Yang terjadi didesa, gosip
digunakan oleh kaum buruh tani untuk melawan kesewenang wenangan kaum petani
kaya,, tapi gosip diseputar gang VIII ini dirayakan bukan untuk memusuhi
tersangka yang terkena gosip. Di gang VIII, gosip digunakan untuk mengisi waktu
luang warga demi mengatasi keterasingan, kegelisahan individual, atas derasnya
perubahan-perubahan dalam system social yang tak berpihak.Tak ada sosok musuh
bersama disini- sebagaimana halnya kaum buruh tani-. Musuh bersama warga adalah
system social yang menindas dan tak pernah benar-benar kelihatan, karena musuh
itu berupa struktur-struktur yang menghisap darah dan keringat mereka secara
perlahan-lahan. Selain itu, semua warga ibu-ibu mengalami kepelikan hidup yang
sama yakni, ketidakberdayaan diri mengendalikan perubahan-perubahan sementara
kebutuhan hidup harus terus menerus diperjuangkan dengan keras. Oleh karena
itu, gosip ditangan mereka adalah, sebagai sarana menghibur diri dari kepenatan
menanggung beban hidup sehari-hari, aktualisasi komunikasi antar individu, dan
kerekatan sosial antar warga, bukan bertujuan mengambil tindakan penghakiman
(sangsi social)atas salah satu warga yang menyimpang dari nilai dan moralitas
di Gang VIII.
Adalah wajar jika Ustad
syaikhoni (nama fiktif) yang telah beristri itu, berselingkuh dengan mantan
santrinya, bernama Diah pitaloka (nama fiktif), telah menjadi rahasia umum
warga dan dibiarkan beredar sampai sekarang. Hubungan selingkuh antara Ustad
syaikhoni dengan Diah Pitaloka itu sudah berjalan 6 tahun. Sejak Diah mulai
jadi santri (mulai kelas 3 SMP), sampai sekarang (sampai baru lulus SMA),
perselingkuhan itu sudah menjadi rahasia umum warga. Bahkan public gosip (warga
gang ) cenderung memelihara agar gosip seputar perselingkuhan tersebut tetap
dipertahankan dipanggung gosip. Sepertinya para warga tahu bagaimana seharusnya
kartu gosip yang berada ditangannya tidak diketahui oleh para kerabat dekat,
terlebih-lebih oleh tersangka sendiri.
Berbeda sebagaimana didesa yakni
gosip menyebabkan ketegangan hubungan antara yang menggosip dengan yang
digosipkan, tapi digang ini, hubungan penggosip dengan yang digosipkan masih
tetap cair. Ustad syaikhoni yang biasa mengisi pengajian ibu-ibu dimusholla,
petuah-petuah nya tidak ditanggapi dengan sinis, tapi disikapi dengan
gurauan-gurauan kecil ibu-ibu penggosip sambil pura-pura mendengar serius
ceramahnya. Begitu pula perlakuan kaum ibu-ibu penggosip pada Diah Pitaloka,
diruang-ruang komunikasi seperti acara arisan, pengajian, rekreasi bersama,
Diah masih diperlakukan dengan wajar seperti tak pernah terjadi sesuatu apapun.
Bila ada selamatan dirumahnya yang membutuhkan bantuan para ibu-ibu, dengan
riang para ibu-ibu tetap membantu keluarga diah pitaloka.
Bandingkan dengan kasus terkenal
yang menimpa KH. Aa Gym, atau yang
menimpa Ariel, Luna, dan Cut tari yang berakibat kehancuran otoritas kuasa,
ekonomi sampai berujung menjadi kasus hukum. Itu menunjukkan bagaimana public
gosip masih tak dewasa dalam memisahkan antara mana wilayah prifat dan wilayah
public. Digang VIII ini, warga masyarakat menanggapi gosip perselingkuhan
antara Ustad Syaikhoni dengan
istilah nafsi-nafsi. Artinya gosip yang menyangkut urusan privat seseorang
adalah urusan mereka sendiri. Dimana yang menjadi urusan privat tak akan
mengganggu urusan public. Dengan istilah nafsi-nafsi masing-masing warga
berhati-hati, agar perilaku dirinya tidak menjadi sasaran gosip, beredar diatas
panggung gosip, dimana kemudian hanya dijadikan sebatas media menghibur bagi
kaum ibu-ibu lainnya.
Demikianlah gosip digang VIII
Gebang-Jember, dirayakan bukan untuk tujuan negative yang bersifat destroyer
bagi manusia lainnya. Masing-masing warga sebisa mungkin dirinya tidak jadi
sasaran tembak senjata gosip, namun sekaligus juga merayakannya jika salah satu
warga terpaksa terkena sasaran tembakannya. Gosip tak lebih permainan petak
umpet, permainan tebak-tebakan, dan lain lain, yang tak perlu memakan korban
pada pemainnya. “Mari kita
rayakan gosip, gosok sedikit demi sedikit agar tambah sip!, mari kita bergembira dengan
gosip, agar hidup tidak kering dan tak merana walau kepala ini telah menjadi
kaki”, Lamat-lamat, berkata serentak sambil cekikan para
ibu-ibu itu terdengar ditepian hangar bingar peradaban kota jember, terngiang
sampai kesini, saat aku harus mengakhiri tulisan ini.
0 komentar:
Posting Komentar
Salam Santri Kenthir.