12 Sep 2011

Puisi Kentir Mengurai Jejak Penyesalan Hidupku


“Cinta tak akan memberikan apa-apa pada kalian, kecuali keseluruhan dirinya, dan ia pun tidak mengambil apa-apa dari kalian, kecuali dari dirinya sendiri. Cinta tidak dimiliki dan memiliki, karena cinta telah cukup untuk cinta. Dan juga janganlah kalian mengira bahwa kalian dapat menentukan arah cinta, karena cinta apabila telah menjatuhkan pilihan pada kalian, dialah yang akan menentukan perjalanan hidup kalian.”


Mestinya kata-kata  yang sarat makna diatas selalu menjadi rujukanku dalam menilai  nasib tragis perjalanan cintaku.  Mestinya aku tak perlu menyesali, mengapa itu harus terjadi.  Tapi entahlah, selalu saja perasaan penyesalan mendalam  sering berkecamuk meratapi kebodohanku saat bersamanya.
__________________________________________________________
“Aku tidak terima jika omonganmu disepelekan, kamu sering dicibir oleh teman-teman dikampus. Padahal yang kutahu pemikiranmu sangat cerdas” Kata Nining dengan suara lantang waktu itu.
“Lho, aku gak apa-apa, kok malah kamu yang sewot!” Kataku menangkis nada  kecewanya Nining. “Baik dan buruk yang kuterima, Allah lah yang menentukan. Bukan aku. Terpenting kebenaran pikiranku sudah kusampaikan, selanjutnya bukan urusanku lagi,   tapi Urusan Allah.”
“Tahu kenapa, mereka selalu mencibir omonganmu?” Ujar Nining berusaha memprovokasi jalan hidupku.
Keningku berkerut, aku hanya menggelengkan kepala.
Sembari menunjuk dengan jari, Nining menimpakan jawaban, “karena kamu tidak berkuasa atas mereka. Coba kamu menjadi penguasanya, aku yakin mereka mengangguk kagum setiap celotehmu. Seperti halnya aku ini.”
Aku tercenung.
“Terus apa yang harus kulakukan, Ning?”
“Kamu harus menjadi pemimpin lembaga kemahasiswaan. Semakin banyak lembaga mahasiswa yang kamu pimpin, berarti semakin luas kekuasaanmu. Dengan demikian,  mereka takkan mencibirmu lagi.”
Provokasi Nining berhasil munumbuhkan sayap kebimbanganku. Satu sisi, itu  sebagai tantangan baru sebagai laki-laki dalam dunia kekuasaan, tapi disisi lain, prinsip hidupku untuk tidak terlibat mengejar gebyar duniawi mulai terguncang.
Beberapa minggu kemudian, disalah satu lembaga ekstra kemahasiswaan islam kiri yang baru berdeklarasi, aku terpilih secara aklamasi sebagai ketua umum. Semua anggota didalamnya bersuara bulat memilihku sebagai ketua umum.
“Byurrr, byurr!!”
Tiba-tiba dua timba yang berisi air got mengguyur sekujur tubuhku. Sebagai ucapan selamat atas terpilihnya menjadi Ketum Pergerakan Mahasiswa Islam Kiri.
Aku tak percaya. Aku tak mengerti. Mengapa aku yang tak pernah menginginkan jabatan itu,  namun ajaib semua anggota pergerakan mendaulat diriku sebagai ketuanya. Dan mengapa pula ucapan selamat mereka dengan mengguyurkan air got ketubuhku?
Selesai membersihkan tubuhku dari kotoran air got dikamar mandi, kondisi mentalku masih saja rapuh.
Salah satu temanku memaksa mengajak ke salah satu kafe favorit yang ada didekat kampus.
“Aku tak punya uang untuk acara traktir-traktiran!”
Aku sangat khawatir, bahwa temanku itu minta ditraktir makan-makan sebagaimana lazimnya pesta terpilihnya pucuk pimpinan disebuah organisasi.
Namun temanku terus saja menyeret. “Beres. Gak usah kamu pikirkan. Ada yang menunggumu disana  Sudah ada yang mau nanggung, kok!“
