Tak terasa kurang
lebih satu bulan saya tinggal di pondok pesantren (Tanpa Papan Nama). Selain
mengaji langsung dari Kyai tentang hikmah dibalik panggung kehidupan, aku juga
menyimak proses kegiatan pendidikan sehari-hari para santri. Terkait pendidikan
santri, aku mendapat banyak pelajaran berharga darinya. Aku ingin share
pengalamanku ini dengan teman-teman, semoga tak jenuh membacanya walau sedikit
agak panjang lebar.Sungguh berbanding terbalik antara sistem pendidikan yang
saya alami waktu bersekolah dengan sistem pendidikan pesantren disini.
Berbanding terbaliknya bukan karena sekolahan itu untuk urusan duniawi. Sedang
pesantren untuk urusan akherat. Pandangan demikian itu memilah antara kehidupan
duniawi dan ukhrowi. Pendapat yang tidak berdasar. Padahal faktanya sekolahan juga
telah banyak memasukkan materi pendidikan agama, dan pesantren juga telah
banyak mengadopsi materi-materi sekolahan. Namun menurut saya, pendidikan di
Ponpes ‘Tanpa Papan Nama ’ berbeda dengan pendidikan sekolahan maupun pesantren
semi sekolahan.
Yang aku rasakan selama
terlibat sebulan dipesantren ‘Tanpa Papan Nama ’ini, (ditengah-tengah
keterdesakan lembaga pendidikan pesantren lainnya dari arus modernisme dan
kapitalisasi pendidikan), justru pesantren ‘Tanpa Papan Nama ’ tetap tak
bergeming untuk berdiri kokoh dan tetap berjaga jarak dengan modernisme dan
kapitalisasi pendidikan. Bahkan di pesantren ‘‘Tanpa Papan Nama ’, saya
menemukan integralitas (kemanunggalan) antara proses pendidikan dengan realitas
social, antara ilmu yang diajar dengan obyek kehidupan, antara kyai, santri,
dan masyarakat sekitar, dan lain sebagainya.
Aku masih teringat dengan
pandangan seorang filsuf pendidikan, Paulo freiree, bahwa pendidikan disekolah
merupakan bentuk pendidikan kapitalis (penuh penindasan). Sekolah berjarak dan
mengasingkan diri dengan realitas sosial. Sekolah merupakan kepanjangan tangan
kaum kapitalis untuk menyiapkan siswanya menjadi tenaga kerja atau sebagai
pelayan kepentingan para pemodal. Ilmu yang dijarkan kepada siswa disekolahan
merupakan ilmu menetapkan kondisi social kapitalis, bukan keilmuan untuk tujuan
merubah realitas social yang lebih baik. Siswa di sekolah tak lebih dianggap
sebagai bahan mentah untuk diproses menjadi pekerja yang sesuai dengan standard
kebutuhan kaum kapitalis. Aku tak perlu mengurai panjang lebar lagi tentang
ini, banyak tokoh pendidikan bersepakat bahwa system pendidikan sekolah telah
menuju dehumanisasinya (penghancuran kemanusiaan).
Itulah realitas
dehumanisasi pendidikan sekolahan yang menurut saya sampai sekarang masih up
todate. Namun Di pesantren ‘Tanpa Papan Nama’ kapitalisasi pendidikan tidak
berlaku. Ponpes yang dipimpin Lora Nurul, terletak di desa Jambuan-kecamatan
sumber Sari-Jember ini, menyadarkanku, bahwa modernisasi pendidikan yang telah
mengkanibal pesantren klasik lainnya ternyata tak mempan menghabisi ponpes
tanpa nama ini. Juga mengajariku, bahwa ponpes ini sedang menunjukkan diri
melakukan perlawanannya pada dominasi kapitalisme.
Titik Pijak Dan Orientasi
Pendidikan Ponpes ‘Tanpa Papan Nama’
Setiap pagi pukul 06. 00
WIB, setelah mengaji kitab kuning, para santri mengambil tugas dan peran
masing-masing sesuai dengan kemampuannya. Ada yang menyapu halaman, mengolah
kebun, memasak, berbelanja, dan lain lain. Sampai jam 09. 00 pagi, para santri
sarapan pagi yang telah tersediakan di dapur pesantren. Selesai sarapan mereka
kembali pada kegiatannya masing-masing. Tak terlihat ada iri tugas dan peran
kegiatan diantara mereka. Semua saling bahu membahu. Yang sangat berkesan,
bahwa mereka melakukan tugas dan perannya dengan penuh kesenangan bukan karena
keterpaksaan diri. Berbeda dengan pengalamanku waktu sekolah, dimana ‘daftar
piket menyapu ruang kelas’ telah memaksaku dan aku pun terpaksa melakukakan
kegiatan menyapu ruang kelas. Di Ponpes ini tak ada daftar piket kegiatan bagi
santri (daftar piket =undang-undang pemaksa siswa).
