12 Sep 2011

Ratap Pilu Perempuan Pinggiran pada Seni Pinggiran



“Buk Yon, kopi!”, pintaku sambil langsung duduk diwarung buk Yon. Sekitar lima tahunan aku sudah tidak pernah nyangkrok diwarung buk Yon. “Sih, kapan datang Tir?, tanya buk Yon dengan mimik muka khasnya. Buk Yon masih tetap seperti dulu, ramah dan ngayomi. “Kamu kemana saja, Tir? Tinggal dimana sekarang?” Tanya Buk Yon.  “Aduh, aku merantau kemana-mana buk! Sekarang saya tinggal dipesantren Jambuan-dekat kaliurang. Gimana kabar karimata, buk?, tanyaku balik pada Buk Yon
“Karimata sepi. Hanya rame kendaraan bermotor. Sudah tidak ada kesenian jaranan, lengger. Sejak kamu tak disini tak ada lagi yang mau nanggap lengger dan jaranan.” Dengan nada bangga, terus saja buk Yon nyerocos. Bercerita kisah pentas seni lengger tahun 2004 sampai perkembangan jaranan disekitar rumahnya yang sering ditontonnya.
Perbincangan dengan buk Yon itu terjadi dua bulan yang lalu. Saat pertama kali saya datang diwarungnya. Narasi diatas terjemahan dari bahasa madura, bahasa sehari-hari yang biasa saya gunakan berkomunikasi. Sedang kalimat, “Sudah tidak ada kesenian jaranan, lengger. Sejak kamu tak disini tak ada lagi yang mau nanggap lengger dan jaranan”, merupakan kejadian sewaktu saya masih aktif dijalan karimata bersama sahabat-sahabat Islam Kiri terlibat dengan buk Yon dan masyarakat asli Karimata dalam pentas kesenian tradisi. Mulai dari lengger sampai jaranan.
Sedikit yang tahu, tentang buk Yon sangat ideologis pecinta seni tradisi terutama seni lengger, seni Ludruk, dan seni jaranan. Maklum ketiga seni tradisi ini sangat dekat dan akrab dengan lingkungan masyarakat buk Yon dibesarkan. Andai reog yang jauh di kecamatan Ambulu itu sering datang manggung kelingkungan masyarakat buk Yon, mungkin dia kesengsem juga.
Bangga sekali dipuji buk Yon. Sekaligus terharu: “Sejak kamu tak disini, tak ada lagi yang mau nanggap lengger dan jaranan” 
Antara Ideologi kaum pinggiran dan seni tradisi yang terpinggirkan
Buk Yon adalah representasi penduduk lokal sepanjang Karimata sampai kali-urang. Jember- Layaknya penduduk desa umumnya di jawa timur, ia terus menerus terdesak oleh perubahan-perubahan sosial tak berpihak. Keterdesakan masyarakat asli sepanjang jalan karimata sampai kali urang disebabkan kekalahannya berkontestasi dengan kaum urban.
Para kaum urban mulai berdatangan dan pelan-pelan meminggirkan penduduk asli dimulai, terutama sejak industrialisasi lembaga-lembaga pendidikan dan pengembangan perumahan bermunculan. Lembaga pendidikan Unej dan terutama Unmuh-Jember merupakan biang keladi utama arus modernisasi yang disambut dengan pembangunan fisik dimana-mana. Proses modernisasi (industrialisasi pendidikan, perumahan, ruko, dll) disepanjang jalan karimata tanpa mendorong penduduk asli terlibat didalamnya menyebabkan banyak tanah warisan dijual kepada para pendatang.
Jika dikontraskan dengan laju perkembangan ekonomi para pendatang, realitas sosial penduduk karimata asli merupakan pelengkap pekerja kasar dan hanya pengais sisa ekonomi yang berputar. Setelah tanah-tanah mereka dulu dijual dengan harga murah kepada pendatang dan oleh pendatang tanah tersebut disulap menjadi harga tanah yang sangat mahal. Kebanyakan mereka menyingkir wilayah pelosok timur. Dan yang bertahan disepanjang jalan karimata memilih menjadi buruh kasar atau sekedar berjualan kopi seperti yang dilakukan buk Yon. Demikianlah, moderinasasi sepanjang jalan karimata menyebabkan penduduk asli karimata menjadi marginal sebagai mayoritas penjual kopi dan tukang becak, buruh toko, kuli bangunan.
Orang-orang terpinggir sepanjang jalan karimata, termasuk buk Yon adalah orang-orang kalah oleh kondisi sosial ekonomi dipanggung politik kehidupan. Orang-orang ini lebih memilih mengalah. Mengalah bukan untuk menang tapi untuk bertahan agar ia tidak punah. Hanya ini yang bisa ia pilih ketika ruang kontestasi politik ekonomi dan sosial didominasi kaum pendatang.
