
Apa
kebahagiaan itu? Bagaimana kebahagiaan itu? Seperti Apa? Dimana
tempatnya? Buat apa kebahagiaan itu? Kenapa semua manusia
menginginkannya? Kenapa yag telah mendapatkannya cenderung
mengabadikannya?
Aku tak perlu menjawab semuanya. Kebahagiaan
hidupku tak bisa ku jelaskan dengan apa pun. Aku hanya bisa merasakan
kebahagian, dengan teramat bahagia. Titik!!.
Aku lelaki biasa
yang terbiasa bisa, tapi melemah oleh keteduhan mata yang mengusir
sebuah makna. Pada garis tepi yang sama. Dengan segala pundi-pundi dan
cawan cinta yang sama.
Cintaku adalah makna yang tidak harus
selalu diutarakan. Karena cintaku telah banyak bercerita dan berbicara.
Laut telah mendapatkan semuanya dariku. Tentang semua yang mengganggu
malam-malam dan setiap detik kehidupanku. Laut telah mengetahui semua
ceritaku dari keluguanku berututur, dan ia memahaminya dengan desir
ombak abadinya.
“Kemana, Ning?”
“Main kekosan Aan, yuk?!”,
kata Nining berharap aku menyetujuinya ikut ajakannya main ketempat kos
Aan Subiyanto. Kami bertiga, hari-harinya sering ngumpul dikampus..
“Iya, jangan lama-lama? Jam satu aku harus sampai di rumah. Aku tak ingin kakakku marah-marah jika pulang terlambat.”.
”Iya, sebentar. Gak mungkin kamu terlambat ’wahai’ tukang krupuk, anak kesayangannnya, emmak..! He..he..guyon!”.
Tempat
kos Aan Subiyanto jaraknya dari kampus 100 meter-an. Kami berjalan
kaki. Tak seperti sebelumnya jantungku selalu berdebar jika berjalan
disampingnya.. Kini, tidak lagi. Desiran ombak jiwaku bergerak
mendamaikan dan begitu menenangkan. Aku hanya merasakan kebahagiaan
demi kebahagiaan itu terus menyelimuti dimana pun, apapun dan dengan
siapapun. Benar-benar luar biasa, pasca krisis keterpurukan yang pernah
ku alami sebelumnya. Aku telah seperti berada di dunia yang tanpa sifat
kebineran dan kontradiktif. Cintaku yang bersemi sudah tidak mengkerut
(berdebar-debar) oleh visualisasi paras ayu nan jelitanya.
Lihatlah aku perempuanku…..
Aku sudah lebih dari musafir kehausan yang telah berubah menjadi raja diraja….
Memimpin gurun pasir gersang nan tandus penuh dengan bangkai berserakan…..
Meniduri bayang sendiri dikesunyian gurun dengan tertawa….
Merindu kepada entah, mengharap kepada entah, bercinta dengan entah, dan bermani karena entah..!
”Hey,
masuk! Waduh, kalian sok selalu runtang runtung!. Koyok wis pacaran,
ae?”, kelakar Aan seenak udelnya menyambut kedatangan kami. Kalimatnya
seperti sedang menelanjangi kemalu-maluan-ku.
Aku tak
terpengaruh. Aku juga berusaha untuk tidak terpojok. ” Lho, awake dewe
kan wis pacaran, yo Ning?. Awakmu ae sing gak gerti kabare manuk, An!”,
selorohku sambil mengedipkan mata meminta Nining mengangguk. Nining
mengangguk seperti terhipnotis, pura-pura setuju dengan mimik sok
serius.
”Halah…kuammpret!! Yo wis monggo mlebet Mawon. Masuk
saja. Duduk disini dan dipenakke. Aku mau ngadep Bu Kos dulu. Tapi
kamarku ojok di gawe macem-macem, yo?”.
Pintu kamar tetap
dibiarkan terbuka. Kami ditinggal berduaan didalam kamar. Seketika,
entah, seperti mendapat wahyu dari langit, aku merasa diberi kesempatan
untuk menuangkan ritual kata cinta kedalam cawan anggurnya. Hati
terdalam membisik untuk lekas menyuguhkan cinta terpendam kehadapan
sang ratu. Saksi kamar bisu Aan sudah siap mendengarkannya..!
”Ning,
aku nang jeding disek, yo?”. Aku pamit, keluar sebentar ke kamar mandi
depan. Didalam kamar mandi, aku memutar otak, memilih kata-kata,
memikirkan kalimat yang bisa mewakili perasaaan, kalimat yang mewakili
cinta untuk tidak memiliki, dengan perasaan yang ikhlas, tidak
mendesaknya, menuntut jawaban iya atau tidak, bisa mewakili kepentingan
orang tua, tidak mengagetkan yang mendengar, mengalir dengan tenang,
slow, dan suasaan tetap cair terkendali.