Mendekati adzan dhuhur
mereka berhenti sejenak dari kegiatan untuk mandi dan mencuci pakaian. Tanpa
perlu bunyi bel layaknya di sekolah (bunyi bel sekolah = pusat pengendalian
kegembiraan siswa), semua santri pergi kesungai yang airnya teraliri dari
bebukitan. Saya amati, tak terlihat diwajah para santri ada tekanan kejiwaan
selama melakukan proses pendidikan di pesantern ini. Byuuur, byuur, byur..!
para santri itu berlompatan mandi disungai sambil bersalto.
Begitulah aktifitas
pendidikan para santri setiap hari. Ada yang telah sampai 10 tahun, 7 tahunan,
3 tahunan mereka menetap tinggal dan hidup dipesantren ini. Selesai mandi
mereka pergi kemasjid untuk sholat dhuhur, setelah itu melanjutkan kembali
kegiatannya. Jika ada seorang santri yang merasa capek atau lelah, ia lalu
istirahat tidur tanpa ada rasa iri dari santri lainnya. Menjelang malam mereka
semua berkumpul dimasjid melanjutkan mengaji kitab kuning.
Awalnya saya fikir
pemandangan pendidikan para santri ini tak lebih sebagai pendidikan keakheratan
saja. Karena apa yang diajar di dalam kitab kuning akan sulit membumi
ditengah-tengah masyarakat yang telah berubah sok modernis ini. Faktanya juga,
para tetangga saya yang mayoritas santri setelah terjun ditengah masyarakat
ternyata tak mampu berbuat banyak merubah keadaan sosial. Malah cenderung tak
berdaya ikut arus perubahan social desa. Oleh karenanya, mengenai pendidikan
yang diterapkan ponpes ini, banyak pertanyaan bergelantung di benak tertuju
kepadanya:
Bagaimana kelak nasib para
santri setelah lulus dari ponpes saat terjun didalam persaingan masyarakat yang
membutuhkan keahlian dan keterampilan kerja? Bagaimana pula nasib wawasannya
kelak jika mereka tidak dibekali pengetahuan umum (ilmu alam, social, dan
kenegaraan)? Layaknya lembaga pendidikan lain, ponpes ‘Tanpa Papan Nama ’ tidak
memperkenalkan model pendidikan berjenjang, dan tanda kelulusan (sertifikasi),
lalu bagaimana bias nanti para santri masuk bekerja kejalur birokrasi, bekerja
di perusahaan, menjadi kepala desa dan sebagainya jika mereka tak mengantongi
ijasah Negara?
Setelah berkali-kali
mengikuti ceramah pengajiannya Lora (kyai) Nurul (pimpinan pondok pesantren),
baru aku mulai memahami apa arti pendidikan yang di inginkan dan dikembangkan
oleh Ponpes ‘Tanpa Papan Nama’ ini. Dan pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan
atas kegiatan pendidikan santri diatas akan terjawab dengan sendirinya.
Pertanyaan-pertanyaan
diatas merupakan hasil dari bawaan berfikir sepihak kita atas dunia pendidikan
selama ini. Pertanyaan yang berangkat dari pemikiran pragmatis, yang terbiasa
menilai bahwa segala proses pendidikan yang dilakukan oleh para siswa/santri
harus berorientasi pada kesuksesan. Kita kadung terbiasa menganggap bahwa
lembaga pendidikan adalah untuk ‘mencetak manusia’ berdaya saing. Kita
terlanjur mendarah daging menganggap ijasah adalah bekal utama untuk mencapai
kesuksesan hidup. Kita terlalu percaya buta bahwa sekolah adalah lembaga
pendidikan untuk untuk menata segala kehidupan ini. Seakan melebihi kepercayaan
kepada Tuhan: “sekolah adalah lembaga untuk mencetak manusia pintar. Jika ingin
pintar maka wajib bersekolah”. Benarkah itu semua?
