1 Okt 2011

Belajar pada Teori Kritik Sosial ala Bu Joko Penjual Nasi Pecel


Dibalik keresahan kita atas nilai-nilai luhur tradisi keyakinan agama yang diguncang arus besar modernisasi dengan dalih demi meningkatkan dan memajukan taraf hidup manusia.
Dibalik ketidakberdayaan masyarakat santri, masyarakat agamis, kaum adat, terjebak dalam kubangan hitam kebudayaan keranjang sampah. 
Dibalik masyarakat dusun sudah terkena wabah penyakit individualisme akut.
Ternyata, masih ada yang tersisa, masih ada yang menampakkan diri. Karenanya seakan semua keresahan, ketidak berdayaan, wabah individualisme, menjadi sirna ditelan oleh kesahajaan pandangan dan sikap hidup sosok seorang nenek bernama bu Joko  yang sehari hari didesa berjualan nasi pecel.
Demikianlah kesimpulan sementara saya menilai sosok Bu Joko beserta celotehnya ditengah realitas sosial yang semakin menyesakkan dada kita.
Penilaian itu berasal dari ketidak sengajaan saya, saat mampir di warung nasi pecel desa Balung Kopi. Kesan pertama yang kutangkap dari Bu Joko, beliau ini tipe penjual nasi pecel ceriwis.  Keceriwisan bu Joko semakin menarik ketika mengarah menjadi lontaran teori teori  ala orang bawah, maka, tip rekam yang ada didalam tas, ku nyalakan dengan diam-diam.
Oh ya, saya bukan berprofesi wartawan, tapi memang saya suka menenteng tip rekam kemana-kemana. Dengan membawa tip rekam saya bisa merekam utuh teori teori kecil yang keluar dari mulut orang-orang bawah.  Saya beranggapan semua individu itu unik dan punya teori-teori tersendiri dalam menyikapi kehidupan yang sering berlawanan (alternatif) dengan teori teori besar (filsafat) yang selama ini menjadi kesombongannya kaum intelektual sekolahan.   
Adapun narasi dibawah ini merupakan catatan celotehan-celotehan Bu Joko yang sudah saya alih bahasakan dari bahasa madura dan dikemas menjadi susunan teori pengetahuan ala Bu Joko lima tahun lalu. Dan saya berharap kita semua bisa berguru dan belajar atas pesan-pesan moral implicit yang terkandung didalamnya.