Sebagai penduduk awal dibumi karimata yang kemudian termarginalkan, menjadikan psikologi sosialnya terintegrasi kedalam diri sebagai kami. ‘Kami’ dalam arti sebagai proses mencermati dan membanding-bandingkan orang lain yang ada disekitar untuk kemudian membentuk identitas diri. Sedang mereka para pendatang yang berada dirumah-rumah mewah, dikampus, atau para kaum kapitalis karimata, adalah sebagai pihak yang dibandingkan dan diidentifikasi bukan ‘kami’. Walaupun dalam interaksi sosial dipermukaan tak terjadi differensiasi sosial tapi setelah kembali pada habitat sosialnya, maka identitas sebagai ‘kami’ itu hidup kembali. Memang karimata telah berubah menjadi milik heterogen masyarakat urban tetapi sebagai ‘kami’ tak kan hilang dalam solidaritas antar penduduk karimata asli.
Orang-orang karimata asli lebih banyak mengalah daripada berebut dilevel ekonomi atas. Oleh karenanya ideologi yang lebih cocok dan melekat dengan sendirinya tanpa perlu doktrinasi, adalah ideologi survival. Ideologi survival adalah sistem pemaknaan dan praktik hidup masyarakat karimata asli mengutamakan jalan keselamatan diri dan keluarganya daripada melakukan perebutan spekulatif yang berisiko tinggi.
Berposisi dan diposisikan dipinggiran ekonomi yang berputar disepanjang jalan karimata maka yang bisa dijadikan ladang untuk mengais ekonominya adalah lahan ekonomi pinggiran. Menjadi tukang becak, penjual kopi, buruh toko, tukang sapu, satpam, kuli bangunan dan lain-lain adalah lahan yang berguna menopang logistik ideologi survivalnya.
Solidaritas terbangun bukan dicipta untuk melakukan pembangkangan sosial bersifat kolosal atau merobohkan kaum kapital (seperti yang digembr-gemborkan kaum marxis ortodok). Solidaritas terjadi untuk penguatan lahan-lahan pinggiran yang sudah mereka kuasai agar tidak direbut juga oleh para pendatang:
“Tanah warung kopi buk Yon, adalah tanah milik seorang pendatang (etnis tiongkhua) selama 16 tahun ditempati buk Yon. Sampai sekarang buk Yon dibiarkan berjualan diatas tanah itu tanpa dipungut biaya sewa tanah. Termasuk pula tanah-tanah yang ditempati penjual warung kopi lainnya bebas biaya sewa. Atau panggkalan tukang becak disamping warung buk Yon dari dulu sampai sekarang orang-orangnya asli penduduk setempat dan itu-itu juga. Tidak seperti disurabaya atau tempat lainnya dimana pangkalan becaknya dikuasai tukang becak pendatang”.
Diruang permukaan sosial rasa ke-kami-an mereka tidak terlihat bahkan cenderung disembunyikan sebagai jalan idelolgi survivelnya. Orang-orang ini lebih memilih interaksi “seakan –akan telah menjadi / menuruti” para pendatang, demi mendapat keuntungan kecil-kecil Namun dibawah permukaan sosial sering terjadi pergolakan diri untuk benar-benar mengalahkan mereka dalam kuasa sebenarnya bukan diri orang-orang yang terus menurut dan selalu menjadi orang-orang kalah.
Di segala ruang publik banyak momen-momen sosial didominasi oleh ‘mereka’ para pendatang. Mulai dari khotbah jum’atan sampai even hiburan masyarakat selalu dimainkan bukan oleh orang-orang karimata asli. Hampir jarang orang karimata asli menjadi aktor pemain disetiap momen sosial kecuali acara tahlilan keluarga yang meninggal.
Satu sisi, selalu menjadi orang pinggiran dan tak diberi peluang menunjukkkan identitas sejatinya diruang publik, (yakni orang-orang yang juga harus diakui sebagai yang terlibat aktif diatas panggung sejarah karimata) merupakan luka-luka sosial yang perlu disembuhkan mereka. Keadaan luka sosial demikian hanya bisa disimpannya di ruang batin terdalamnya. Disisi yang lain, ruang batin tersebut merindukan tradisi masa lampau sebagai bayangan identitas pinggiran kini (efek fantasi kekalahan terus-menerus dipanggun politik modernitas) ingin selalu dihadirkan, ditegakkan, dan dirawat sebagai tradisi luhur untuk membentengi diri dari manuver-manufer perubahan sosial. Tradisi leluhur merupakan manivestasi identitas sejatinya mengahadapi carut-marut budaya yang menggelisahkan eksistensialismenya.