Biarlah bagi mereka, atas nama cinta kematian menjadi pesta yang dirayakan.
Cinta bagiku adalah nyawa yang berkesenimbangan…
Cintaku bukan mata pisau yang merobek jantung pencintanya…
Cintaku bukan racun yang membunuh pengampunya…
Setelah
kurasa siap, aku, datang kembali kekamar, duduk menyila dialas karpet
tepat dihadapan Nining. Bagai dua orang sufi yan sedang berbagi
keindahan atas gelora pengalaman mistik cintanya. Suasana kebekuan pun
terpecah dengan suara-suara keihlasan penuturunnya..
“Ning, aku mau jujur nang awakmu”.
“Jujur
apa?”. kata Nining dengan kepala menunduk, sok sibuk membolah-balik
buku. Sepertinya, ia sudah bisa menebak apa yang akan kukatakan
selanjutnya.
“Tentang perasaan ku nang awakmu.” Ruang kamar
pengap Aan selaksa berada di gubuk persawahan sebelah rumahku dengan
angin sepoi-sepoinya.
”Sory banget, yo ning…!. Awalnya aku gak
kepingin duwe perasaan koyok ngunu, perasaan seneng nang awakmu! Tapi
kabeh iku, teko dengan sendirinya, Ning!!.”, kulihat nining masih
tertunduk mendengarkan.
“Sori, yo! Roso seneng itu datangnya gak
bisa aku hindari. Aku gak iso membunuh roso iku. Aku kudu ngakui, kudu
jujur, aku ancene seneng. Yo… yoopo maneh. Tak terimo ae, Ning. Meski
iki kurang pantes kanggo awakmu, mungkin!”.
Nining terdiam.
Seakan ia memberi kesempatan seluas-luasnya aku menumpahkan perasaan
yang sudah tiga tahun terpendam. Lalu Nining menengadahkan kepala.
Ekspresi wajahnya terlihat seperti orang yang sedang menikmati udara
segar dijendala.
Sebelum ia menimpali, aku melanjutkan. “ehmmm,
….aku ngomong iki gak duwe maksud ben awakmu gelem nang aku. Ben awakmu
dadi pacarku. Aku gak nuntut macem-mancem, Ning!. Sing penting awakmu
weroh, ae!. Mendengarkan kabeh sing tak pendem sampe saiki.. Ehmmm…,
aku gak perlu jawabanmu, opo iyo, opo gak. Terpenting aku wis mari
ngomong”.
Situasi pesta ritual pengungkapan cinta terpendam ini
harus selalu berada dalam kendaliku. Tiba-tiba….tanpa aku duga sepatah
omongan keluar dari mulut Nining dengan mimik berseri-seri, ”gak popo!”.
Huff….aku
mulai terganggu!! Kendali situasi mulai goyah. Kalimat tidak apa-apa
dari mulutnya dengan mimik berseri-seri menggoda saraf-saraf
kerinduanku mengalir dan menggedor-gedor jantung cintaku. Konsentrasiku
mulai buyar. Selekas mungkin aku harus menguasai keadaan diri.
“
Kesuwon, Ning…ehmmm…tolong mulai mari ngene, besok-besok, hubungan kita
koyok biasane yo.? Ojok berubah. Ojok berjarak loh! Sukur-sukur tambah
dekat, ae!..he he ..he.. Oyi, Ning?”.
”Tenang ae, aku wis ngerti
kok. Jalok mu koyok biasane, yo kayak biasane ae lah! Opoo awakmu
keberatan tah, bek hubungan sing koyok biasane, iku?”, kata Nining
terlihat desiran-desiran aneh terjadi juga padanya.
Hah!!!
Gelagapan juga dengan pertanyaan menohok seperti itu. Untung Aan
subiyanto cengengas-cengenges cepet datang, langsung nyerocos bla bla
bla tentang bu Kos nya yang tak punya pengertian kompensasi sedikitpun
atas keterlambatan bayar kosnya.
”Wis An aku mule disek ae. Sori,
An, masih ada keperluan mendadak dirumah. Ngunu ae Ning, yo?. Ojok lali
An, Nining dianter nang kossane engkok. Ok..assalamualaikum kabeh, yo?”
Senja-senja
berikutnya datang menyambutku dan nuansa yang dibawanya membuatku
terpasung dalam kebahagiaan ditengah keterbatasan-keterbatasanku. Hujan
adalah limpahan air mata kebahagian manusia yang tak sampai. Maka
tersungkurlah aku diantara rintiknya. Dan kita pun akan merasakan
kenikmatannya-kenikmatannya. Oh, sayang!..Aduh, aku cinta kamu banget
sayang! Segala rasa, segala cipta, segala yang ku punya, telah
tersungkur pada altarmu sayang…!
0 komentar:
Posting Komentar
Salam Santri Kenthir.