1 Okt 2011

Berebut Menjadi Wong Desa


Konglomerat, kaum professional, para tengkulak, para petani kaya yang memiliki sawah berhektar-hektar, tak ayal termasuk golongan kaum beruntung sebagai masyarakat desa. Mereka ini lebih bebas bergerak memenuhi kebutuhan yang diinginkan. Lebih leluasa memilih dan menentukan masa depan keluarganya.
Tetapi, bagaimana dengan mereka yang tak punya sawah sepetakpun? Mereka yang hanya bisa berprofesi sebagai buruh tani, atau hanya bisa menjual tenaga kasarnya demi untuk mengasupi aus tubuh (tukang becak, kuli bangunan dll)?
Bagai piramida; mereka para kaum mustad`afin (kaum tertindas) adalah susunan masyarakat mayoritas yang hanya berposisi berada pada level garis hidup penopang segelintir kaum elit desa.
Karenanya kekuatan pada akses politik dan ekonominya sangat lemah dan mereka hanya bisa mengais sisa-sisa ekonomi yang tercecer, dan saling berebut sesama kaum mustad`afin lainnya mencari celah usaha bertahan hidup (survival) setiap hari.
Banyak orang bilang, peta ekonomi desa kekinian pada kenyataannya, tak lain adalah ekonomi saling berebut. Bukan ekonomi gotong royong (subsistensi). Kata kaum cerdik, bahwa, telah terjadi demam kapitalisasi yang akut didesa. Siapa punya modal kuat dialah yang menguasai. Modal menjadi diatas segala-galanya. Semua usaha ekonomi tak lain demi akumulasi modal. Berfikir dan bertindaknya terukur atas nama modal. Semua energi dan pikiran individu masyarakat dikerahkan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Bila masyarakat desa telah tersusun oleh ekonomi perebutan, maka nyata, struktur sosial yang terbentuk adalah struktur kontestasi. Masyarakat atas (elit) saling bersaing, yang masyarakat bawah (kaulo alit) juga saling bersaing. Saling menyerang diserang, bertahan dan menyerang balik. Tanpa terasa bagai siluman bergerak secara diam-diam, semua warga desa sudah saling bersaing, saling menyerang, dan saling bertahan. Bagaikan pola binatang hutan rimba, Si kuat memangsa si lemah, dan silemah bertahan mencari selamat.  Tapi, bagaimana dengan si lemah yang tak kuat bertahan dan selamat diarena kontestasi sosial desa?
Desa sebagai arena hukum kontestasi tak mengkompromi orang-orang lemah yang mudah menyerah. Hanya dua pilihan bagi orang-orang yang mudah menyerah. Memilih tetap bertahan didesa atau memilih terlempar keluar desa.
Ketika virus kontestasi sudah menyebar menjadi cara pandang umum masyarakat desa, maka dan tentu saja kaum mustad`afin sebagai masyarakat yang menempati level bawah desa, tak ingin dirinya diremehkan sebagai kaum pemalas yang mudah menyerah dalam kontestasi. Disepelekan dan dipinggirkan dari dunia kontestasi desa. Sebagai manusia yang diberi pikiran dan perasaaan  mereka akan mencari celah agar bisa dipandang dan dinilai oleh masyarakat yang lain. Dan sebagai warga desa para kaum tertindas ia ingin pula  dirinya dipandang sebagai sang kontestan desa.
Yah, siapapun selama ia berada dimedan makna pasti akan berkontestasi memperebutkan makna. Tak terkecuali kaum mustad`afin. Agar bisa dikatakan pula sebagai sang manusiawi.
Karenanya hidup adalah kontestasi memperebutkan makna. Maka, mampukah orang-orang desa itu berlomba-lomba demi kebaikan, seperti yang sudah banyak kita dengar tentang  fastabikul khoirot,? Bukan kebalikannya, berlomba-lomba demi kehancuran. wallahu a`lam bisshowab.
  • (Tulisan ini jejak rekam pikiran saya yang pernah saya tulis tahun 2006 dan saya publiskan dimajalah desa sebagai dedikasi kecintaan saya pada orang orang desa yang mengalami disorientasi sosial) 

SALAM KENTHIR

Baca Tulisan Terkait



0 komentar:

Posting Komentar

Salam Santri Kenthir.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More