19 Okt 2011

Menjilat Cinta Pembebasan, Mungkinkah?


Minggu 17 April 2011
Di hari minggu yang cerah, Rahman masih malas-malasan beranjak dari tempat tidurnya. Peristiwa pertengkaran dengan Diah semalam masih nanar merasuk kesetiap sudut hatinya. “padahal dulu sewaktu saling mengikrar hubungan cinta pembebasan, Diah tak pernah menggugatnya. Apakah karena ia sekarang cemburu pada Dhani?” Gumam Rahman dalam benak . “Tidakkah Ia sudah tahu, bahwa sebelum aku mengenalnya, aku sudah menjalin persahabatan dengan Dhani?”

Sinar mentari pagi menerjang melalui kisi-kisi jendela kamar menebar aroma pengap seantero ruang kamar Rahman, namun jua, tetap saja hangat mentari yang menyapa dan bau pengapnya kamar  tak membuat Rahman tanggap  bergegas bangkit kekamar mandi. Selimut kumal yang sudah enggan membaluti tubuhnya, diraihnya kembali. Sambil menindihkan kepalanya dibawah bantal, Rahman berharap mampu melanjutkan perjalanan tidurnya melewati hari minggunya yang kelam. Tapi sia-sia. Pikiran-pikiran yang kadung menerawang jauh tak mau diajak kompromi  ikut menghening dalam tidur lelap. Bahkan pikiran yang bersayapkan lamunan itu tetap mencengkeram erat, enggan berpindah dari ruang dan waktu peristiwa dua bulan yang lalu. Semakin asik bergelayut dari ranting kerantingnya, berkelebat diantara dahan-dahannya, yangmana Rahman dan Diah sedang asik menyulamkan ikrar cinta adalah pembebasan.
“Diah, beneran bersedia mencintaku?” Tanya Rahman menatap mata Dyah sampai menembus relung hatinya.
“Iya, mas! Apakah Mas Rahman juga?” Jawab Diah dengan suara tergetar. Kepalanya tertunduk malu. Jantungnya berdegup kencang.
Rahman menganggukkan kepala. Percikan senyumnya menghujam jantung asmara gadis yang sedang duduk teramat dekat dihadapannya.
“Tapi…Aku mencintaimu dengan cinta pembebasan. Dan kuharap, maukah Diah bersama-samaku merajut cinta  dengan aliran cinta pembebasan? ”
“Maksudnya?”
“Begini, aku dan Diah saling mencintai tapi bukan untuk saling memiliki. Rindu dipersembahkan bukan untuk mengikatkan jiwa. Jadi hubungan cinta pembebasan bukanlan suatu hubungan ikatan. Hubungan Cinta pembebasan bukan pula hubungan pacaran.”
Diah lama terdiam. Ia tak lekas menanggapi dan menyanggupi. Pikirannya terpekur menerawang-awang  tarian-tarian cinta pembebasan yang disodorkan Rahman.
“terus, apa bedanya jalinan cinta pembebasan dengan jalinan pacaran, mas?” Kata Diah memecah kebekuan.
“Jalinan cinta pembebasan adalah upaya-upaya sang pecinta untuk membahagiakan kekasihnya. Selalu dan selamanya. Dengan jalan pembebasan beserta pengorbanan ia mengasihi dan menyanyangi dengan tulus agar cintanya tidak terjatuh kedalam kubangan penindasan. Sedang jalinan pacaran adalah sebentuk ikatan cinta yang membelenggu pembebasan jiwa sang pecinta. Kerap kali atas nama cinta sang pacar lebih banyak menuntut daripada memberi. Atas nama kewajiban sang pacar berulang kali menghardik bengis. Atas nama kasih sayang sang pacar selalu manabuh genderang penindasan.”

