1 Okt 2011

Derita Maskulinitas Dikepung Kemiskinan


  • ”Saat saya ditinggalkannya, ya, memang perasaan ini merana. Siapapun pasti merasakan begini jika kami punya utang banyak. Mau jual barang gak ada yang bisa dijual. Akhirnya isteriku kejakarta untuk menanggungnya sendiri. Saya sebagai suaminya ya kecewa berat. Memang lelaki seharusnya berposisi diatas perempuan. Tapi wong kepepet ekonomi, mau gimana lagi. Memang benar laki-laki harus lebih berkuasa dari perempuan. Tapi saya itu orangnya kalau berlaku kasar padanya, itu gak bisa. Kasihan saya kalau berlaku kasar pada perempuan. Itulah saya. Mungkin karena saya terlalu mencintainya.” (Hariyanto, Tanjung Sari)
Suara perih sekaligus romantis Hariyanto diatas, ketika ia sudah kehilangan kuasa atas kenyataan isterinya merantau kejakarta berprofesi sebagai tukang pijatnya laki-laki bukan muhrimnya. Dendang derita yang dilantunkan terdengar bertalu-talu ketelinga para tetangga hingga sampai lintas desa.
Perih memang menjadi seorang suami yang hanya bisa mengayuh becak sementara beban hutang keluarga bertumpuk. Ditambah dengan menanggung kebutuhan hidup kedua anaknya yang semakin lama membebani. Dengan sangat berat hati, ia terpaksa merelakan pilihan isterinya bekerja dijakarta (tukang pijat) demi mengatasi masalah keluarganya.
 Sementara pandangan miring masyarakat atas pekerjaan isterinya dijakarta begitu menyayat-nyayat harga dirinya . Tetapi apalah itu harga diri, ia hanyalah orang miskin yang tak punya jalan lain untuk menutupi utang keluarga dan kebutuhan hidup anak-anaknya. Tentu saja dia kecewa berat dengan kehidupan yang tengah ia jalani. Hufft,  ekonomi nelangsa (melarat) membuat ia begitu tercengkeram tak berdaya. Hariyanto hanya bisa pasrah pada yang maha kuasa, mudah-mudahan badai ekonomi keluarganya segera lekas mereda!
Tak hanya hariyanto seorang yang mengalami nasib serupa. Selamet, warga lelaki perkasa lainnya didusun Tanjung Sari, hanya bisa berdiam diri tinggal dirumahnya berganti posisi bak seorang isteri. Selamet sadar sesadar-sadarnya, bahwa ia malu sekali sebagai seorang laki-laki berada didalam rumah sebatas mengasuh anak. Sementara isterinya dijakarta yang menanggung nafkahnya. Selamet sudah seringkali mengajak isterinya agar tinggal   bersamanya dikampung, biar dia sendiri yang mencari nafkah  hidup ala kadarnya. Tetapi persaingan keras ekonomi desa dan persaingan sosial yang semakin menajam, membuat isterinya selalu menolak permintaannya.
”...Istri saya itu kalau dilarang gak seneng. Kepinginnya mandiri. Dia juga masih menanggung nafkah keluarganya yang dikota. Isteri saya orangnya gak senang dihalang-halangi. Kalau dihalang-halangi, bisa bisa, dia gak akan balik lagi kerumah ini. Dia kalau dikasari, malah akan semakin lebih kasar. Dia itu kan keinginannya tinggi. Pingin beli ini itulah. Apalagi ia juga masih menanggung orang tuannya. Kalau saya terus menyuruhnya berhenti kerja dijakarta (massage), lalu saya disuruh menanggung semua beban itu, ya gak akan kuat!”
Jeritan hati Hariyanto dan Selamet diatas merupakan nasib buruknya para lelaki perkasa (maskulin) tak berdaya ditengah gurita ekonomi nelangsa. Dan itu merupakan gejala umum para lelaki perkasa disetiap desa di Jember selatan (Jatim).  Mereka tak berdaya sebagai kepala keluarga dalam mengemban tugas menjaga gengsi kemaskulinan yang telah disematkan dalam tubuh sosialnya. Sejatinya kemaskulinan yang dilekatkan dalam tubuh sosialnya begitu menyakitkan bagi jiwa-jiwanya. Kemaskulinan yang mereka sandang didalam cengkeraman ekonomi nelangsa dusun, tak lain hanya media olok-olok dan simbol biang kerok moral sebagai laki-laki yang tak bertanggung jawab, imannya rendahan, pemalas, tak bermartabat, dan sebagainya.
Padahal, mereka haqqul yaqin dari awal mula membangun keluarga tak bermaksud menjadi seperti itu. Bukannya mereka tega pada isteri. Bukan pula ia telah melepas tanggung jawab sosialnya sebagai suami. Tetapi sekali lagi, apalah daya mereka, hanyalah lelaki perkasa simbolik yang terampas kelelakiannya oleh ekonomi nelangsa agar mau tidak mau menjadi seperti itu.
Andai saja mereka lelaki kaya, tentu saja tidak akan tinggal diam kemaskulinannya diinjak-injak, diremeh temehkan, dan dinistakan. Tetapi mereka hanyalah para lelaki melarat yang tak punya modal lain selain rasa cinta mendalam pada isteri dan anak-anaknya Demi menjaga keutuhan keluarganya,mereka harus mampu bertahan dengan kondisi diri yang tercabik cabik. Harapannya kelak, bahwa keluarganya bisa kembali hidup normal, nyaman, dan tenteram dalam sistem sosial masyarakat desa yang patriarkis.
Potret derita keperkasaannya para lelaki dusun diatas, menunjukkan, mereka sudah tak nyaman  lagi berdiam dalam tubuh maskulin. Keperkasaannya kaum lelaki dalam ekonomi nelangsa, tertuntut keras mampu melewati kesulitan-kesulitan hidup yang dihadapi keluarganya. Jika gagal, maka siap-siaplah ia dan keluarganya disampahkan kehadirannya oleh kemelaratan.
Memang berat ekonomi dusun sudah berwujud ekonomi nelangsa. Tetapi ekonomi nelangsa dusun tidak bisa ditimpakan sendirian pada masyarakat dalam mengatasinya. Harus ada pihak lain yang bisa menyulap ekonomi dusun menjadi bimsalabim ekonomi makmur. Negaralah yang harus bisa menyulap. Entah bagaimana caranya agar ekonomi rakyat dusun tidak dalam keadaan sengsara abadi.      

SALAM Santri KENTHIR

Baca Tulisan Terkait



0 komentar:

Posting Komentar

Salam Santri Kenthir.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More