Sesampai dikafe, ternyata Nining  bersama dua orang teman sedang menyambutku duduk dimeja makan dengan senyum kemenangan.
“Hehehe…selamat ya?” Ujar Nining sembari mengulurkan tangan.
“Iya, terima kasih. Tapi ngapain kalian ada disini.” Timpalku dengan rasa curiga telah terjadi persekongkolan  diantara Nining dan mereka.
“Santai. Kamu duduk saja dulu. Wahai, bapak ketua kami yang baru, pesan makanan apa, dan minumannya apa!?”  Nining berseloroh terlihat lebih menguasai keadaan dan berusaha mencairkan suasana hatiku.
“Nggak, nggak, aku pesan kopi saja. Tapi tolong jawab pertanyaanku…”
Aku tak sabar untuk selekasnya mendapat jawaban, kenapa aku tepilih secara aklamasi menjadi ketum pergerakan ini. “Ada persekongkolan apa gerangan diantara kalian?”
“…..”
Salah satu teman yang duduk disebelah Nining memberi tanda kedipan mata dan melirik  kearah Nining.
Barulah aku tahu, bahwa skenario diriku terpilih secara aklamasi  hasil setting politik Nining yang dibantu oleh teman-teman geng sefakultasnya. Dan aku  menjadi paham, rupanya Nining dengan cara diam-diam menyusun strategi dan rencana merealisasikan omongannya beberapa minggu lalu.
“Dan dua timba air got yang disiramkan itu bertanda agar kamu selalu ingat, bahwa kekuasaan itu cenderung korup. Mudah diselewengkan untuk kepentingan pribadi”  Ujar Nining dilain waktu mengingatkanku.
Seiring berjalannya waktu, minggu berganti bulan, tanpa terasa sudah 7 bulanan aku mengemban amanat sebagai ketua umum pergerakan Islam kiri. Dalam masa itu aku banyak perkembangan, dan tentu saja banyak pula perubahan yang berarti. Selain aku mulai gandrung dengan pemikiran-pemikiran kiri marxis, hari-hari  aku super sibuk dengan kegiatan diskusi informal, memimpin rapat, memimpin jurnalistik, memimpin dewan perwakilan mahasiswa, dan lain-lain.
Nining benar, serta merta sikap teman-teman yang mencibir dan menyepelekanku selama ini menjadi lenyap berganti kekaguman padaku sebagai fenomena baru sosok mahasiswa yang idealis.
Namun semua itu berakibat pada: “Setiap pilihan hidup akan selalu disertai dengan resikonya.”
Kelengketan hari-hari  bersama Nining seperti dulu menjadi hilang, terganti,  dengan kesibukan demi kesibukanku dalam gelimang kekuasaan sebagai tokoh mahasiswa.
“Aku sudah berhasil, mengantarmu menjadi dirimu.” Ucap Nining lirih sambil memainkan jempol kaki mengetuk-ngetuk trotoar menunggu hujan reda. “Menurutku begitu. Kamu kulihat sudah sangat menikmatinya. Dan kamu sudah menuai banyak perubahan. Kelak kuyakin kamu akan menjadi orang sangat terhormat”
“Selama ini aku juga telah banyak berubah karenamu. Sebelumnya aku adalah cewek glamour, lalu menjadi ala kadarnya seperti ini, Yah,,,sekarang, aku pun ingin menjadi diri sendiri. Sama seperti mu.” Nining berkata dengan mendalam.
“Maksudmu ingin menjadi diri sendiri, itu seperti apa Ning?”
Aku tak mengerti semua apa yang diucapkan Nining.
“Lihat saja nanti!” Ucap Nining sambil berlalu.
Pertokoan dijalan karimata itu pun menjadi saksi bisu awal keretakan hubungan suci diantara kami.
Tak sampai berselang bulan, ucapan Nining mulai terlihat  tanda-tandanya.
Mulanya aku mendapat kabar buruk dari Aan Subiyanto, bahwa Nining mulai dekat dengan seorang cowok tampan rupawan. Lalu  ia membuktikan sendiri main ketempat kosnya Nining. Ternyata benar, Nining sedang asik berdua dengan cowok tampan itu.