Penjelasan Rahman rupanya tak terlalu dimengerti oleh Diah. Kata-kata filosofis yang mendalam itu sulit dicernanya dalam hitungan menit. Baginya, Rahman yang sedang berkata-kata dihadapannya adalah pangeran cintanya. Itu saja. Soal akan dibawa kemanakah cintanya itu tak terlalu penting. Yang dirasakannya sekarang ialah, ia sedang terhanyut kedalam aliran deras jeram cinta yang meruah kesetiap ruang-ruang jiwanya.
Diah tak mampu dan memang tak mau mengungkap gundah gulananya tentang, apa itu cinta pembebasan yang kini hadir kehadapannya. Seluruh getar-getir jiwanya hanya bisa tersalur dengan menggeggam jemari tangan Rahman sangat erat.
Kita saling mengulurkan tangan dan menggenggam erat cinta pembebasan.
Aku akan lebur meski meragukannya..
Ku takkan takut..
Aku hanya akan menggenggam tanganmu, sayang..
Bukan mengikat atau menariknya paksa..
Karna ku tahu..
Akan tiba saatnya kita akan ada dipersimpangan..
Dan kitapun akan melepaskan dan mencampakkan genggam eratnya..
(Copas anonim)
Diah merebah dipanggkuan Rahman. Aliran deras cintanya menghempas rasa malu. Ia memasrahkan gejolak jiwanya disetiap belai lembut jemari Rahman. Ikrar cinta pembebasan mereka pun mengalun mengiring percumbuan yang melesat bebas kenegeri impian. Keterasingan hidup dua insan itu melebur dalam gelora indahnya hidup dinegeri impian. Mereka terhanyut dalam senandung makna cinta pembebasan yang mengharu biru.
“Ketika kebebasan dibatasi, cinta akan mulai tercekik. Cinta hanya dapat bersemi dan semakin tumbuh subur bila dalam kebebasan. Kebebasan adalah sifat mendasar cinta. Dalam menghadapi hal duniawi, ikuti jalan cinta daripada jalan peraturan. Seorang pecinta melampui segala peraturan. Tidak ada peraturan jelas bagaimana mengekspresikan cintamu. Semua ekspresi spontan muncul dari cinta dan cinta mengejewantahkan dengan caranya sendiri....engkau tak dapat membatasinya. Matamu tak dapat menyembunyikan cinta, bahasa tubuhmu tidak dapat menyembunyikan cinta” (Copas anonim)
Sudah empat jam Rahman  tersandera bermalas-malas ria diatas ranjang tidurnya. Mata yang dipejam-pejam tak jua menghantarnya kealam mimpi. Bayang-bayang resah jalinan cinta pembebasannya terus menghantui waktu kekinian. Ia menyesal telah tergelincir kedalam percumbuan yang dibalut cinta pembebasan. Karena nikmatnya percumbuan  membuat Diah berpaling dari makna cinta adalah pembebasan, Diah lebih terlarut kedalam emosi cinta itu memiliki dan membatasi.
“Sayang!”
“Hemm..” Sahut Dyah dengan suara manjanya.
“Aku mau memberitahumu akan satu hal.”
“Apa itu mas?”
“Janganlah kamu jadikan alasan bahwa percumbuan tubuh yang telah kita lakukan barusan kelak  mengikat jiwa dan memaksa kehendak untuk memiliki dan membatasi kita.”
“He eh…aku sudah paham kok, mas!”
Tapi Diah ingkar. Sejak Diah menjumpai Rahman berjalan berdua bersama Dhani sahabatnya, rasa cemburunya berkobar. Diah tak terima bila Rahman lebih akrab dengan Dhani. Akhir-akhir ini saja Diah selalu menuntut Rahman harus memperlakukan dirinya selayaknya  orang yang berpacaran. Setiap malam minggu jam tujuh Rahman harus datang mengunjunginya. Bila bertatap muka, Rahman harus selalu bersikap mesra padanya. Rahman harus begini, harus begitu. Dan terakhir yang paling keras permintaan Diah adalah, Rahman harus menjauhi sahabatnya yang bernama Dhani.
Seterusnya pertengkaran demi pertengkaran tak bias dielakkan. Rahman sudah berusaha mengalah dan bersabar mencoba memahami setiap keinginan Diah. Namun semakin ia menuruti, semakin ia mengalah, semakin pula Diah termamat kuat mencengkeram kemerdekaan jiwanya atas nama; Rahman itu cowoknya Diah, Diah itu pacarnya Rahman. Bahkan saat Rahman menampik ciumannya, justru memantik amarah Diah, kalau rahman sudah tak lagi  cinta kepadanya.
Harapan akan cinta pembebasan yang akan selalu membahagiakan justru melumpuhkan sendi-sendi kemerdekaan hidup Rahman. Cinta pembebebasan yang dibayangkannya menjadi kontra produktif dengan kenyataan yang dijalani.
“Ketika engkau mencintai seseorang, engkau merasa cinta melumpuhkan dirimu karena engkau memiliki kewajiban. Begitu banyak kewajiban yang harus dipenuhi maka kewajiban itu seperti hutang yang menumpuk di kepala dan engkau akan memiliki kewajiban tambahan lagi yaitu tidak menyakiti orang yang di cintai dan mencintaimu. Secara halus dan perlahan hal ini akan menghilangkan kebebasanmu dan kemudian secara perlahan pula akan timbul tuntutan dalam dirimu. Pada saat kebutuhan muncul dalam dirimu, ketahuilah bahwa cinta telah mendekati kematian. Cinta berada dalam ruang ICU dengan tabung oksigen dan tak akan mampu bertahan lama.”
(Copas anonim)
Rahman segera beranjak dari tempat tidurnya. Selesai mandi dan menyetrika baju-bajunya. Ia segera bergegas pergi kerumah Diah. Dalam benaknya, Ia harus segera menyelesaikan persoalan hubungannya dengan Diah yang semakin hari semakin menistakan kemanusiaannya.
Percuma hubungan cinta pembebasan dijalani, jika Diah sudah tak menginginkannya. Mungkin cinta pembebasan itu hanya ada ditataran teori, hanya asik diangankan. Mungkin cinta pembebasan hanya bisa didamba tapi tak bisa diaplikasi oleh orang-orang biasa dengan jiwa-jiwa pecinta yang biasa-biasa pula.
Ditengah perjalanan Rahman menyiapkan mental. Menata hati. Menguatkan diri memunguti serpihan-serpihan rasa kecewanya. Ia sudah bertekad bulat akan melayani permintaan Diah untuk putus ikatan cinta dihadapan sahabatnya, Dhani. Walau Rahman sendiri sesungguhnya tak pernah mengerti sampai kapanpun: ikrar ikatan cinta, ikrar putus cinta?

Baca Tulisan Terkait



0 komentar:

Posting Komentar

Salam Santri Kenthir.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More