Demikianlah pembacaan saya waktu itu melihat kondisi sosio-historis masyarakat asli karimata yang terbentuk menjadi tatanan sosial masyarakat pinggiran. Bersama sahabat-sahabat PMII Unmuh, berencana mengatasi ketertindasan identitas kaum pinggiran dengan (berpihak) menggelar pentas seni tradisi lokal masyarakat karimata disetiap pelantikan pengurus baru PMII Unmuh. Seperti yang sudah saya sebut diatas; Reaksi buk Yon luar biasa antusias. Tanpa diminta ia menyilahkan tempat dan menanggung konsumsi untuk para pemain lengger.
Hal apa yang menyebabkan buk Yon antusias, bahkan rela terlibat mengorbankan materi untuk demi seni lengger?
Seni tradisi seperti lengger, ludruk, jaranan, reog, dan lain-lain yang masih eksis dijember merupakan ruang perayaan eksistensi kaum marginal pedesaan. Bisa dipastikan kebanyakan seni tradisi yang masih eksis ini pendukung utamanya adalah buruh tani. Jaranan di Balung misalnya, saya perhatikan kehidupan para senimannya sehari-hari sebagai buruh tani atau buruh bangunan. Pun penontonnya, tingkat strata sosialnya rata-rata terbatas sebagai kelas buruh desa.
Seni tradisi (jaranan, ludruk, lengger dll) adalah kesenian terpinggir dan dipinggirkan dari pentas publik popular. Banyak faktor peminggiran, mulai yang dilakukan oleh negara, islamisasi sampai modernisasi. Namun demikian seni tradisi itu tetap berkibar dan dirayakan oleh orang-orang pinggiran sampai kini.
Seni lengger maupun seni jaranan walau pun masih tradisional memuat nilai pemberontakan dan perlawanan pada keadaan yang menindas kaum buruh setiap harinya. Tak heran buk Yon antusias dan sepertinya ada sinyal jejaring asmara dengan Lengger, ketika saya dan sahabat-sahabat PMII Unmuh menyodorkan kerjasama pentas seni Lengger.
Didalam seni jaranan, para kaum buruh tani yang sehari-hari tertindas oleh sistem sosial dan tak memungkinkan pamer kuasa di ruang publik, dengannya kuasa kaum buruh diruang publik itu diekpresikan. Pun seni lengger yang oleh kelompok mainstream distreotipkan sebagai kesenian gilani, norak, melanggar kaidah agama, ketinggalan jaman, dsb, ternyata tak mengerdilkan para pemain dan penontnnya yang nota-bene kaum pinggiran merayakannya bersama. Dengan lengger, kuasa orang-orang kalah itu dipublikasikan, dikontestasikan dengan mainstream. Walau tak memenangkan abadi tapi minimal ia telah menghadirkan diri sebagai ‘kami’ yang masih eksis dan bergulat ditengah arus mainstream.
Bersama jaranan, lengger, ludruk, dan seni tradisi lainnya perlawanan kaum terpinggir dimulai diatas panggung politik kehidupan. Oleh karenanya buk Yon merasa, dan sahabat-sahabat PMII unmuh (tindakan berpihak), telah memulai pemberontakan pada kemapanan (kondisi sosial mapan seringkali mengorbankan kondisi sosial orang-orang teraniaya, termasuk disepanjang jalan karimata.) Sebuah tindakan bersama yang telah menghadirkan diri berposisi beda dan sedang merebut medan kuasa ruang publik. Sekaligus menancapkan bendera seni tradisi lengger dan jaranan sebagai benteng pertahanan mental terakhir orang-orang asli karimata.
Tak dinyana pentas seni lengger yang diselenggarakan tahun 2004 (hasil kolaborasi buk Yon dan PMII Unmuh) mampu menyedot solidaritas penduduk asli karimata yang sudah terpencar dipelosok-pelosok,lalu berduyun-duyun hadir merayakan bersama dan lebur dalam tarian nakal lengger. Walhasil, pentas seni lengger telah mampu benar-benar mengalahkan ‘mereka’ dalam kuasa sebenarnya. Dengan perayaan seni lengger, diri orang-orang pinggiran telah menunjukkan pemberontakannya untuk tidak terus menjadi penurut dan tidak sedang menjadi orang-orang terkalahkan.
Sekarang mungkin buk Yon sedang kesepian mengenang peristiwa itu, menurut penuturan buk Yon, sampai kini belum ada pentas seni tradisi serupa diseputar jalan karimata. Ia kepingin menggelarnya lagi. “Aduh saya sekarang hanya bisa memendam rasa itu, buk Yon! Maafkan saya buk, mungkin saya hanya bisa berjanji, kelak gelar seni tradisi itu akan terjadi lagi, tapi belum bisa menepatinya untuk saat-saat ini. Sama sepertimu buk, asmara hati ini pada seni tradisi hanya bisa disimpan dalam hati. Seperti lagu Iwan fals, buk: Simpan saja rindumu. Jadikan telaga. Agar tak usai mimpi panjang ini…….”

Salam Santri Kenthir

Baca Tulisan Terkait



0 komentar:

Posting Komentar

Salam Santri Kenthir.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More