12 Sep 2011

Menggugat Perayaan Kemerdekaan



Bagi kaum buruh kasar, perayaan hari kemerdekaan  hanyalah keramaian kampung; berderet umbul-umbul dan bendera, segala bentuk perlombaan dari membaca puisi (deklamasi), balap karung, sampai panjat pinang, dan pertunjukan seni drama perang-perangan di malam hari.
Itulah persoalannya. Kita selalu disuguhi dan diajak mengenanig masa lalu hampir sepanjang tahun dalam berbagai bentuk ritual dari seminar, berdebat di media, karnaval, mnengheninglcan cipta, hingga sekedar libur kerja dan sekolah. Rritual-ritual untuk mengenang hari-hari keramat masa lalu kita seperti itu memang seolah memerlihatkan “totalitas” atau kesadaran kolekfif yang tunggal, tetapi sekaligus menghadirkan begitu banyak makna (interpretasi) yang berbeda-beda. Totalitasnya mempesona, meski sebagai peristiwa komunal ia tak juga mampu mendefinisikan  individu warga secara tegas. Di dalam perayaan kemerdekaan semua orang sepakat dengannya, tetapi tidak ada jaminan sedikit pun bahwa setiap orang setuju bagian-bagian tertentu darinya. Dengan demikian, sebenarnya perayaan kemerdekaan lebih pas dikatakan sebagai komunalitas yang terdiri dari individu-individu yang bukan saja berbeda pandangan dan orientasinya, tetapi, dan ini yang penting, tetap berada dalam keberbedaannya. Sebagai kerurnunan, perayaan kemerdekaan adalah bahasa argument, bukan koor harmoni. Di dalam hari kemerdekaan, konsensus dapat terbangun, tetapi setiap individu tidak hanyut sama sekali. Kebersamaannya terjaga, tetapi representasi individu tetap mungkin dan menjadi penting.
Kita memang bisa bilang “belajar dari masa lalu untuk masa depan”, “membaca masa lalu dengan perspektif masa kini”, atau  “hidup dilalui ke depan, tetapi dipahami ke belakang”. Tetapi melaluinya, ternyata tidak semudah mengatakannya. Meniti hidup ke depan dari pengalaman masa lalu, paling tidak dari pengamalan kekinian, ternyata tidak semulus yang dibayangkan, bukan karena masa depan bagaikan sebuah rimba yang tak mudah ditebak din dipetakan, tetapi masa lalu itu juga sebuah ruang terbuka yang mendorong multitafsir bahkan imajinasi yang juga teramat sulit dipetakan. Benar apa yang dikatakan sejarawan seperti Taufik Abdullah bahwa sejarah adalah “negeri asing”, tempat orang berbuat yang aneh-aneh. Lalu bagaimana jadinya, jika masa depan yang tanpa peta dipertemukan dengan (dibangun atas dasar) masa lalu yang berupa “negeri asing” yang juga hanya sebuah anak panah yang terlepas dari busurnya, sehingga siapapun bisa berbuat yang aneh-aneh terhadapnya.

Semoga Menginspirasi

Baca Tulisan Terkait



0 komentar:

Posting Komentar

Salam Santri Kenthir.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More