Tak tahan melihat kenyataan itu aku menyembunyikan diri dikamar Aan Subiyanto, mempelantingkan diri diatas kasur. Berharap kekacauan emosi yang mengganjal ritme jantungku menjadi  stabil kembali.  Jiwaku menggelepar. Tanpa terasa aliran deras emosi dalam tubuhku meledakkan derai air mata.
Api cemburu yang tak pernah membakar itu pun menyulut kelelakianku. Melalap segenap kewarasanku, meluluhlantak seluruh energi kesabaranku, dan membutakan mata hatiku.
Karena aku adalah lelaki yang bertahta kuasa dan penyembah kuasa, maka, siapapun yang mencabik-cabik rasaku haruslah dibayar dengan kekuasaan yang setimpal.
Hidup adalah kekuasaan. Berkurang darinya adalah penderitaan, berlimpah darinya adalah kebahagian.
“iya aku kalah. Kamu yang menang Ning. Karena kamu gadis cantik dan kaya.” Ucapnya bergumam sendirian dikamar sempit Aan tanpa seorang temanpun. “Kalau kamu ingin berubah menjadi dirimu sendiri. Kenapa kamu memilih jalan seperti itu. Tidakkah disana saja jauh dari mataku.”  gumamku dengan Tangan mengepal memukul-mukul guling.
“Aku pemuda miskin. Tidakkah itu sangat menyakitkanku, Ning? Yah…aku memang miskin. Aku paham aku tak layak mendamping hidupmu.  Tapi kamu tak perlu pamer kepadaku akan kehebatanmu.”
Air mataku meleleh.
“Baiklah. Kamu memang lebih hebat dari aku. Karena kamu gadis cantik nan kaya. Tapi kamu akan menyesal telah menyakiti pemuda miskin hingga menangis. Karena aku punya otak yang lebih untuk menuntut sakit hati ini”
Cinta suciku pun lenyap berganti gemuruh dendam membara.
Aku mulai memutar otak kekuasaanku. Aku diam diam menyusun staregi politik pembalasan sakit hatiku. “Hutang materi dibayar materi, hutang rasa dibayar rasa.”
“Tika, bolehkah aku menjadi sahabatmu?” Kataku mulai melakukan pendekatan dengan seorang gadis bernama Tika.
Tika adalah sahabat Nining. Nining dan Tika satu kos dan satu kamar. Aku  tahu, Tika diam-diam mengagumiku. Dan aku tahu, Nining sangat ingin sekali punya sifat lembut seperti Tika. Karenanya Nining merasa minder.
Inilah saatnya melancarkan politik balas dendam untuk membayar rasa sakit yang setimpal pada Nining.
“Ya, boleh lah, mas!” Jawab tika Via telpon. “Tak mungkin aku menolak tawaran persahabatan dari mas Ipul.”
Strategi dan taktik komunikasi rekayasa persahabatan mulai aku lancarkan. Persahabatan sandiwara pun terjalin erat. Tika sangat menikmati jalinan persahabatan bersamaku.
Setiap  aku berkunjung ke tempat kos Nining, aku hanya menemui Tika. Hanya asik ria berdua dengan Tika. Seringkali kebersamaan Aku dan Tika disaksikan oleh mata telanjang Nining. Hingga Nining menjadi terdiam, membisu dalam emosi yang bergejolak.
“Bruuuaaakkk”
Pintu kamar Nining dipelanting dengan keras. Nining menutup pintu kamarnya dengan emosi marah yang meletup-letup.
Suara amarah yang memuncak melalui pelantingan pintu kamar itu sebagai penanda, bahwa Nining sedang kalah oleh permainanku.
Aku menjadi pemenang. Aku sebagai sang juara. Sakit hatiku menjadi terbayar oleh rasa sakit hati Nining.
Nining pun mengakui kehebatanku.