+++++++++++++++++++++++++++
Memperbandingkan cara pandang dan sikap hidup Bu Joko dengan arus besar budaya hidup hedonis pada masyarakat desa maka ia menjadi sosok yang berhadap hadapan dengan anggapan kearifan lokal akan habis oleh nilai nilai global.  Tesis yang dibangun oleh Bu Joko yakni, kearifan lokalitas takkan bisa habis karena basis kedalaman iman pada tuhan seseorang takkan pernah bisa hilang. Selama kedalaman iman seseorang itu tak hilang dihati, maka itu akan menjadi pondasi penopang budaya luhur hidup masyarakat lokal yang khas dan takkan bisa dihabisi oleh apapun, termasuk arus besar globalisasi.
Bu Joko beranggapan jika hati warga masyarakat benar benar dipenuhi dengan nilai tiada tuhan selain Allah. Hanya Allah lah berkuasa pada hati, hanya Dialah yang memberi pertolongan, maka dan tentu saja masyarakat dusun tak menjadi penggantung terpaksa pada kebutuhan-kebutuhan sekunder. Karena hati masyarakat sudah tidak selalu zikir, akhirnya kebutuhan yang semestinya sekunder berubah menjadi primer. Akibatnya keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup itu semakin banyak dan menumpuk. Sementara kemampuan diri untuk memenuhi kebutuhan hidup yang terlampau banyak itu tak mencukupi. Dengan demikian, bisa dipastikan keruwetan-keruwetan hidup akan terus berputar-putar melilit jiwa. Menyitir bahasa sederhananya Bu Joko, “Gak usah repot repot. Kita hidup itu kan, bisa makan agar kuat sholat. Bisa berbaju supaya tak malu menghadap tuhan. Punya rumah agar bisa kumpul keluarga. Jadi hanya itu, kan? Tetapi, yang terjadi kita selalu disibukkan oleh kebutuhan yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Mubazir. Tapi kebutuhan yang tidak kita butuhkan itulah yang kita kejar-kejar setiap hari.
Bu Joko yang sudah 32 tahun berjualan nasi pecel dan sekarang usianya sudah 60 tahunan, mendapat pelajaran demikian itu diturunkan dari bapaknya dan diyakininya sampai sekarang. Mendasarkan hati sepenuhnya tertuju pada tuhan membuat ia tak pernah mengeluh pada orang lain. Bu Joko mencontohkan dirinya saat menghadapi rintangan hidup ia selalu ceria. Selama hidup ia tak pernah mengambil hutangan ke bank untuk modal jualan. Selalu ingin mendekatkan hati pada tuhan membuatnya optimis memandang kehidupan fana. Itu menggerakkan dirinya untuk bisa berbuat menolong orang lain semampunya.  ”Orang seperti saya ini jangan didatangi orang yang punya kasus perceraian. Pasti dia gak akan jadi bercerai. Hehehe..”
Pandangan bu Joko diatas memang bukan berasal hasil konsumsi buku yang bertumpuk-tumpuk. Ia bukan pula analis jitu yang kaya perspektif. Beliau hanya belajar pada kesederhanaan hidup dan keyakinan mendalam pada hari akhir.
Demikian itulah yang  membuat ia walau buta teori sosial tak menghalangi hatinya mewaspadai hegomoni buruk hiburan dunia telivisi pada masyarakat penonton. Hegomoni hiburan TV hanya membuat kita menjadi obyek pasif. Sebatas konsumen yang siap selalu untuk menuruti bujukan TV. Memang kita sering dipengaruhi tanpa sadar untuk meniru gaya hidup seperti yang ada dalam permainan TV agar menjadi kehidupan nyata yang harus diterapkan oleh kita. Oleh karenanya bu Joko gak mau tertipu dan selalu berhati-hati akan permainan hayal telivisi. Makanya bu Joko gak pernah nonton sinetron.
”Kalau Cris Jhon yang bermain, saya pasti nonton. Atau Jacky Chan dan Boboho. Nonton Crish Jhon, selain itu sungguhan, itu mengingatkan pada diri saya sendiri. Kelak saya akan dipukuli juga diakherat. Ini agar saya berhati hati. Walau tak tahu pasti saya ini akan dipukuli atau gak nantinya. Sedang menonton Jacky Chan dan Boboho itu karena memang lucu.” Tegas Bu Joko.
Mengenai fenomena krisis moral yang terjadi pada para ulama, ia tak pernah ingin menilai ulama lebih jauh, takut bisa menimbulkan fitnah. Ia hanya bisa mencontohkan dirinya, bahwa ia mulai jarang hadir ke pengajian pengajian umum karena ketika hadir yang didapat cuman dimarahi dan ditakut-takuti oleh para penceramah.
”Masak kita hadir ingin mengaji tahu tahu sampai ditempat dipengajian dimarahi dan ditakut takuti. Wong bapak ibu saya gak pernah memarahi seperti itu. Gak sholat dimarahi. Gak puasa dimarahi. Siapa yang gak mangkel dimarahi. Saya kan hanya ingin ngaji. Mereka jadi kyai itu karena orang-orang seperti saya ini ingin ngaji. Banyak yang ngaji makanya ada kyai. Kalau gak ada yang ngaji apa mungkin akan ada kyai?”
”Siapa yang gak tahu mereka (para kyai yang suka memarahinya) paling paling isi perutnya gak jauh berbeda dengan isi perut saya. Harus nya kalau berpidato membuat hati ini tergetar. Membuat hati kita sejuk. Membuat kita jadi tanpa harus dimarahi terlebih dulu. Kalau ada yang gak terima ucapan saya, saya siap mempertanggung jawabkannya”

SALAM KENTHIR

Baca Tulisan Terkait



0 komentar:

Posting Komentar

Salam Santri Kenthir.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More