23 Okt 2011

Ketika Cinta Terpendamku Mengungkap Rasa


Apa kebahagiaan itu? Bagaimana kebahagiaan itu? Seperti Apa? Dimana tempatnya? Buat apa kebahagiaan itu? Kenapa semua manusia menginginkannya? Kenapa yag telah mendapatkannya cenderung mengabadikannya?
Aku tak perlu menjawab semuanya. Kebahagiaan hidupku tak bisa ku jelaskan dengan apa pun. Aku hanya bisa merasakan kebahagian, dengan teramat bahagia. Titik!!.
Aku lelaki biasa yang terbiasa bisa, tapi melemah oleh keteduhan mata yang mengusir sebuah makna. Pada garis tepi yang sama. Dengan segala pundi-pundi dan cawan cinta yang sama.
Cintaku adalah makna yang tidak harus selalu diutarakan. Karena cintaku telah banyak bercerita dan berbicara. Laut telah mendapatkan semuanya dariku. Tentang semua yang mengganggu malam-malam dan setiap detik kehidupanku. Laut telah mengetahui semua ceritaku dari keluguanku berututur, dan ia memahaminya dengan desir ombak abadinya.
“Kemana, Ning?”
“Main kekosan Aan, yuk?!”, kata Nining berharap aku menyetujuinya ikut ajakannya main ketempat kos Aan Subiyanto. Kami bertiga, hari-harinya sering ngumpul dikampus..
“Iya, jangan lama-lama? Jam satu aku harus sampai di rumah. Aku tak ingin kakakku marah-marah jika pulang terlambat.”.
”Iya, sebentar. Gak mungkin kamu terlambat ’wahai’ tukang krupuk, anak kesayangannnya, emmak..! He..he..guyon!”.
Tempat kos Aan Subiyanto jaraknya dari kampus 100 meter-an. Kami berjalan kaki. Tak seperti sebelumnya jantungku selalu berdebar jika berjalan disampingnya.. Kini, tidak lagi. Desiran ombak jiwaku bergerak mendamaikan dan begitu menenangkan. Aku hanya merasakan kebahagiaan demi kebahagiaan itu terus menyelimuti dimana pun, apapun dan dengan siapapun. Benar-benar luar biasa, pasca krisis keterpurukan yang pernah ku alami sebelumnya. Aku telah seperti berada di dunia yang tanpa sifat kebineran dan kontradiktif. Cintaku yang bersemi sudah tidak mengkerut (berdebar-debar) oleh visualisasi paras ayu nan jelitanya.
Lihatlah aku perempuanku…..
Aku sudah lebih dari musafir kehausan yang telah berubah menjadi raja diraja….
Memimpin gurun pasir gersang nan tandus penuh dengan bangkai berserakan…..
Meniduri bayang sendiri dikesunyian gurun dengan tertawa….
Merindu kepada entah, mengharap kepada entah, bercinta dengan entah, dan bermani karena entah..!
”Hey, masuk! Waduh, kalian sok selalu runtang runtung!. Koyok wis pacaran, ae?”, kelakar Aan seenak udelnya menyambut kedatangan kami. Kalimatnya seperti sedang menelanjangi kemalu-maluan-ku.
Aku tak terpengaruh. Aku juga berusaha untuk tidak terpojok. ” Lho, awake dewe kan wis pacaran, yo Ning?. Awakmu ae sing gak gerti kabare manuk, An!”, selorohku sambil mengedipkan mata meminta Nining mengangguk. Nining mengangguk seperti terhipnotis, pura-pura setuju dengan mimik sok serius.
”Halah…kuammpret!! Yo wis monggo mlebet Mawon. Masuk saja. Duduk disini dan dipenakke. Aku mau ngadep Bu Kos dulu. Tapi kamarku ojok di gawe macem-macem, yo?”.
Pintu kamar tetap dibiarkan terbuka. Kami ditinggal berduaan didalam kamar. Seketika, entah, seperti mendapat wahyu dari langit, aku merasa diberi kesempatan untuk menuangkan ritual kata cinta kedalam cawan anggurnya. Hati terdalam membisik untuk lekas menyuguhkan cinta terpendam kehadapan sang ratu. Saksi kamar bisu Aan sudah siap mendengarkannya..!
”Ning, aku nang jeding disek, yo?”. Aku pamit, keluar sebentar ke kamar mandi depan. Didalam kamar mandi, aku memutar otak, memilih kata-kata, memikirkan kalimat yang bisa mewakili perasaaan, kalimat yang mewakili cinta untuk tidak memiliki, dengan perasaan yang ikhlas, tidak mendesaknya, menuntut jawaban iya atau tidak, bisa mewakili kepentingan orang tua, tidak mengagetkan yang mendengar, mengalir dengan tenang, slow, dan suasaan tetap cair terkendali.
