Awal kedatangan ku di Pondok Pesantren ini, (saya sebut ponpes tanpa nama, karena tak ada papan nam layaknya diponpes lainnya) untuk menenangkan dan menyamankan hati dari keruwetan, kesempitan, dan keletihan hidup yang kujalani selama ini.
Muak dengan segala kesenangan duniawi, muntah dengan jebakan hidup
kapitalis dan jenuh dengan mimpi-mimpi modernitas. Segalanya itu telah
mensistem dan mempolakan kehidupanku hanya menjadi dua pilihan utama: bertindak
menyerang atau bertahan, ikut berebutan atau menyerah pada keadaan.
Sungguh melelahkan hidup sebagai ‘aku ’ dalam ruang hidup dengan
system social kapitalis ini. Disini ‘aku’ diwajibkan berkecukupan modal dan
keahlian di bidang tertentu yang dibutuhkan untuk menopang bangunan social
kapitalisme. Jika aku tak mampu menyediakan diri (modal dan keahlian) maka aku
harus mampu berada dipinggir peradaban sambil bertahan di kasta social paling
bawah hanya demi ‘aku’ agar tidak punah.
Sulit menjadi aku dalam ruang yang penuh sesak dengan jiwa-jiwa
materialism ini, karena ke-akuan -ku dibentuk dan diarahkan tujuannya hanya
untuk menyembah uang dan sekutunya. Sementara sifat fitri dalam
diri masih tak berdaya dan masih sangat menggantung pada kekuatan mutlak system
kapitalisme.
‘Aku’ dimata raksasa kapitalisme menjadi ada jika aku telah
menjadi pengusaha, pejabat, akademisi dan buruh. ‘Aku’ akan menjadi tidak ada
bahkan seperti terasing saat aku tidak berperan dalam fungsi socialnya untuk
menopang kekuatan struktur social (‘aku’ hanyalah sebagai pengangguran,
misalnya).
Permasalahannya aku ada ketika aku harus aktif berperan menopang
bangunan hidup kapitalisme, padahal lama kelamaan ke’akuanku’ ternyata menjadi
irosi dan terasing kembali dari peran aktifnya selama ini (ternyata hanyalah
budak/pelayan sistem) ???
Itulah yang terjadi aku ingin
benar-benar ada. ‘aku’ Ada bukan kamuflase seperti ada padahal tidak ada.
Dimanakah ‘aku’ sebagai identitasku?
Perenunganku atas ‘aku’
diatas seperti sedang menemukan sungai bening spiritual setelah di ponpes tanpa
nama, aku bertemu dan berbicang dengan Lora Nurul, pemimpin pondok dan tokoh
masyarakat Desa Jambuan-Anti Rogo-Jember. Berikut sedikit yang bisa aku kutip
yang sangat ampuh mengobati luka-lukanya ‘aku’:
“ bahwa aku ini sebenarnya
tidak ada. Aku ini hanyalah berisi perintah-perintah
Allah. Bahwa Allah lah yang maha pengatur. Jika barang siapa yang menganggap
perintah-perintah Allah itu adalah ‘aku’ maka itulah keruwetan hidup yang akan
melilit ke akuanku. Dan penyakit-penyakit jiwa akan melekat pada ke akuanku.
Karena aku tak pernah terbebas dari keakuan diriku yang bukan sesungguhnya.”
Demikianlah, aku lalu
mengambil wudhu dan sholat. Sepertinya aku sedang
bermandi ria dalam sungai bening spritualitas. Sambil berendam diri, semoga aku
terhanyut dalam lautan luas ke maha kuasaanNya.
Salam Santri Kenthir
0 komentar:
Posting Komentar
Salam Santri Kenthir.