Realitasnya banyak
kesimpang siuran dan kekeliruan keyakinan kita atas dunia pendidikan selama ini.
Banyak sekolah didirikan untuk mencetak manusia sukses namun kenyataannya
semakin merajalelanya korupsi, hutan-hutan banyak yang gundul, angka
kriminalitas dan pengangguran semakin tinggi. Banyak universitas meluluskan
para sarjananya yang menempati posisi sebagai pejabat Negara namun kenyataannya
kondisi negara tidak berubah menjadi lebih baik. Banyak manusia pintar, manusia
cerdas, manusia unggul produk sekolahan/ pesantren semi sekolahan, namun yang
jujur bisa dihitung dengan jari padahal jujur itulah kunci kemaslahatan ilmu
dan amalnya bagi manusia lain.
Titik pijak (paradigma) dan
cara memandang pendidikan yang demikian diatas menjadikan kekeliruan kita dalam
mengorientasi proses pendidikan itu sendiri. Pengertian umumnya, pendidikan
adalah proses siswa untuk menguasai dan menjadikan alam dan social sebagai
obyeknya yang harus ditundukkan. Sehingga yang dominan adalah sifat ego sentris
siswa kelak. Titik pijak demikian menyeluruh dalam dunia pendidikan sekarang,
sehingga orientasi dari pendidikan itu sendiri amat materialistik. Maka wajar
jika komersialisasi pendidikan terjadi dimana-mana. Dan ukuran keberhasilan
siswa kelak terukur dengan, sejauh mana ia telah mendapat dan menguasai materi
duniawi.
Padahal pendidikan itu
sendiri adalah proses kehidupan yang teramat luas. Bukan lah sekedar di sekat
dalam tempat bergedung setelah selesai maka berarti telah selesai pula proses
pendidikannya. Kita kadung salah kaprah memandang antara proses pendidikan
dengan pelatihan. Padahal apa yang terjadi disekolah dan di unversitas
realitasnya tak lebih sekedar lembaga pelatihan bagi siswa bukan proses
pendidikan utuh itu sendiri.
Pendidikan dalam pengertian
Pondok pesantren Tanpa Papan Nama, adalah proses kehidupan siapapun yang selalu
akan mendapat ujian hidup dari Allah yang akan terus berkelanjutan. Pendidikan
adalah proses hidup untuk mengabdi sebagai kholifah Allah dimuka bumi dengan
melaksanakan perintah-perintahnya dan selalu medekatkan diri pada Allah sampai
ajal menjemput karena segalanya dari Allah dan pasti kembali kepada Allah.
Ponpes adalah sekedar alat dari banyak alat dalam proses pendidikan hidup.
Pembelajaran bagi santri ‘Ponpes Tanpa Papan Nama’ tidak terikat pada sosok
tertentu dan ruang tertentu pula. Ia bisa belajar dari masyarakat sekitar dan ditempat
yang lebih luas dari sekedar ruangan kelas. Sedang kitab kuning adalah kerangka
diri untuk menuntunnya agar selalu berada dijalan kemaslahatan.
Pendidikan dipesantren
tanpa papan nama berpijak pada garis “tiada Tuhan selain Allah”, bahwa Allah
yang maha segalanya mencipta, maha mengatur, maha berkehendak, atas segala
proses pendidikan yang terjadi di ponpes “tanpa papan nama.” Kyai, Santri,
Masyarakat pesantren hanyalah sebagai hamba yang tak bisa apa-apa dan hanya
bisa jika dibisakan oleh Allah. Pendidikan ada karena diadakan oleh Allah.
Proses pendidikan dan penyelenggaraanya ada karena digerakkan Allah. Sedang
kyai, Santri dan masyarakat hanyalah pekerja Allah yang hanya melaksanakan
perintah-perintah Allah. Untuk menjalani perintah Allah sebaik-baiknya kita
harus berpegang teguh pada Alqur`an dan Al-hadist. Untuk mampu memahami hikmah
dibalik kejadian-kejadian perintah Allah, dan agar selalu mengingat Allah,
pesantren bersama masyarakat harus selalu mengkajinya bersama-sama dengan
merujuk pada kitab Al-Hikam.