Biarlah bagi mereka, atas nama cinta kematian menjadi pesta yang dirayakan.
Cinta bagiku adalah nyawa yang berkesenimbangan…
Cintaku bukan mata pisau yang merobek jantung pencintanya…
Cintaku bukan racun yang membunuh pengampunya…
Setelah kurasa siap, aku, datang kembali kekamar, duduk menyila dialas karpet tepat dihadapan Nining. Bagai dua orang sufi yan sedang berbagi keindahan atas gelora pengalaman mistik cintanya. Suasana kebekuan pun terpecah dengan suara-suara keihlasan penuturunnya..
“Ning, aku mau jujur nang awakmu”.
“Jujur apa?”. kata Nining dengan kepala menunduk, sok sibuk membolah-balik buku. Sepertinya, ia sudah bisa menebak apa yang akan kukatakan selanjutnya.
“Tentang perasaan ku nang awakmu.” Ruang kamar pengap Aan selaksa berada di gubuk persawahan sebelah rumahku dengan angin sepoi-sepoinya.
”Sory banget, yo ning…!. Awalnya aku gak kepingin duwe perasaan koyok ngunu, perasaan seneng nang awakmu! Tapi kabeh iku, teko dengan sendirinya, Ning!!.”, kulihat nining masih tertunduk mendengarkan.
“Sori, yo! Roso seneng itu datangnya gak bisa aku hindari. Aku gak iso membunuh roso iku. Aku kudu ngakui, kudu jujur, aku ancene seneng. Yo… yoopo maneh. Tak terimo ae, Ning. Meski iki kurang pantes kanggo awakmu, mungkin!”.
Nining terdiam. Seakan ia memberi kesempatan seluas-luasnya aku menumpahkan perasaan yang sudah tiga tahun terpendam. Lalu Nining menengadahkan kepala. Ekspresi wajahnya terlihat seperti orang yang sedang menikmati udara segar dijendala.
Sebelum ia menimpali, aku melanjutkan. “ehmmm, ….aku ngomong iki gak duwe maksud ben awakmu gelem nang aku. Ben awakmu dadi pacarku. Aku gak nuntut macem-mancem, Ning!. Sing penting awakmu weroh, ae!. Mendengarkan kabeh sing tak pendem sampe saiki.. Ehmmm…, aku gak perlu jawabanmu, opo iyo, opo gak. Terpenting aku wis mari ngomong”.
Situasi pesta ritual pengungkapan cinta terpendam ini harus selalu berada dalam kendaliku. Tiba-tiba….tanpa aku duga sepatah omongan keluar dari mulut Nining dengan mimik berseri-seri, ”gak popo!”.
Huff….aku mulai terganggu!! Kendali situasi mulai goyah. Kalimat tidak apa-apa dari mulutnya dengan mimik berseri-seri menggoda saraf-saraf kerinduanku mengalir dan menggedor-gedor jantung cintaku. Konsentrasiku mulai buyar. Selekas mungkin aku harus menguasai keadaan diri.
“ Kesuwon, Ning…ehmmm…tolong mulai mari ngene, besok-besok, hubungan kita koyok biasane yo.? Ojok berubah. Ojok berjarak loh! Sukur-sukur tambah dekat, ae!..he he ..he.. Oyi, Ning?”.
”Tenang ae, aku wis ngerti kok. Jalok mu koyok biasane, yo kayak biasane ae lah! Opoo awakmu keberatan tah, bek hubungan sing koyok biasane, iku?”, kata Nining terlihat desiran-desiran aneh terjadi juga padanya.
Hah!!! Gelagapan juga dengan pertanyaan menohok seperti itu. Untung Aan subiyanto cengengas-cengenges cepet datang, langsung nyerocos bla bla bla tentang bu Kos nya yang tak punya pengertian kompensasi sedikitpun atas keterlambatan bayar kosnya.
”Wis An aku mule disek ae. Sori, An, masih ada keperluan mendadak dirumah. Ngunu ae Ning, yo?. Ojok lali An, Nining dianter nang kossane engkok. Ok..assalamualaikum kabeh, yo?”
Senja-senja berikutnya datang menyambutku dan nuansa yang dibawanya membuatku terpasung dalam kebahagiaan ditengah keterbatasan-keterbatasanku. Hujan adalah limpahan air mata kebahagian manusia yang tak sampai. Maka tersungkurlah aku diantara rintiknya. Dan kita pun akan merasakan kenikmatannya-kenikmatannya. Oh, sayang!..Aduh, aku cinta kamu banget sayang! Segala rasa, segala cipta, segala yang ku punya, telah tersungkur pada altarmu sayang…!

Baca Tulisan Terkait



0 komentar:

Posting Komentar

Salam Santri Kenthir.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More