“Kamu memang hebat. Karena kamu memang lelaki cerdas. Aku akui itu dari dulu. Kamu menang, yah, aku memang kalah dari permainanmu. Tapi perlu kamu ingat, bahwa kehebatan dan kemenanganmu itu hanya segini!” Ucap Nining dengan tatap setajam mata elang sembari menunjuk tanda kelingkingnya.
“Aku dekat denganmu. Aku kagum padamu karena otakmu. Tapi ternyata kini, otakmu kau gunakan untuk menyakitiku.”
Air mata Nining terlihat meleleh.
“Ya ya, kamu menang. Aku mohon maaf bila aku pernah salah padamu. Aku pamit mau pulang. Mungkin aku tak kuliah lagi di Jember.” Kata kata terakhir Nining terucap dan takkan pernah terdengar olehnya sampai kini.
“Ning, tunggu. Aku tak mengerti. Tolong jelaskan semua perkataanmu.” Aku  berusaha mencegah Nining pergi. Tapi sia-sia. Nining berlalu tak menghiraukanku lagi.
Setahun kemudian Nining menikah dengan lelaki yang tak pernah dicintainya.
Sampai waktu 7 tahunan aku tak pernah bertemu lagi dengan Nining.
Berusaha mencarinya untuk meminta maaf sedalam dalamnya, namun tak jua aku tahu keberadaannya.
_________________________________
Dan…sampai akhirnya, aku terseret oleh rasa penyesalan mendalam itu ketempat ini, dipelataran pemakaman luas nan rimbun.
Sepasang kupu-kupu kuning terbang dengan lincah diantara rumput-rumput liar dijalan setapak menuju kuburan itu.  Aku berjalan tertunduk menuju sebuah pusara yang terpahat  nama Nining Setiyowati.
“Diliang lahat, jenasah seseorang lambat laun menyatu dengan tanah, sebagai sesuatu benda mati yang sudah mati, tetapi betapa yang mati itu masih begitu penting bagi yang masih hidup?”
Bagiku, Nining yang telah mati satu setengah tahun itu akan selalu bersua dalam memoar hidupku sampai kapanpun. Bukan saja ia cinta sejatiku yang tak berkembang dalam genggaman garis nasib kasih tak sampai, tetapi, Nining adalah arah penentu sejarah perjalanan hidupku sampai sekarang.
Kini, aku datang bertemu  Nining.  Dengan membawa penyeselan masa lalu yang teramat dalam.
Aku dan Nining bertemu lagi dalam ruang yang terpisah.
Aku terduduk sendirian diatas  pusaranya. Sementara Nining berada entah didalam pusara itu, entah diatas sana bersama para peri, entah disurga,  Entahlah, Nining sudah berada ditempat nan abadi.
Selesai membacakan surat yasin dan tahlil. Aku menarik nafas sangat dalam, menaruh sebuah kertas puisi  kentir “tidur” yang pernah membuat Nining terpingkal-pingkal  10 tahun lalu.
“Ning, kubawakan bunga mawar untukmu.  Kali ini, aku jujur  menyatakan cinta terpendam untukmu. Dan,  aku tak menuntut jawaban darimu. Ini juga, aku bacakan  puisi  kentir “tidur”.  Untuk kedua kalinya untukmu. Sebuah puisi yang pernah membuatmu terpingkal pingkal.  Semoga tersenyum selalu dalam kedamaianmu disana, dan semoga pula, tuhan akan memaafkan kesalahan kesalahan kita. Amin! “
Tidur
Mataku capek melihatnya
Tubuhku lelah merasakannya
Aku hanya ingin tidur dan tertidur
Buat apa bangun, jika bangun membuat aku hanya ingin tidur
Aku hanya ingin tidur dan tertidur
Buat apa bangun jika bangun membuat mataku selalu minta tidur
Aku hanya ingin tertidur
Dengan tertidur aku bisa bermimpi indah
Dengan tertidur aku tidak resah
Tidur membuat mataku tak berdosa
Tidur membuat hati dan pikiran terasa disurga
Tidur lagi, ah!


Semoga Menginspirasi

Baca Tulisan Terkait



1 komentar:

Posting Komentar

Salam Santri Kenthir.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More