Bahwa pembelajaran bagi
para santri dalam sehari-hari adalah merekam data-data yang ada dalam kitab
kuning kedalam pikiran dengan selalu mendekatkan hati untuk selalu tertuju pada
Allah. Selain itu santri juga harus bekerja setiap harinya. Disini pengertian
bekerja adalah melaksanakan perintah Allah sebaik-baiknya. Pekerjaan adalah
ketetapan mengerjakan sesuatu sesuai yang diperintahkan Allah melalui sebab
kyai. Berbeda devinisi kerja umumnya. Pekerjaan selalu dipahami sebagai
kegiatan untuk mendapat uang. Namun definisi pekerjaan diPonpes Tanpa Nama
yakni proses melaksanakan perintah Allah melalui sebab mengerjakan sesuatu dan
berakibat (hasil) juga karena perintah Allah melalui untung atau kerugian. Maka
santri sedang menyapu halaman, mencuci, memasak, berbelanja, dan sebagainya itu
berarti mereka sedang bekerja. Dan titik tekan dari pekerjaan adalah ibadah
yakni untuk mendapat ridho Allah dan supaya tidak mendatangkan kemudharatan.
Pekerjaan itu adalah ibadah dengan maksud untuk menjadikan kemaslahatan diri
dan manusia lainnya.
Mengenai tentang nasib kelak setelah santri dinyatakan cukup
mumpuni hadir ditengah-tengah masyarakat menjadi sebagi masyarakat, Kyai dan
pesantren menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Karena Allah lah yang maha
menentukan (khoirihi wa sarrihi minallihita`ala: baik dan buruk segala
sesuatunya Allah yang menentukan). Menjadi apapun kelak jika ia telah sesuai
dengan koridor dijalan yang benar dan lurus diridhoi Allah maka itu adalah
nikmat hidup yang harus di sukuri. Sebab dunia ini tak lebih persinggahan
sementara para santri untuk mewujudkan rahmatan lil `alamin demi kehidupan
abadi kelak. Tak perlu gelisah untuk ikut arus realitas sosial yang masih penuh
kesimpang siuran.
Mengenai wawasan umum terkait dengan kehidupan sosial adalah alat
bukan tujuan itu sendiri. Ia tak lebih dari sekedar data untuk dikaji dan
diambil manfaatnya. Bukan kepentingan mutlak. Sebagai data maka wajib bagi
santri untuk merekamnya dalam nalar dengan tujuan untuk menambah pengatahuan
hikmah dan untuk memperkokoh keimanan. Tak perlu mengggantung kepada apapun dan
siapapun selain kepada Allah. Hanya kepada Allah-lah kelak nasib para santri
ditentukan. Bukan kepada ijasah, bukan kepada pemerintah. Allah-lah yang maha
penolong. Bukan karena modal, bukan karena jabatan, bukan karena realitas
kapitalistik sehingga Allah di tiadakan dan menjerumuskan kedalamnya.
Demikianlah titik pijak dan orientasi pendidikan para santri Tanpa
Papan Nama, saya urai sesuai dengan pengamatan saya dan perbandingannya dengan
realitas pendidikan pada umumnya. Banyak hal mengenai makna-makna didalamnya
yang perlu juga diketahui teman-teman, namun kerena keterbatasan saya, sehingga
catatan ini masih banyak kekurangan disana sini. Namun aku bangga mampu
menuliskannya, karena ternyata model pendidikan seperti di ‘ponpes tanpa papan
nama’ walau bukan satu-satunya di nusantara, namun telah menunjukkan taringnya
berhadap-hadapan dengan model pendidikan kapitalistik.
Terkahir ingin saya sampaikan, bahwa kapitalisme tak bisa
dirobohkan oleh sistem sosialis atau oleh sistem apapun. Banyak bukti mengenai
ketangguhan sistem kapitalisme. Jika tak mampu merobohkan sistem kapitalisme
maka hanya tinggal dua pilihan: ikut didalamnya atau memisah darinya, bekerja
sama denganya atau tidak bekerja sama sekali denganya. So, bukankah pendidikan
model Pesantren Tanpa Papan Nama telah menunjukkan gelagat dirinya untuk
memisah dan tidak bekerja sama dengan sistem dunia kapitalis? Tidakkah kita
menaruh respek kepadanya? wallahu`alam bisshawab.
Salam Santri Kenthir
0 komentar:
Posting Komentar
Salam Santri Kenthir.