedang dihadapi kaum bawah dikampung halaman?
 Segelintir orang yang menjadi jamaah rutin sholat musholla dan masjid rata-rata koor hanya menyalahkan para perempuan pelacur terselubung ditanah rantau tersebut. Para kyai langgar, para takmir masjid, dan tokoh masyarakat, rata-rata menyikapinya dengan lontaran yang lebih pedas dari cabe yang paling pedas sedunia.
 Sementara Kyai sepuh veteran pejuang `45, Mbah Mudhar hanya bisa sebatas prihatin dengan kondisi sosial yang terjadi disekitar dusun. Suara lirih beliau memilih menyalahkan Negara yang telah menghianati amanah perjuangan kedaulatan bangsa yang termaktub dalam UUD 1945.
 Serentak semua hanya bisa menyalahkan masyarakat telah bertindak kalap dan ketidakbecusan negara dalam mensejahterakan rakyat. Tak pernah mereka mengkoreksi diri, apakah benar semakin banyaknya musholla, forum-forum pengajian, madrasah, TK Islam, masjid super megah telah masuk kategori yang dianjurkan Nabi Muhammad, bahwa kita telah berada dalam level sedang berlomba-lomba dalam kebaikan? Kalau itu memang untuk kebaikan, mengapa tidak memberi mamfaat pada kemiskinan akut yang dihadapi kaum bawah dusun?  Bukankah suatu ibadah dikata baik, bila memberi kemanfaatan pada hidup sesamanya? Mengapa ia tak mampu menghadirkan dan menggugah solidaritas tolong menolong demi keselamatan bersama dusun?

SALAM KENTHIR

Baca Tulisan Terkait



0 komentar:

Posting Komentar

Salam Santri Kenthir.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More